JAKARTA (Arrahmah.com) – Banyaknya respon pro kontra terkait Rancangan Undang-undang Intelejen, Dewan Perwakilan Rakyat mengungkapkan tidak akan terburu-buru mensahkan RUU Intelejen tersebut. Terkait hal tersebut Komisi Pertahanan DPR kembali mengundang sejumlah aktivis dari beragam lembaga membahas RUU Keamanan Nasional.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain Elsam, Imparsial, Kontras, dan Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan diminta menyampaikan ulasan dan kritikan atas draf yang diajukan pemerintah.
Menanggapi RUU Intelejen, Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati Saptaningrum menilai RUU Keamanan Nasional banyak kekurangannya. Diantaranya jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia dan potensi pembatasan hak sipil dan politik.
“Rancangan ini berpotensi melanggar HAM atau setidaknya menimbulkan konflik terkait HAM,” katanya di Jakarta, Senin (4/7/2011).
RUU Intelejen banyak mengndung istilah yang tidak jelas definisinya
Indriaswati mengatakan tentang tidak adanya definisi yang jelas tentang apa itu ancaman tidak bersenjata. Definisi yang tidak rigid bisa menjadi pintu masuk untuk tafsir yang sangat luas dan memberi peluang untuk tindakan bersenjata. Apalagi, dalam rancangan ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ancaman radikalisme, ideologis, dan anarkisme.
Sementara itu Wakil Koordinator Badan Pekerja Kontras, Indria Fernida, mengkritisi tidak adanya jaminan atas perlindungan hak asasi manusia di dalam rancangan ini. Ia mencontohkan terkait potensi konflik internal di dalam negeri. “Potensi konflik bersenjata di dalam negeri sangat tinggi,” katanya.
Kondisi tersebut seharusnya dipertimbangkan dan dimasukkan di dalam rancangan. Ia menyarankan agar Dewan memasukkan beberapa pasal dalam ratifikasi kedua Konvensi Jenewa yang bisa memberikan jaminan perlindungan HAM jika ada konflik internal senjata.
Sementara itu, Direktur Program Imparsial, Al Araf, menyoroti pembagian tugas antara Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian dalam situasi-situasi tertentu, yang selama ini dipandang sebagai wilayah abu-abu, yaitu jenis ancaman yang tidak diatur secara jelas harus ditangani oleh siapa. “TNI harus menjadi alternatif paling akhir setelah kepolisian,” katanya.
Dampak serius RUU Intelejen yang patut diperhatikan
Para aktivis mendesak DPR tidak terburu-buru mengesahkan sesuai jadwal legislasi DPR, yakni pada Juli 2011. Karena ada beberapa alasan diantaranya ruang lingkup kerahasiaan informasi intelijen terlalu luas. Rancangan beleid juga tanpa dirumuskan, serta tanpa penjelasan dan perincian yang memadai.
Selain itu, RUU Intelijen tidak melembagakan kontrol publik. Berbeda dengan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, beleid tersebut tidak mengatur tentang mekanisme uji konsekuensi dan uji kepentingan publik dalam menentukan rahasia negara. Calon aturan itu tak memberi peluang masyarakat untuk mengawasi mekanisme dan proses kerahasiaan informasi.
RUU tersebut juga dinilai tak mempertimbangkan kepentingan publik terhadap kebebasan informasi dan hanya berpijak pada kepentingan pemerintah untuk merahasiakan informasi.
Beleid intelijen juga memberi kewenangan penyadapan dan penangkapan bagi aparat intelijen tanpa penetapan ketua pengadilan. Ketentuan itu berpotensi mengancam hak asasi dan keselamatan warga negara, bahkan rentan diselewengkan demi kepentingan ekonomi dan politik penguasa.
Tiga Alasan Menunda Pengesahan RUU Intelejen
“Sebaiknya tidak terburu-buru mengesahkan sesuai dengan jadwal legislasi DPR, yakni pada Juli 2011,” ujar Direktur Yayasan Sains Estetika Teknologi (SET), Agus Sudibyo, dalam diskusi di Restoran Bumbu Desa Cikini, Jumat 1 Juli 2011. Ia berpendapat, lebih baik parlemen menundanya untuk memperbaikinya terlebih dulu.
Menurut Agus, Yayasan SET menemukan 3 alasan mengapa RUU Intelijen harus ditunda.
Pertama, ruang lingkup kerahasiaan informasi intelijen terlalu luas. Rancangan beleid itu merumuskannya tanpa penjelasan dan perincian yang memadai. Misalnya, dalam Pasal 24, kerahasiaan informasi intelijen didefinisikan sebagai sistem intelijen negara, akses yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatannya, data intelijen kriminal untuk pencegahan dan penanganan kejahatan lintas negara, rencana pencegahan dan penanganan kejahatan transnasional, serta personel intelijen negara berkaitan dengan keamanan nasional.
Masalahnya, tak ada penjabaran lebih lanjut terhadap kategori tersebut. Akibatnya, masyarakat tak bisa tahu persis mana informasi yang termasuk rahasia intelijen dan mana yang tidak. Warga negara, termasuk pers, bisa jadi baru sadar telah mengakses, membocorkan, atau menyebarluaskan informasi rahasia itu ketika dipanggil atau bahkan ditangkap aparat.
Kedua, RUU Intelijen tidak melembagakan kontrol publik. Berbeda dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, beleid tersebut tidak mengatur tentang mekanisme uji konsekuensi dan uji kepentingan publik dalam menentukan rahasia negara. Calon aturan itu tak memberi peluang masyarakat untuk mengawasi mekanisme dan proses perahasiaan informasi. RUU itu dituding tak mempertimbangkan kepentingan publik terhadap kebebasan informasi dan hanya berpijak pada kepentingan pemerintah untuk merahasiakan informasi.
Dan, ketiga, beleid intelijen itu juga memberi kewenangan penyadapan dan penangkapan bagi aparat intelijen tanpa penetapan ketua pengadilan. Ketentuan itu berpotensi mengancam hak asasi dan keselamatan warga negara, bahkan rentan diselewengkan demi kepentingan ekonomi dan politik penguasa.
DPR menunda waktu pengesahan
Atas dasar itu semua, RUU yang dijadwalkan akan disahkan pada Juli ini kemungkinan akan dirampungkan pada masa sidang kedua Oktober-September mendatang.
“Ada prinsip prinsip yang dilakukan dalam pembahasan undang undang ini,” ujar Agus Gumiwang Kartasasmita Ketua Kelompok Kerja Undang-undang Intelijen usai Pencanangan Pendidikan dan Latihan Kader Penggerak Teritorial Desa, Partai Golkar di Lembang, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (2/7).
Ia mengatakan DPR akan menerapkan prinsif kehati-hatian dan pruden pada undang undang intelijen. DPR juga terbuka untuk masukan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat. Agus mengungkapkan bahwa masih ada masalah dengan pasal penyadapan, pemeriksaan intensif dan kelembagaan.
“DPR dalam perumusan Undang-undang Intelijen dan Keamanan Nasional selain kehati hatian. DPR memegang prinsif akuntabilitas, hak azasi manusia, junjung tinggi demokrasi dan penegakan hukum. Tanpa mengurangi kewewangan aparat keamanan,” katanya.
Terkait penyadapan ada usulan untuk membentuk badan tersendiri terutama usulan dari PT Telkom karena melihat secara teknis dan anggaran. Ia juga mengatakan bahwa penyadapan merupakan deteksi dini. Sehingga banyak yang mengatakan penyadapan bukan bagian criminal justice system. (dbs/arrahmah.com)