JAKARTA (Arrahmah.com) – Kasus yang menimpa Siyono tak hanya berhenti pada sidang kode etik, namun juga kepada tindak pidananya. Demikian ditegaskan Kuasa hukum keluarga Siyono, Trisno Raharjo.
“Kami minta ada atau tidaknya putusan etik untuk segera ditindaklanjuti sebagai suatu perkara tindak pidana. Karena berdasarkan bukti forensik, Siyono meninggal di dalam kekuasaan atau kendali pihak kepolisian,” kata Trisno saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, (19/4/2016), lansir viva.
Menurut Trisno, dia telah melayangkan surat kepada Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, dan instansi pemerintah lainnya agar perkara tewasnya Siyono harus diusut masalah tindak pidananya.
“Kami sudah kirim surat ke kapolri, tembusan ke Presiden, menkopolhukam, Komisi III DPR, Komnas HAM (Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia), dan Komisi Kepolisian,” katanya.
Sebelumnya, Pengurus Pusat Muhammadiyah Jakarta telah mengumumkan hasil autopsi jenazah Siyono di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Menteng Jakarta Pusat, Senin 11 April 2016.
Ada empat kesimpulan hasil autopsi kematian pria terduga teroris itu.Pertama, tidak benar bahwa kepolisian telah melakukan autopsi jenazah Siyono sebelumnya. Karena itu, autopsi yang dilakukan tim dokter forensik independen adalah autopsi yang pertama.
“Ini autopsi pertama, tidak benar Densus sebut sudah lakukan autopsi. Kalau CT-Scan iya,” kata Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak.
Kedua, tidak betul kematian Siyono akibat pendarahan hebat di kepala. Alasannya hasil autopsi tidak menunjukkan demikian.
“Memang ada bekas pukulan di kepala, tapi itu bukan penyebab kematian. Tidak ada pendarahan di kepala, lah ini kok aneh polisi tahu tapi belum melakukan autopsi,” ujarnya.
Ketiga, ada pendarahan hebat akibat patah pulang di bagian dada yang menusuk jantung. “Jadi patah tulang itu berujung pada terkenanya jantung. Itu penyebab kematiannya,” tutur Dahnil.
Terakhir, dari hasil autopsi diketahui pula tidak ditemukan adanya upaya perlawanan yang dilakukan Siyono, meski mendapat kekerasan yang diduga dilakukan anggota Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror Mabes Polri.
“Tidak ditemukannya indikasi perlawanan dari korban. Dari mana? Tidak ada luka tangkis yang bentuknya perlawanan, misal di siku korban,” ujar Dahnil.
Mengulang informasi, hasil autopsi yang dilakukan oleh tim dokter forensik Indonesia menunjukkan Siyono tidak pernah melakukan perlawanan seperti yang diklaim oleh Mabes Polri selama ini. Terungkap pula selama ini jasad Siyono tidak pernah diautopsi.
Kematian siyono diakibatkan benda tumpul di bagian rongga dada, yaitu ada patah tulang. Pada iga bagian kiri ada lima. Luka patah sebelah kanan ada satu keluar, sedangkan tulang dada patah.
Selanjutnya, tulang patah ke arah jantung hingga mengakibatkan luka yang cukup fatal. Memang ada luka di bagian kepala, tetapi tidak menyebabkan kematian. Sebab, luka pada bagian tersebut tidak terlalu banyak mengeluarkan darah.
Dari seluruh rangkaian autopsi ini, tidak adanya perlawanan dari luka luka yang diteliti. Jadi, tidak ada perlawanan dari Siyono, tidak ada luka defensif dari Siyono
Autopsi dilakukan oleh 10 dokter. Sembilan dokter dari tim forensik dan satu dokter dari Polda Jateng. Kesepuluhnya sepakat dan tidak ada yang berbeda pendapat. Autopsi dilakukan sejak pukul 09.00 pagi hingga 12.00 siang, 3 April 2016.
(azm/arrahmah.com)