GAZA (Arrahmah.id) — Aksi Amerika Serikat (AS) yang mengirimkan 36.000 paket makanan ke Gaza utara pada Selasa (6/3/2024) bersama Yordania memicu perdebatan luas. Apalagi organisasi kemanusiaan berargumen bantuan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan yang melonjak di Gaza.
Penerjunan bantuan dari udara juga merupakan simbol gagalnya upaya pengiriman bantuan di lapangan.
Dilansir BBC (6/3), lebih dari 20 bantuan udara diterjunkan ke Gaza selama beberapa minggu terakhir, berkoordinasi dengan militer Israel, Prancis, Uni Emirat Arab dan Mesir yang melakukannya bersama AS dan Yordania.
Seorang warga Gaza, Ismail Mokbel, mengatakan kepada radio Gaza Lifeline, program BBC Arab – layanan radio darurat di wilayah itu yang didirikan tengah konflik – bahwa paket bantuan yang jatuh dari langit pada Jumat lalu terdiri dari beberapa kacang-kacangan dan kebutuhan kesehatan perempuan.
Seorang pria lain, Abu Youssef, mengatakan dia tidak mendapatkan bantuan yang berjatuhan dekat Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza.
“Tiba-tiba, ketika kami melihat ke langit, kami melihat parasut bantuan. Jadi kami tetap diam di tempat [di mana kami berada] sampai bantuan mendarat sekitar 500 meter dari kami.
”Ada banyak orang, tetapi bantuannya sedikit, jadi kami tidak bisa mendapatkan apa-apa,” katanya.
Mokbel mengatakan bantuan yang dijatuhkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagian besar warga di daerah tersebut.
“Ribuan warga melihat bantuan jatuh ke arah mereka … Dan ketika ratusan atau ribuan menunggu di daerah seperti itu, hanya sekitar 10 hingga 20 orang yang mendapatkan barang, sementara sisanya tidak mendapatkan apa-apa.
“Sayangnya, metode menjatuhkan bantuan melalui udara ini bukan cara yang paling cocok untuk mengirim bantuan ke distrik utara Gaza,” tambahnya.
“Gaza membutuhkan jalur darat dan air untuk memberikan bantuan daripada [melakukannya] dengan cara seperti itu, yang tidak memenuhi kebutuhan semua warga.”
Pengiriman bantuan lewat udara awalnya digunakan selama Perang Dunia II untuk menjangkau pasukan yang terisolasi di darat.
Kini, bantuan udara telah berkembang menjadi sarana yang berharga untuk memberikan bantuan kemanusiaan, dengan PBB pertama kali menggunakannya pada 1973.
Namun, sarana itu dianggap sebagai “pilihan terakhir”, yang hanya digunakan “ketika opsi yang lebih efektif gagal”, seperti yang dikatakan WFP dalam laporan tahun 2021.
Sudan Selatan adalah tempat terakhir di mana WFP melakukan pengiriman udara.
“Pengiriman udara mahal, sembrono dan biasanya orang yang tidak tepat malah mendapatkan bantuan,” kata Jan Egeland, sekretaris jenderal Dewan Pengungsi Norwegia dan mantan kepala bantuan PBB, kepada BBC setelah kembali dari kunjungan tiga hari baru-baru ini ke Gaza.
Faktanya, biaya pengiriman udara tujuh kali lebih mahal dibandingkan pengiriman bantuan jalur darat karena ongkos pesawat, bahan bakar dan personel, kata WFP.
Selain itu, jumlah bantuan yang dapat dikirim relatif kecil dengan setiap penerbangan, dibandingkan dengan apa yang dapat dibawa oleh konvoi truk, dan koordinasi darat yang signifikan diperlukan dalam zona pengiriman, kata WFP.
Komite Palang Merah Internasional juga menekankan pentingnya mengendalikan distribusi untuk mencegah risiko berbahaya bagi hidup warga yang mengonsumsi barang-barang yang kurang layak atau tidak aman bagi mereka.
