DHAKA (Arrahmah.com) – Bangladesh memerintahkan perusahaan telekomunikasi untuk berhenti menjual kartu SIM dan menutup layanan ponsel ke hampir satu juta pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi yang luas.
Perintah itu bergema di seluruh kamp pada Senin (2/9/2019), di mana pihaknya mengancam untuk memutus pengungsi Rohingya dari beberapa pemukiman yang membentang sejauh beberapa kilometer di distrik perbatasan Cox’s Bazar. Pemadaman komunikasi juga akan mengisolasi Rohingya dari keluarga mereka yang masih berada di Myanmar, tempat mereka melarikan diri dari tindakan brutal militer.
Operator telekomunikasi memiliki tujuh hari untuk menyampaikan laporan kepada pemerintah tentang tindakan yang mereka ambil untuk mematikan jaringan di kamp, kata Zakir Hossain Khan, juru bicara Komisi Pengaturan Telekomunikasi Bangladesh.
“Banyak pengungsi menggunakan telepon seluler di kamp-kamp itu. Kami telah meminta para operator untuk mengambil tindakan untuk menghentikannya,” kata Khan kepada kantor berita AFP, dengan mengklaim keputusan itu dibuat berdasarkan “alasan keamanan”.
Dekrit tersebut mengikuti apa yang pemerintah gambarkan sebagai serangkaian kejahatan kekerasan di kamp-kamp dalam beberapa pekan terakhir.
Sekitar 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dari Negara Bagian Rakhine di Myanmar sejak Agustus 2017, setelah tindakan keras militer terhadap minoritas Muslim Rohingya, sebuah pembersihan sistemik yang digambarkan oleh PBB sebagai “contoh pembersihan etnis”.
Mereka bergabung dengan sekitar 200.000 pengungsi Rohingya lainya yang melarikan diri bertahun-tahun sebelumnya.
Tidak ada cara untuk berkomunikasi
Sementara Bangladesh secara resmi melarang ponsel di kamp-kamp pada tahun 2017, aturan tersebut tidak pernah ditegakkan sepenuhnya dan set ponsel dan kartu SIM tetap mudah tersedia di pasar yang berkembang di kamp-kamp.
Pengungsi mengandalkan teknologi, dan siaran radio, untuk menyebarkan informasi dan terhubung dengan keluarga.
“Kami tidak akan dapat berkomunikasi dengan kerabat kami yang tinggal di Myanmar atau bagian lain dunia,” kata seorang pemimpin Rohingya, yang tidak ingin disebutkan namanya, seperti dilansir Al Jazeera.
Seorang pejabat PBB, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan langkah itu akan “lebih jauh mengisolasi dan lebih menyulitkan mereka yang telah teraniaya”.
‘Dampak positif’
Ikbal Hossain, seorang juru bicara polisi, memuji keputusan tersebut dengan mengklaim para pengungsi telah “menyalahgunakan” akses ponsel untuk melakukan kegiatan kriminal seperti perdagangan pil metamfetamin, bernilai ratusan juta dolar, dari Myanmar.
“Itu pasti akan membuat dampak positif. Saya percaya tindakan kriminal pasti akan turun,” katanya kepada AFP.
Polisi juga mengutip serangkaian insiden kriminal sebagai pembenaran, termasuk hampir 600 kasus perdagangan narkoba, pembunuhan, perampokan, perkelahian geng, dan perselisihan keluarga, sejak para pengungsi datang.
Polisi juga baru-baru ini membunuh empat pengungsi Rohingya ketika sedang menyelidiki pembunuhan seorang pejabat partai berkuasa setempat, Omar Faruk. Pihak berwenang mengatakan para penjahat Rohingya diduga berada di balik pembunuhan itu.
Pembunuhan Faruk menyebabkan ratusan penduduk setempat yang marah memblokir jalan raya menuju kamp pengungsi selama berjam-jam pada 22 Agustus, membakar ban dan merusak toko yang dikunjungi oleh para pengungsi.
Pasukan keamanan Bangladesh telah menembak mati sedikitnya 34 pengungsi Rohingya selama dua tahun terakhir, sebagian besar dengan tuduhan erdagangan metamfetamin.
Para pengungsi Rohingya mengatakan pertumpahan darah baru-baru ini telah menciptakan suasana ketakutan di kamp, di mana keamanan diperketat. Kelompok-kelompok HAM menuduh polisi Bangladesh melakukan pembunuhan di luar proses hukum. (haninmazaya/arrahmah.com)