JAKARTA (Arrahmah.com) – Sejarawan Islam Mansur Suryanegara menegaskan sejarah bukan ilmu baku yang tidak bisa diubah selama-lamanya. Menurutnya, jika ditemukan fakta-fakta baru yang menyangkut sejarah itu sendiri, penulisan sejarah tersebut harus ditinjau kembali dan perbaharui sesuai temuan tersebut.
Saat ini penulisan sejarah harus ditinjau kembali, karena ada beberapa fakta sejarah yang menyangkut umat Islam yang tidak dimasukkan dalam sejarah nasional. Padahal itu fakta, kata Mansur Suryanegara usai bedah buku terbarunya, Api Sejarah di Jakarta.
Organisasi Budi Utamo yang dijadikan sebagai tonggak kebangkitan nasional, dijelaskannya, sebenarnya tidak tepat. Karena organisasi tersebut sangat elitis, khusus untuk masyarakat Jawa dan menolak cita-cita persatuan nasional.
Sementara sebelumnya, telah ada organisasi yang bersifat nasional: Syarikat Islam, tuturnya. Tidak heran, beberapa pendiri organisasi tersebut akhirnya keluar dari Budi Utomo.
Ditambahkannya, tidak sedikit ulama-ulama yang terlibat dalam pergerakan nasional, perumus Pancasila dan Proklamasi yang tidak disebut-sebut dalam buku-buku sejarah. Disebut kurang nasionalis, karena faktor agamanya, ujarnya. M Natsir seorang pejuang, misalnya, butuh waktu lama untuk digelari pahlawan.
Yang terbaru adalah pengakuan batik dari UNESCO sebagai warisan budaya milik Indonesia. Dijelaskannya, yang pertama kali mempopulerkan batik dan menjajakanya ke masyarakat umum adalah Pendiri Syarekat Dagang Islam, KH Samanhudi.
KH Samanhudi mengajak masyarakat Indonesia yang tidak berbusana melalui batik dengan motif-motif daun dan kayu. Usahanya tersebut mendapat pertentangan dari pengusaha non pribumi, paparnya.
Akan tetapi, sepanjang pengamatannya, tidak pernah nama KH Samanhudi disebut-sebut terkait pengakuan batik oleh UNESCO tersebut.
Mansur Suryanegara menilai penulisan sejarah Indonesia sama dengan istilah telor mata sapi. Ayam memiliki telor, tapi sapi yang punya nama. Umat Islam yang telah berbuat banyak untuk Indonesia, tapi orang lain yang ditulis dalam sejarah, tukasnya.
Sebagai seorang ilmuan, akunya, dia hanya bisa memberikan fakta-fakta yang baru yang telah dikaji secara serius. Terkait apakah akan diakomodir, ditegaskannya itu merupakan wewenang Pemerintah. (hdytlh/arrahmah.com)