JAKARTA (Arrahmah.com) – Dalam penangkapan tujuh orang, 3 warga Sulteng dan 4 WNA berpaspor Turki oleh Densus 88 di Kabupaten Parigi Moutong, Sabtu (13/9/2014), didapati beberapa barang bukti.
Dalam penangkapan itu, menurut Karopenmas Polri Brigjen Boy Rafli Amar, sejumlah barang bukti ikut disita, yakni sebuah mobil Toyota Avanza merah, paspor, kompas dan peralatan lainnya.
“Paspor atas nama Ahmed Bozoglan, 9 Juli 1987, asal negara Turki No passport TR-C No. 538250,” urai Boy lewat pesan singkat, Ahad (14/9/2014), dikutip dari Metrosulteng.
Menanggapi paparan polisi, Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menilai polisi berlebihan dalam penagkapan WNA ini, khususnya dalam melihat barang bukti barang bukti.
“Barang bukti kompas, peralatan makan sama sekali tidak bisa menunjukkan ada delik tindak pidana terorisme oleh 4 WNA. Di pengadilan saya kira tidak mudah untuk membuat kesimpulan relasi barang bukti dengan tindak pidana terorisme. Karena semua itu dugaan dan interpertasi terhadap fungsi barang bukti,” kata Haris dalam pesan elektroniknya kepada arrahmah.com.
Pemerhati kontra terorisme ini juga menganalisa perihal keberadaan 4 WNA ini di Sulawesi Tengah. Menurut Haris, lewat dunia maya seseorang bisa terhubung dengan siapapun, “Bisa jadi WNA tersebut sekedar berteman dengan orang Indonesia kemudian saat berkunjung ke Indonesia berlanjut copy darat dan diantar untuk jalan-jalan,” katanya
“Termasuk melihat sikon Poso, karena selama ini Poso menjadi nama yang cukup dikenal banyak orang karena seringnya berita muncul terkait terorisme di Poso.Termasuk kemudian dia lebih suka menginap di kost atau sebuah Ponpes yang mereka kenal sebelumnya dengan berbagai pertimbangan mulai keakraban, efesiensi biaya dan sebagainya,” ulas Haris.
“Jadi seseorang WNA nginap di sebuah Ponpes tidak bisa otomatis disudutkan dengan kecurigaan yang tedensius terkait terorisme,” simpulnya
Sedangkan dilihat dari kronologi penangkapan, Haris berpendapat mungkin pemandu jalan WNA ini merasa punya masalah tentang kondisi poso tidak aman bagi mereka. Karenanya, begitu dihadapan mereka ada swepping langsung panik dan justru membuat curiga.
“Kalau benar mereka (WNA) “teroris” jaringan IS atau al Qaida tentu tidak sebodoh itu mreka melakukan pergerakan. Jadi saya duga mereka kejebak dalam sikon yang mereka tidak pahami, tentang Poso dan isu terorisme di Poso,” pendapat Haris.
Meski demkian, lanjut dia, dirinya memandang bisa saja dengan delik yang lemah para WNA tetap bisa dijerat dengan UU terorisme hanya berdasarkan dugaan semata seperti halnya banyak orang Indonesia ditangkap hanya berdasarkan asumsi terduga dan terkait jaringan teroris.
“Karena cerita WNA diduga terlibat dengan jaringan teroris lokal sangat berarti sekali untuk sebuah kepentingan untuk mendramatisir ancaman terorisme di Indonesia lebih-lebih pasca panasnya isu ISIS,” pungkasnya. (azm/arrahmah.com)