Oleh Novi Widiastuti
Penulis dan Pengamat Sosial
Pemerintah berencana memulai pembangunan jalan bebas hambatan GETACI (Gedebage-Tasik-Cilacap) pada tahun 2024. Tol yang digadang-gadang sebagai yang terpanjang di Indonesia diperkirakan menelan biaya sebesar 67 Triliun rupiah. Keberadaannya merupakan Proyek Strategis Nasional sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Sementara Pembiayaan ditetapkan bersumber dari konsorsium dengan masa konsesi selama 40 tahun.
Selama periode waktu tertentu, pemerintah akan memberikan hak kepada perusahaan swasta untuk membangun, mengoperasikan, dan memelihara fasilitas. Mereka berhak untuk mengumpulkan pendapatan dari pengguna jalan melalui tarif yang ditetapkan. Namun kepemilikan dan pengoperasian itu nantinya akan dikembalikan kepada negara atau badan pengelola yang ditunjuk.
Daerah yang sudah mulai terdampak pembangunan Tol Getaci seksi 1 di area Kabupaten Bandung mencakup 6 kecamatan dan 28 desa. Bukan tanpa masalah, tercatat proses lelang sudah mengalami pemunduran setidaknya 3 kali. Di sisi lain, kabar tak sedap pun muncul, bahwa proyek ini justru tengah dalam penanganan dugaan pungutan liar (pungli) yang dilaporkan oleh masyarakat di sekitar lokasi. Mereka mengaku kena pungli setelah mendapatkan uang ganti rugi (UGR). (www.kompas.com, 29/2/2024)
Pembangunan di Indonesia masih dihadapkan pada kondisi ketimpangan wilayah. Menurut para ekonom, perkembangan ekonomi yang berlangsung di negara berkembang sering terkendala oleh buruknya kondisi infrastruktur. Selain itu diperparah dengan adanya praktik korupsi yang menyeret sejumlah nama yang merupakan pejabat publik, seperti anggota dewan, kepala daerah hingga aparat pemerintahan.
Namun sayang pembangunan di bawah pengaturan sistem kapitalisme cenderung berorientasi bisnis, bukan semata-mata pada fungsi pelayanan publik. Karena pembangunannya diserahkan kepada para kapital atau pemodal. Maka wajar yang dikejar oleh para pengusaha adalah keuntungan. Selama masa konsesi, perusahaan atau konsorsium berhak untuk memberlakukan tarif yang bisa mengembalikan modal yang dikeluarkan, juga mendapatkan keuntungan dari proses pembangunan dan pengelolaan yang mereka lakukan. Dalam pelaksanaannya, ada tiga masalah yang akan dihadapi yaitu penetapan tarif, kualitas pelayanan dan pengakhiran masa pengelolaan.
Lain halnya pembangunan di bawah sistem Islam, pembangunan infrastruktur dikelola oleh pemerintah dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi tidak boleh mengambil keuntungan kalaupun sampai harus ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lain. Ini termasuk juga membangun prasarana lain yang menjadi kewajiban negara untuk rakyatnya seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi rakyat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka.
Menurut pandangan syariat, pembangunan infrastruktur adalah murni sebagai bentuk pelayanan negara kepada masyarakat. Di masa kejayaan Islam, Khalifah Umar bin al-Khatthab pernah membangun proyek-proyek infrastruktur dengan tujuan murni pelayanan publik. Saluran-saluran irigasi terbentang hingga ke daerah-daerah taklukan. Hal ini berlanjut sampai khalifah berikutnya.
Sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serbaguna untuk kelancaran dan distribusi air. Semua itu dilakukan agar seluruh masyarakat bisa mengakses air. Yang paling terkenal adalah proyek penggalian teluk yang menghubungkan Madinah dan Mesir agar bantuan dapat terdistribusi dengan cepat dan mudah. Khalifah Umar ra. meminta ‘Amr bin ‘Ash ra. memperbaiki Laut Qalzum (Laut Merah) pada saat itu sehingga harga makanan di antara dua wilayah itu sama.
Para sejarawan tidak pernah sekalipun menemukan proyek-proyek ambisius pada zaman tersebut yang didanai di atas tumpukan utang. Semua berdasarkan optimalisasi anggaran pemasukan negara yang dipergunakan dengan sangat baik dan menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pelayanan publik.
Abdurrahman Al-Maliki menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam dibagi menjadi dua jenis, pertama yang sangat dibutuhkan oleh publik yang jika ditunda akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi publik; kedua dibutuhkan masyarakat, tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya.
Pada kategori yang kedua, infrastruktur tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana. Pembangunan ini baru bisa dilaksanakan apabila dana APBN atau Baitul Mal mencukupi. Tapi jika infrastruktur itu mendesak dan harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain tanpa ada perhitungan riba. Karena sejatinya pinjaman tersebut akan dibayar dari dana yang dikumpulkan dari masyarakat.
Demikianlah Islam memandang pembangunan insfrastruktur yang merata dan sumber pembiayaannya yang adil di seluruh negeri Islam. Semua ini bukanlah semata-mata romantisme sejarah atau keteladanan sikap individual semata. Hal ini adalah contoh penerapan sistem Islam oleh negara, termasuk dalam kebijakan-kebijakan ekonominya. Contoh-contoh praktis ini adalah inspirasi tentang hakikat sebuah sistem Islam secara paripurna yang telah ditinggalkan kaum Muslim selama kurang lebih 100 tahun lamanya.
Karena berpaling dari sistem Islam secara paripurna, pembangunan infrastruktur tidak lebih dari proyek perebutan jatah-jatah kekuasaan untuk mengisi kantong para elit. Amat jauh dari fungsinya yang mulia, sebagai sarana bagi para penguasa untuk menunaikan kewajibannya sebagai pelayan masyarakat dan meraih rida Allah ta’ala.
Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan ia bertanggung jawab pada rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari).
Wallahu A’lam Bish shawwab