Oleh: Mutiara Aini
Banjir merupakan fenomena yang kerap terjadi saat musim penghujan. Hal ini pun menjadi persoalan serius dan memerlukan perumusan yang serius pula untuk menggali akar persoalannya. Sehingga solusi yang akan dilakukan tepat sasaran.
Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 564 peristiwa bencana alam di Indonesia sejak 1 Januari hingga 7 Maret 2023. Dari jumlah tersebut, bencana banjir paling sering terjadi dengan total 233 kejadian. Jumlah ini setara 41,32% dari total kejadian bencana nasional pada periode tersebut. (databoks, 8/3/2023)
Selain di kota-kota besar seperti Jabodetabek, banjir pun kini melanda Sumatra Selatan. Sebanyak delapan kabupaten kota yang ada di Sumsel terdampak banjir, yaitu Musi Rawas Utara (Muratara), Musi Banyuasin (Muba), Muara Enim, Musi Rawas, Prabumulih, Ogan Ilir, Pali dan Banyuasin.
Menurut catatan dari Tribunnews.com (18/1/2024), Kepala Dinas Sosial Provinsi Sumsel Mirwansyah menyampaikan bahwasanya enam Kabupaten/Kota sudah mendapat bantuan beras, masing-masing 5 ton. Sehingga total kisaran 30 ton beras sudah diberikan. Lantas, sudah cukupkah hanya dengan bantuan tersebut?
Banjir, Buah Pembangunan Kapitalistik
Lagi-lagi curah hujan akibat perubahan iklim selalu menjadi kambing hitam penyebab banjir. Padahal, penyebab banjir tidak semata karena faktor alam. Ada banyak hal yang perlu dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Salah satunya karena penggundulan hutan di bagian hulu akibat keserakahan para oligarki. Sementara gambut di bagian hilir sudah banyak yang dibakar. Maka tak heran ketika turun hujan air tidak meresap ke dalam tanah.
Di sisi lain, alih fungsi lahan akibat pembangunan yang jor-joran dan tidak memperhitungkan dampak lingkungan. Seperti menjamurnya perumahan elite, mal-mal dan pusat perbelanjaan, serta puluhan gedung pencakar langit yang berdiri di kota-kota besar. Sementara rakyat hanya menyaksikan dan merasakan banjir akibat debit air tidak tertampung secara normal. Tumpukan sampah pun turut memperparah kondisi tersebut. Walhasil, banjir pun tidak terelakkan.
Hal ini terjadi akibat dari keserakahan para oligarki yang dipayungi hukum dan menjadikan pemberdayaan aspek wawasan lingkungan bukan untuk kepentingan masyarakat luas, melainkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi para kapitalis. Lingkungan diolah menjadi komoditas ekonomi baru yang bertajuk ekowisata.
Melihat kondisi ini, para penguasa malah sibuk berdebat saat bencana sudah terjadi. Alih-alih mencari solusi, justru masing-masing sibuk mencari kambing hitam, bahkan menjadikannya sebagai bahan untuk saling tuduh. Wajar, jika persoalan banjir ini tak pernah kelar. Bahkan eksesnya makin meluas dan sulit diselesaikan. Negara pun gagap melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak terantisipasi dengan baik.
Kerusakan ini telah Allah peringatkan dalam QS. Ar-Rum ayat 41,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Tak Cukup Bansos, Umat Butuh Solusi Sistemis
Pembangunan dalam sistem Islam dilaksanakan untuk kepentingan dan memudahkan kehidupan umat. Oleh karenanya, penguasa merupakan ujung tombak pembangunan sekaligus sebagai pengurus (raa’in) rakyat wajib menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, bukan berdasarkan kemauan para oligarki. Bukan hanya sekadar memberi makan dan tempat tidur di pengungsian, akan tetapi harus mampu mengatasi semua dampaknya. Seperti kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, ancaman kesehatan, pendidikan anak, dan lain-lain. Saat ini rakyat yang terdampak bencana menginginkan penanggulangan secara konkrit dan tuntas, walaupun tak dimungkiri mereka membutuhkan bantuan tersebut, akan tetapi solusi yang sebenarnya adalah perbaikan lingkungan, agar bencana banjir tak melanda daerah mereka lagi.
Oleh karena itu, dalam sistem Islam negara akan memperhatikan pembangunan infrastruktur agar tidak semerawut dan tumpang tindih sebagaimana kondisi hari ini. Selain itu, pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah, rumah sakit, jalan, pasar, masjid, dll. akan diatur dengan memperhatikan lokasi permukiman sehingga warga mudah mengakses fasilitas tersebut. Adapun industri dan pertambangan akan dijauhkan dari permukiman sehingga tidak membahayakan warga. Daerah bantaran sungai tidak boleh dijadikan permukiman, kalaupun ada warga yang tinggal di sana, maka negara akan memberikan tempat tinggal yang layak dan aman.
Di samping itu, rakyat diperbolehkan memanfaatkan hasil hutan, baik berupa kayu maupun tambang. Tetapi cara pengambilan hasil hutan harus sesuai dengan hasil pengkajian dari para ahli sehingga tidak merusak alam. Begitu juga cara penambangan harus memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga tidak mengakibatkan kerusakan dan limbah yang mengganggu kesehatan dan kenyamanan rakyat. Mengedepankan pembangunan yang ramah lingkungan tentu menjadi visi dalam model pemerintahan Islam. Visi tersebut telah terbukti dalam sistem Islam yang pernah hadir dalam sejarah peradaban selama 13 abad lamanya.
Inilah solusi komprehensif sekaligus skenario sistemis dalam mengentaskan permasalahan banjir pada era kapitalistik saat ini.
Wallahua’lam bishawwab