MANADO (Arrahmah.com) – Monyet sulawesi (Macaca sp), yang dalam bahasa Minahasa disebut yaki, merupakan satwa liar endemik Sulawesi yang semakin terancam punah di habitat aslinya. Monyet hitam endemik Sulawesi ini diperkirakan tak lebih dari 5.000 ekor di dunia. Berkurangnya populasi monyet ini salah satunya disebabkan masih ada kebiasaan memakan daging satwa yang dilindungi tersebut. Primata yang tidak ditemui di belahan dunia manapun ini terus diburu masyarakat untuk dikonsumsi.
Prihatin dengan itu, sekelompok orang yang tergabung dalam FORUM F/21 menyerukan dihentikannya kebiasaan makan daging satwa liar, terutama daging monyet Sulawesi. Seruan itu mereka sampaikan dalam Kampanye Gerakan Moral Malo Makang Yaki, alias malu makan monyet Selasa (5/8/2014).”Gerakan Malo Makang Yaki” boleh dibilang kampanye penyelamatan satwa model baru.
Sengaja memilih terminal ini agar pesan menyelamatkan Yaki bisa tersampaikan. Perlu diketahui Terminal Karombasan menjadi tempat transit warga Minahasa, Tomohon, Mitra dari dan atau ke Manado. Kebiasaan memakan satwa liar ini memang sudah berlangsung lama di tanah Toar Lumimuut. Secara turun-temurun orang Minahasa sering menjadikan daging Yaki sebagai menu makanan. Yaki rica-rica dan bumbu RW sangat populer di kalangan masyarakat.
Komunitas fotografer yang beranggotakan 10 orang ini membagi-bagikan brosur “Malo Makang Yaki” di Terminal Karombasan. Mereka membagikan poster tersebut kepada masyrakat yang hendak naik bus menuju Tomohon, Tondano, Kawangkoan, Langowan.
Pada brosur bertuliskan “Jangan Sampe Torank Pe Anak-cucu Tinggal Tau Tu Yaki Pe Nama, Dorank so Nintau Depe Rupa”. Koordinator aksi, Denny Taroreh mengatakan di Karombasan merupakan yang pertama kali mereka lakukan, ia berharap agar ke depannya bisa melakukan hal serupa di Tomohon dan Langowan.
Rendi, satu diantara warga yang menerima brosur dari F/21 ini mengatakan ia merupakan satu di antara yang menyukai makanan yaki alias monyet. Dia mengatakan makanan yaki sangat enak dikarenakan bumbunya yang menguatkan rasa sehingga menjadi enak.
“Saya memang suka makan yaki karena enak, apalagi kalau sudah pakai bumbu RW, wah, pokoknya itu enak sekali,” katanya, seperti dikutip dari Tribun
Dia juga mengatakan saat melihat F/21 membagikan brosur padanya, ia merasa tergerak hatinya dan akan berusaha untuk tidak memakan yaki lagi.
“Saya akan berusaha untuk tak makan yaki lagi, agar ke depan generasi baru bisa melihat yaki itu,” ucapnya.
Denny , menjelaskan, salah satu penyebab menurunnya populasi monyet hitam Sulawesi ini ialah karena perburuan yang masih terus berlangsung.
“Sebagian masyarakat Minahasa masih memburu yaki untuk dipelihara, bahkan dagingnya dimakan. Yaki yang diburu kemudian dibakar dan dijual di Pasar Kawangkoan, Langowan, Tomohon, dan Minahasa. Ini tentu saja menimbulkan keprihatinan,” tutur Denny.
Di habitat aslinya, populasi hewan yang dilindungi ini menurun drastis. Menurut data, populasi yaki menurun 80 persen selama 15 tahun terakhir.
Hukum memakan monyet
Kita telah mengetahui bahwa hewan buas adalah termasuk hewan yang diharamkan. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933). Bagaimana dengan hukum memakan monyet, kera dan sebangsanya? Halal ataukah haram?
Para ulama sepakat bahwa monyet termasuk binatang buas, ditambah lagi monyet dinilai sebagai hewan yang khobits(kotor) sehingga dihukumi haram.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyebutkan,
‘Umar, ‘Atho’, Mujahid, Makhul, Al Hasan Al Bashri melarang memakan monyet dan tidak boleh memperjual belikan binatang tersebut.
Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Aku tidak mengetahui di antara para ulama ada yang menyelisihi pendapat bahwa monyet itu tidak boleh dimakan dan tidak boleh diperjualbelikan.”
Diriwayatkan dari Asy Sya’bi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (mengonsumsi) daging monyet.
