COX’S BAZAR (Arrahmah.com) – Sekitar 40.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh yang tak tercatat resmi mengalami dampak buruk karena pemerintah Bangladesh melarang organisasi-organisasi kemanusiaan untuk beroperasi sejak empat bulan yang lalu di dua lokasi darurat di selatan Bangladesh.
“Jika kami mendapatkan nasi, kami makan. Jika tidak, kami tidak makan,” kata Anowara Begum, seorang pengungsi Rohingya (40), ibu dari empat anak, di kamp pengungsian darurat Leda di ;uar Nayapara, salah satu dari dua kamp darurat di luar dua kamp pengungsian resmi yang didirikan pemerintah, kepada IRIN.
“Sejak LSM berhenti datang, anak-anak kami tidak mendapatkan obat-obatan. Mereka tidak mendapatkan perawatan sesuai yang mereka butuhkan. Mereka tidak mendapatkan makanan yang mereka butuhkan,” ungkap Sokeya Begum (39), juga seorang pengungsi yang dianggap ilegal.
Pada Agustus lalu, otoritas Bangladesh memerintahkan tiga LSM — Médecins Sans Frontières (MSF), Action Against Hunger and Muslim Aid UK- untuk berhenti memberikan layanan kemanusiaan, meliputi perawatan kesehatan dan makanan untuk para pengungsi Rohingya yang tidak tercatat resmi, menuding bahwa layanan demikian bisa mengundang para warga Muslim Rohingya lainnya untuk melarikan diri ke Bangladesh.
Menurut data Badan Pengungsian PBB (UNHCR), ada lebih dari 200.000 warga Rohingya di Bangladesh, hanya 30.000 dari mereka yang terdaftar resmi di pemerintahan dan tinggal di dua kamp pengungsian pemerintah dengan bantuan UNHCR. (siraaj/arrahmah.com)