SOLO (Arrahmah.com) – Beberapa tokoh ormas Islam diundang dalam diskusi bertema “Pencegahan terorisme,” yang digelar oleh ormas kaki tangan BNPT yakni FKPT (Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme) provinsi Jawa Tengah, Ahad (7/9/2014).
Tercatat beberapa ulama dan tokoh pergerakan di Solo hadir pada acara tersebut, seperti Ustadz DR Muinudinillah Basri (Dewan Syariah Kota Surakarta), Khairul RS (ketua FPI Solo), Yani Rusmanto (Hizbullah Sunan Bonang), Medi (Majelis Tafsir Al Quran) dan beberapa pengurus ormas lainnya. Sementara dua pembicara dari diskusi tersebut yaitu Prof Dr Mudjahirin Thohir MA pakar antropologi dan juga Dr Syamsul Bahri.
Diskusi tersebut mendapat kritikan keras dari para peserta yang hadir lantaran untuk kesekian kali BNPT lewat underbownya FKPT selalu mengidentikan bahwa pelaku radikal atau terorisme adalah Islam meski hal itu selalu dibantah bahwa Islam bukan teroris. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh pembicara pertama Mudjahirin Thohir yang menyebut ciri-ciri dari radikal adalah siapa saja yang selalu mengkritik Amerika dan negara sekutunya. Ini adalah salah satu ciri orang yang berpikiran radikal, kata dia.
Pria kelahiran Kendal 12 Maret 1954 ini juga menyampaikan bahwa orang yang selalu mengajak dan mengajarkan agar menggunakan jilbab besar (cadar), memelihara jenggot, celana cingkrang juga disebut dengan orang yang berpikir radikal.
Thohir berujar orang Islam selalu diminta untuk bertoleransi dan mau untuk menerima perbedaan.
Spontan hal ini mengundang protes dari floor. Protes pertama datang dari Ustadz Dr Muinudinillah Basri, MA. bahwa banyak orang Islam menjadi tertindas tatkala mereka minoritas. Seperti di Myanmar, Afrika, Thailand dan lain sebagainya. Namun tetap saja para pelaku penyerangan terhadap umat Islam tak bisa disebut radikal atau terorisme.
“Harusnya pemerintah itu memberikan rasa cinta kepada rakyatnya. Agar rakyatnya juga mencintai pemerintah. Bukan malah menjadikan rakyat menjadi target operasi” terang Ustadz Muin, sebagaiman dikutip dari Muslimdaily.net
Sementara Syamsul Bahri selaku pembicara kedua juga menyampaikan tentang teori radikalisme. Namun kali ini ia bersikap akademis karena tak menyebut bahwa radikal itu identik dengan Islam.
Saat dibuka forum dialog hujan protes para peserta juga langsung mengkitik kinerja BNPT ataupun Densus 88 selama ini. Banyaknya pelanggaran Densus 88 yang melakukan salah tangkap, salah tembak melanggar HAM sampai detik ini juga tak pernah terjamah oleh hukum di Indonesia.
“Ketidakadilan penyikapan kekerasan di Indonesia juga menjadi penyebab lahirnya radikal. Di Papua kekerasan setiap hari terjadi. TNI dan Polisi terus ditembaki namun Densus tak pernah menginjakkan kakinya di Papua ” ujar Ketua FPI Solo Khairul RS.
Pendapat senada juga disampaikan oleh pimpinan Hizbullah Sunan Bonang. “Program yang dilakukan oleh BNPT selama ini hanya terus memojokkan Islam”
Acara yang dimoderatori oleh Hilmi Sakdilah (Ketua PC NU Solo) terpaksa diakhiri karena dua pembicara tak mampu menjawab dengan kebijakan yang dimiliki. “Saya raya kedua pembicara tidak berkompeten dengan banyaknya pertayaan dari semua peserta karena semua diarahkan oleh BNPT. Harusnya BNPT juga dihadirkan dalam acara ini” ujar salah satu peserta diskusi.
Sementara itu, Ketua FKPT Jawa Tengah Budi Sudaryanto berjanji akan menyampaikan hasil dari diskusi ini untuk dibawa ke BNPT. (azm/arrahmah.com)