WASHINGTON (Arrahmah.com) – Perundingan yang akan ditengahi oleh Washington antara Israel dan Palestina dalam waktu dekat ini tidak lain adalah alat kebijakan Amerika Serikat, kata seorang wartawan Amerika.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk melanjutkan pembicaraan langsung di ibukota AS pada tanggal 2 September mendatang. Otoritas Palestina (PA) sempat mundur dari perundingan setelah Tel Aviv melancarkan perang besar di Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 1.400 warga Palestina pada pergantian tahun 2009.
Dalam sebuah wawancara pada hari Selasa (31/8/2010) dengan Press TV, wartawan teknologi dan aktivis hak asasi manusia dari Gerakan Solidaritas Palestina, Henry Norr, mengatakan bahwa ia bisa menyebut dua alasan di balik kembali dilakukannya perundingan damai ini.
“Salah satunya adalah bahwa Obama memiliki kepentingan politik, setelah menetapkan sejumlah tujuan, dengan dalih proses perdamaian,” katanya.
Tujuan lainnya, kata Norr, adalah bahwa “jelas terdapat tawar-menawar antara Netanyahu dan Obama mengenai tekanan apa yang digunakan, termasuk penyerangan.” Pendapatnya ini mengacu pada fakta bahwa AS selama ini haus dengan perang, Israel yang pandai berdalih, serta potensi Washington maupun Tel Aviv untuk mengobarkan perang regional.
Israel mengklaim kehadirannya pada tahun 1948, ketika menduduki wilayah Palestina dan beberapa wilayah Arab lainnya melalui operasi militer.
Pada tahun 1967, Israel mencaplok wilayah Palestina lainnya di Tepi Barat, meliputi Al-Quds Timur (Yerusalem). Tel Aviv kemudian menentang kecaman masyarakat internasional untuk mengakui penjajahan itu. Selanjutnya, Tel Aviv meredupkan prospek perdamaian ini dengan menolak untuk menghentikan pembangunan perumahan pemukim Yahudi di Tepi Barat.
Harapan negosiasi yang diusulkan AS ini menyusut setelah Netanyahu memastikan bahwa Israel hanya akan melakukan perundingan ketika ada pengakuan bahwa Israel adalah negara nasional orang Yahudi.
Mantan kontributor San Francisco Chronicle mengatakan pernyataan Netanyahu tentang posisi Israel “hanyalah upaya untuk memunculkan kendala lain dalam negosiasi, karena Israel tidak pernah mau untuk bernegosiasi. Mereka ingin mempertahankan status quo dan terus membangun permukiman serta melakukan Yahudinisasi sejarah Palestina.
Norr sendiri adalah warga Yahudi yang dicap anti-Semit setelah menulis tentang kegiatan industri Israel di tanah Palestina pada tahun 2002 dalam Chronicle, dimana Israel dilaporkan mengusir warga Palestina secara paksa dengan pemukulan, penembakan, dan percobaan pemerkosaan. Akibatnya, satu tahun kemudian, ia dipecat dari oleh surat kabar tempat ia bekerja. (althaf/arrahmah.com)