“Memberikan makanan secara tiba-tiba dan tanpa pengawasan kepada orang-orang yang kekurangan gizi atau bahkan kelaparan dapat menimbulkan risiko serius bagi kehidupan.
”Risiko-risiko ini perlu dipertimbangkan agar barang tidak dikirim melalui udara, atau penundaan distribusi darat mungkin terjadi,” organisasi itu memperingatkan dalam laporan 2016 yang diterbitkan ketika bantuan dijatuhkan dari udara ke Suriah dalam perang saudara di negara itu.
Pengiriman udara dapat dilakukan dari ketinggian yang berbeda-beda, mulai dari sekitar 300 meter hingga 5.600 meter di zona konflik, dan pengemasan yang kuat sangat penting untuk memastikan paket bertahan setelah terbentur dengan tanah, WFP menambahkan.
Menurut lembaga tersebut, zona penurunan idealnya harus besar, area terbuka tidak lebih kecil dari lapangan sepak bola, itulah sebabnya pengiriman sering ditujukan ke garis pantai Gaza. Namun, metode ini kadang-kadang membuat bantuan jatuh ke laut atau dibawa oleh angin ke Israel, menurut catatan setempat.
Warga Gaza, Samir Abo Sabha, mengatakan kepada radio Gaza Lifeline BBC Arab bahwa ia percaya AS harus berupaya lebih dan menekan sekutunya Israel untuk melakukan gencatan senjata.
“Sebagai warga Gaza, [saya pikir] barang [bantuan] ini tidak berguna,” katanya. “Apa yang kami inginkan [adalah] Amerika menekan Israel melakukan gencatan senjata dan berhenti memberi Israel senjata dan rudal.”
Beberapa pekerja bantuan telah mengungkapkan hal yang sama.
Pekan lalu, Scott Paul dari Oxfam America menulis di X, media sosial yang dulu disebut Twitter:
“Daripada mengirim bantuan udara sembarangan di Gaza, AS harus memotong aliran senjata ke Israel yang digunakan dalam serangan, mendorong gencatan senjata segera dan pembebasan sandera,” tulisnya.
”Dan mendesak Israel agar menjunjung tinggi tugasnya untuk memberikan bantuan kemanusiaan, akses, dan layanan dasar lainnya.”
Melanie Ward dari Bantuan Medis untuk Palestina mengatakan AS, Inggris dan negara lainnya harus “memastikan Israel segera membuka semua penyeberangan ke Gaza untuk pengiriman bantuan dan pekerja kemanusiaan untuk membantu warga yang membutuhkan”.
Tetapi dengan krisis menjadi semakin parah, pihak-pihak lain berpendapat bahwa makanan harus dikirim dengan segala cara.
“Kami perlu membawa makanan ke Gaza dengan cara apa pun yang kami bisa. Kami harus membawanya melalui laut,” kata José Andrés, seorang koki dan pendiri World Central Kitchen, yang telah mengirim makanan ke Gaza, kepada ABC News.
“Saya pikir kita tidak perlu mengkritik Yordania dan Amerika karena mengirim bantuan udara. Melainkan, kita harus memuji setiap upaya yang membawa makanan ke Gaza.”
Presiden Joe Biden telah bersumpah bahwa AS akan “melipatgandakan upaya kami untuk membuka koridor maritim, dan memperluas pengiriman [bantuan] lewat darat” – tetapi upaya itu belum terwujud di lapangan.
Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel, Laksamana Muda Daniel Hagari, mengatakan pada Minggu (3/3) bahwa mereka memfasilitasi konvoi bantuan dan penerjunan udara ke Gaza utara “karena kami ingin bantuan kemanusiaan mencapai warga sipil Gaza yang membutuhkan”.
“Kami akan terus memperluas upaya kemanusiaan kami kepada penduduk sipil di Gaza sementara kami memenuhi tujuan pembebasan sandera dari Hamas dan membebaskan Gaza dari Hamas,” tambahnya. (hanoum/arrahmah.id)