BANDUNG (Arrahmah.com) – Banjir yang melanda Kabupaten Bandung, Jawa Barat saat ini merupakan banjir terparah dalam kurun waktu lebih dari dua dekade setelah banjir besar terjadi tahun 1986. Pernyataan tersebut disampaikan Bupati Bandung, Obar Sobarna, Jumat (19/2) terkait banjir besar yang melanda kawasan Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot dan Banjaran.
“Dari ketinggian permukaan air yang mencapai empat meter, luasan wilayah dan korban banjir mengalami kenaikan beberapa kali lipat akibat curah hujan yang cukup tinggi, kerusakan alam dan letak wilayah yang berada di cekungan Bandung,” ujarnya saat mendampingi kunjungan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, Jusuf Kalla.
Ketinggian permukaan air di wilayah Baleendah, Banjaran dan Dayeuhkolot mencapai empat meter hingga menutupi atap rumah warga. “Ketinggian air di wilayah Baleendah yang berada di bantaran Sungai Citarum biasanya mencapai dua meter dan terjadi di beberapa desa saja,” ujarnya. “Warga yang rumahnya berada agak jauh dengan sungai Citarum mengalami genangan air hingga setinggi 1.5 meter sehingga jumlah pemukiman penduduk yang terkena banjir mencapai lebih dari sepuluh ribu unit,” katanya.
Hal ini akibat curah hujan yang tinggi dalam tiga minggu terakhir sehingga volume genangan air semakin besar dan meluas ke berbagai wilayah kecamatan yang berdekatan dengan sungai ataupun anak Sungai Citarum. “Baleendah dan Dayeuhkolot berada di cekungan Bandung yang merupakan area paling rendah dibandingkan Kota Bandung dan sekitarnya sehingga air dari anak-anak sungai yang bermuara ke Sungai Citarum tertampung di titik ini dan luber,” ujarnya.
Ketika ditanyakan kabar adanya tanggul Situ Cileunca yang jebol, BUpati yang masa jabatannya akan berakhir di tahun ini membantahnya. “Tanggul situ tidak jebol maupun retak namun karena volume air besar maka luber ke luar situ,” tegasnya. Mengenai solusi dari permasalahan banjir yang setiap tahunnya “memakan” korban Baleendah dan sekitarnya, Obar menjelaskan telah membuat usulan untuk membangun tiga buah rumah singgah di wilayah Cieunteung, membangun sekolah bertingkat di wilayah banjir dan membuat bendungan kecil,” tutunya.
“Untuk merelokasi pemukiman di wilayah bantaran Sungai Citarum sangatlah tidak mungkin karena adanya penolakan warga dan keterbatasan anggaran sehingga yang dapat kita lakukan adalah meminimalisisasi kerugian warga,” katanya. Ia menjelaskan hal ini telah dibahas dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono beberapa waktu lalu jika merelokasi pemukiman penduduk. “Menkokesra juga sependapat jika dibangun rumah susun (rusun) jika warga yang telah biasa tinggal dan mencari uang di wilayah rawan banjir menolak relokasi.
Bupati menjelaskan juga pengerukan sungai yang dilakukan pemerintah pusat sesungguhnya telah berhasil dilaksanakan meski banjir masih terjadi. “Di wilayah yang berdekatan dengan sungai yang telah dikeruk seringkali tidak mengalami banjir meski saat ini menjadi korban,” ujarnya. Namun ia mengakui adanya perubahan wilayah yang terkena banjir setelah pengerukan. “Dulu Bojongsoang merupakan wilayah terparah saat ini bergeser menjadi Cieunteung yang merupakan lokasi paling parah akibat normalisasi dan belum tuntasnya pengerukan yang telah dilakukan selama tujuh tahun terakhir,” katanya.
Sejak tiga minggu terakhir warga Baleendah, Dayeuhkolot dan Bojongsoang terkena banjir namun Kamis malam lalu (18/2) wilayah lainnya seperti Banjaran, Rancaekek, Soreang dan dua kecamatan lainnya mengalami hal serupa akibat meluapnya Sungai Citarum. (rep/arrahmah.com)