Kenapa dilarang? Karena monyet termasuk hewan buas, sehingga binatang tersebut termasuk dalam keumuman hadits larangan memakan hewan buas. Ditambah lagi monyet adalah binatang yang buruk sehingga monyet termasuk binatangkhobits (kotor) dan diharamkan.” (Al Mughni, terbitan Darul Fikr, 11: 66)
Fatwa MUI tentang satwa langka
Sementara itu Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan Fatwa MUI tentang konservasi satwa langka. Fatwa itu menitik beratkan pada aspek akhlak individu manusia, melalui pendekatan ini diharapkan kampanye perlindungan satwa langka semakin kuat di tengah semakin punahnya habitat mereka.
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Ir. H. Hayu Prabowo di Jakarta, Senin (10/3/2014), sebagaimana dikutip dari situs mui.or.id mengatakan, penerbitan fatwa itu bertujuan untuk dakwah kepada individu, meskipun semangatnya adalah melindungi satwa langka dan keseimbangan ekosistem demi kemaslahatan umat, “Tetapi bagi kami sasaran dakwahnya adalah kepada orang,” katanya.
Ajaran Islam yang termaktub dalam al Quran dan Hadis sudah lengkap menyebutkan bagaimana merawat seisi alam. “Dalam fatwa tersebut juga disebutkan, orang masuk neraka gara-gara seseorang memiliki kucing yang banyak, tetapi tidak memelihara dengan baik,” katanya.
Di samping itu, Hayu melihat adanya tren baru di kalangan internasional yang mulai menyadari, bahwa pendekatan keagamaan lebih efektif ketimbang pendekatan yang represif. “Jadi sekarang ini mulai menggunakan pendekatan agama, karena ini berkait dengan perilaku orang,” kata Hayu.
Dia menambahkan, sangat susah untuk memaksa, baik yang dipaksa maupun yang dipaksa.Tetapi kalau dengan pendekatan agama, semua merasa senang-senang saja. “Jadi ini semacam pendekatan dari hati-ke hati.”
Inspirasi untuk mengusulkan fatwa konservasi satwa langka ini didapat dari komunikasi yang dijalin dengan sejumlah aktifis lingkungan seperti WWF dan Greeen Peace. Saat silaturahim ke kantor WWF, Hayu mengaku mendapatkan penjelasan tentang pentingnya menjaga kelestarian binatang seperti harimau, gajah dan orang utang, karena mereka adalah binatang payung.
“Jika kita melindungi binatang payung itu, berarti ekosistem kawasan itu terlindungi. Mereka binatang yang terus “mobile” untuk mencari buruannya. Sehingga ketika mereka terlindungi, semuanya bisa terlindungi. Begitu pula dengan gajah dan orang utan.”
Untuk mendukung konservasi satwa langka, MUI telah terjun ke banyak tempat, termasuk Taman Nasional Tesonilo dan Marga Satwa Rimbang Baling di Riau. Hayu mendapati kenyataan adanya sejumlah konflik antara manusia dan binatang, “Ada konflik antara masyarakat dengan pemilik perkebunan, baik itu perkebunan kelapa sawit maupun perkebunan industri, sehingga binatang juga semakin terdesak.”
“Diperparah lagi dengan adanya kebakaran hutan, akibatnya konflik antara masyarakat dengan binatang semakin meruncing, karena luasan hutan semakin berkurang,” katanya. Hayu juga mengaku prihatin, karena hutan yang sebelumnya merupakan sebuah kawasan yang multikultur menjadi monokultur, karena tidak ada tumbuhan lain selain kelapa sawit. “Itu semua (hutan) sudah dikuasai oleh para investor,” paparnya.
Dia menyadari kepunahan satwa langka ini tidak disebabkan hanya pada masyarakat kecil saja, tetapi pemangku kepentingan secara menyeluruh, karena tidak mungkin kebijakan pemberian ijin datang dari rakyat. Banyak kebijakan yang tidak tepat terkait dengan pemberian ijin pengelolaan hutan, di satu sisi pemerintah sering mempermudah investor, di sisi lain justru sebaliknya”Ketika rakyat sudah berpuluh-puluh tahun tinggal disitu sejak dari nenek moyangnya, terus kemudian menjadi hutan lindung, itu kan aneh. Mereka akhirnya tidak bisa ngapa-ngapain,” katanya.
Meski cakupan Fatwa MUI Nomor 04/2014 lebih menekankan pada individu manusia secara umum, sebenarnya fatwa ini lebih ditujukan kepada pemangku kepentingan secara menyeluruh, baik itu itu di level pusat maupun daerah, penegak hukum, karena dari tangan merekalah yang lebih mampu menerapkannya. (azm/dbs/arrahmah.com)