GAZA (Arrahmah.id) — Jumlah truk bantuan yang masuk ke Gaza, yang sebagian besar hancur akibat perang Israel yang sedang berlangsung, mengalami penurunan drastis dibandingkan bulan-bulan sebelum perang.
Penurunan ini terjadi bahkan pada saat Gaza yang hancur sangat membutuhkan obat-obatan, makanan, bahkan air, dan pasokan penting lainnya untuk menyelamatkan jiwa.
Lebih dari 9.800 truk yang membawa bantuan kemanusiaan telah memasuki Jalur Gaza yang terkepung antara 21 Oktober dan 1 Februari, menurut Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS).
Dalam sebuah pernyataan di X. dikutip dari Palestine Chronicle (4(2/2024), PRCS mengatakan “9.831 truk bantuan” mencapai Gaza “melalui penyeberangan Rafah dan Karm Abu Salem, dengan rata-rata 94,5 truk per hari.”
Sebelum serangan gencar Israel di Jalur Gaza, sekitar 600 truk dilaporkan memasuki Gaza setiap hari.
Truk-truk tersebut mengangkut makanan, air, bantuan, pasokan medis, dan obat-obatan, katanya.
Selama periode tersebut, PRCS “mengalokasikan sekitar 79 persen porsi makanan dan truk bantuannya kepada Kementerian Pembangunan Sosial, sekitar 16 persen kepada UNRWA dan lembaga-lembaga lainnya.”
Dalam hal pasokan medis dan obat-obatan, PRCS menyediakan sekitar 72,5 persen kepada Kementerian Kesehatan, 4 persen kepada UNRWA, dan sekitar 18 persen kepada rumah sakit masyarakat lokal dan swasta.”
Organisasi tersebut juga menerima 95 ambulans dan mendistribusikannya “melalui koordinasi dengan otoritas terkait”, katanya.
Israel dituduh melakukan genosida di Gaza. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, 27,365 warga Palestina telah terbunuh, dan 66,663 terluka dalam genosida Israel yang sedang berlangsung di Gaza mulai tanggal 7 Oktober.
Selain itu, setidaknya 8.000 orang masih belum ditemukan, diperkirakan tewas di bawah reruntuhan rumah mereka di seluruh Jalur Gaza.
Perkiraan Palestina dan internasional menyebutkan bahwa mayoritas dari mereka yang terbunuh dan terluka adalah perempuan dan anak-anak.
Agresi Israel juga mengakibatkan hampir dua juta orang terpaksa mengungsi dari seluruh Jalur Gaza, dengan sebagian besar pengungsi terpaksa mengungsi ke kota Rafah di bagian selatan yang padat penduduknya, dekat perbatasan dengan Mesir – yang kini menjadi kota terbesar di Palestina. eksodus massal sejak Nakba 1948. (hanoum/arrahmah.id)