DHAKA (Arrahmah.com) — Kepolisian Bangladesh menangkap 172 warga Rohingya dalam beberapa pekan terakhir, setelah melakukan penindakan tegas terkait pembunuhan brutal pemimpin terkemuka Rohingya, Mohib Ullah.
Seperti dilansir AFP, Senin (1/11/2021), Mohib Ullah ditembak mati pada akhir September lalu di salah satu kamp pengungsi Rohingya di dekat kota pelabuhan Cox’s Bazar, yang menjadi tempat tinggal bagi 700.000 pengungsi etnis minoritas muslim Rohingya yang melarikan diri dari operasi militer Myanmar tahun 2017 lalu.
Mohib Ullah yang berusia 48 tahun dan berprofesi sebagai guru, mencuat sebagai advokat yang dihormati di kalangan pengungsi Rohingya. Namun beberapa pekan sebelum pembunuhannya, dia menjadi target serentetan ancaman pembunuhan dari kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Di antara mereka yang ditangkap dalam beberapa pekan terakhir, terdapat 10 tersangka yang diduga terlibat dalam pembunuhan Mohib Ullah.
“Perjuangan kami melawan para penjahat di kamp akan berlanjut,” ucap komandan Batalion Polisi Bersenjata (APB), Naimul Haque.
Menurut pernyataan unit Haque, sekitar 114 orang lainnya yang ditangkap Kepolisian Bangladesh menyatakan diri mereka sebagai anggota ARSA.
Bangladesh secara rutin menyangkal adanya militan yang beroperasi di dalam kamp pengungsi Rohingya, dan mengklaim para pelaku kriminal yang terlibat tindak kekerasan bersenjata maupun perdagangan narkoba dengan menggunakan nama kelompok militan itu.
Namun keluarga dan kolega Mohib Ullah menyalahkan ARSA atas pembunuhan tokoh Rohingya itu. Tuduhan itu telah dibantah oleh ARSA.
Kepolisian Bangladesh juga merelokasi lebih dari 70 orang, termasuk keluarga almarhum Mohib Ullah dan kerabat dari tujuh orang lainnya yang ditembak mati bulan lalu — yang juga diduga dilakukan kelompok militan.
“Seluruh keluarga korban ketakutan setelah insiden ini,” ucap pejabat senior kepolisian setempat, Kamran Hossain, kepada AFP.
Secara terpisah, Nurul Islam, seorang pengungsi Rohingya yang anaknya tewas dalam salah satu serangan, menyatakan keluarganya merasa terlalu takut untuk tetap tinggal di kamp pengungsi.
“Semua Rohingya tidak aman dari ARSA. Mereka ingin membunuh kita, mereka menginginkan ketidakstabilan,” ucapnya via telepon kepada AFP. (hanoum/arrahmah.com)