JAKARTA (Arrahmah.com) – Banjir kembali melanda negeri ini. Bahkan, banjir menjadi fenomena yang telah dianggap biasa sebagai musibah tahunan di negeri ini. Setelah Jakarta dan Sulawesi tahun lalu, kini banjir besar terjadi di Kalimantan Selatan. Hal ini terjadi akibat daerah tersebut diguyur hujan selama 10 hari berturut-turut, hingga menyebabkan sungai Borneo meluap karena tidak mampu menampung volume air yang cukup besar, yaitu 2.1 milyar kubik.
Sontak saja, seperti air laut pindah ke daratan. Pasalnya luapan sungai tersebut menyebar hingga13 kabupaten. Tak bisa dihindari korban pun terus bertambah. Dihitung per 27 Januari terdapat 24.379 rumah terendam dan 39.549 jiwa mengungsi, 15 jiwa di antaranya meninggal dunia. (Republika.coid, 17/1/2021)
Menurut Direktur Eksekut Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengatakan bahwa curah hujan bukanlah penyebab banjir, akan tetapi rusaknya ekologi daerah Borneo. Hal tersebut dengan ditemukannya lubang tambang sebanyak 814 milik 157 perusahaan. Sebagian tambang tersebut adalah masih aktif dan sebagian yang lain ditinggal tanpa reklamasi.
Masalah inilah yang menyebabkan bencana Kalimantan Selatan terjadi. Pasalnya hutan yang seharusnya menyerap air, kini akar-akar yang kuat tersebut telah musnah. Apalagi saat ini Kalimantan Selatan yang memiliki luas wilayah 3.1 juta hektar, 50% di antaranya telah diberi izin pembukaan lahan kelapa sawit dan pembukaan pertambangan.
Tentu hal tersebut sangat mengkhawatirkan bagi wilayah Kalimantan Selatan. Pemikiran tersebut tidak lain dipengaruhi oleh sistem saat ini, yakni kapitalis sekularisme. Di mana keputusan yang diambil dan kebijakan yang diperlakukan adalah mendapat keuntungan bagi pemerintah. Sebab, standarnya dalam memutuskan adalah manfaat, tanpa memikirkan dampak dari kebijakan tersebut. Lahan-lahan yang seharusnya menjadi resapan air, kini beralih fungsi menjadi perkebunan, pertambangan, bahkan pembagunan vila dan perumahan.
Inilah kebobrokan sistem kapitalisme sekularisme. Di mana sistem tersebut meninggalkan aturan Sang Pencipta dari segala aspek kehidupan. Sehingga membuat lahan-lahan dikuasai individu baik kapitalis asing maupun domestik. Berbeda halnya dalam Islam. Islam adalah agama paripurna. Selain mengatur masalah ritual, Islam juga mengatur masalah banjir.
Dalam Islam hutan termasuk lahan yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Selain mengeluarkan oksigen di siang hari, hutan mengatur perubahan iklim. Dengan pohon-pohon menjulang tinggi dan dipenuhi rerumputan membuat tempat perlindungan margasatwa dan suku-suku pedalaman. Di samping itu hutan juga menyimpan tumbuhan herbal sebagai obat-obatan yang dibutuhkan setiap manusia.
Melihat fungsinya yang dibutuhkan setiap orang dan mempunyai pengaruh terhadap kemaslahatan umat. Maka hal ini haram dikuasai individu, baik kapitalis asing maupun domestik.
“Dari Ibnu Abbas ra, Nabi Muhammad Saw bersabda; orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput, dan api.”
Semua kekayaan tersebut baik tambang berupa batu bara ataupun yang lain tergolong api sedangkan hutan yang tergolong rumput dalam hadis tersebut, negara yang berhak mengelola.Tetapi tidak boleh diswastanisasi akan tetapi dikelola oleh negara. Sedangkan hasil dari pengelolaan tersebut dikembalikan kepada rakyat. Melalui pendidikan dan kesehatan gratis dan kebutuhan yang lain. Sebab negara kedudukannya sebagai pelayan bagi rakyatnya.
Jika lahan tersebut tidak mencukupi untuk menanggulangi banjir, maka pemerintah harus menambah infrastruktur. Yaitu bendungan, waduk, dan kanal. Pemerintah pun memberikan kebijakan dan sanksi terhadap rakyatnya bagi rakyat yang membuang sampah di sungai dan bangunan pemukiman di pinggiran sungai.
Kebijakan-kebijakan tersebut akan ada jika negara menerapkan sistem Islam sebagai ideologi negara. Sebab Islam adalah Rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, tunggu apalagi untuk kembali menerapkan Islam? Akankah menunggu seluruh wilayah digenangi banjir dan tanah longsor? Tentu miris bukan?
Maka benar musibah banjir di seluruh negeri tidak lain bukti keserakahan kapitalisme sekularisme.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an
ظَهَرَ الْفَسَا دُ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّا سِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS. Ar-Rum 30: Ayat 41)
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh: Rati Suharjo, Pegiat Dakwah dan Member AMK
(*/arrahmah.com)