DHAKA (Arrahmah.com) – Bangladesh memindahkan sekitar lebih dari 4.000 pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil di Teluk Benggala dalam dua hari ke depan. Pemindahan ini memicu kekhawatiran tentang risiko badai dan banjir yang melanda pulau tersebut.
Komodor Angkatan Laut Rashed Sattar mengatakan, seperti dilansir Reuters (14/2/2021), para pengungsi Rohingya dipindahkan ke Pulau Bhasan Char dengan menggunakan kapal pada Senin (15/2) dan Selasa (16/2).
Dia mengatakan, relokasi tersebut dilakukan untuk mengurangi kepadatan di kamp pengungsian yang telah overkapasitas. Menurut dia, kepadatan yang berlebihan di kamp-kamp pengungsi memicu kejahatan.
Sebelumnya, Bangladesh telah merelokasi sekitar 7.000 pengungsi Rohingya ke Pulau Bhasan Char sejak awal Desember dari kamp-kamp pengungsian.
Bangladesh mengatakan, relokasi tersebut bersifat sukarela, tetapi beberapa orang dari kelompok pertama yang dipindahkan mengatakan ada unsur pemaksaan.
Pemerintah Bangladesh telah menepis kekhawatiran tentang keamanan di pulau itu. Pemerintah membangun pertahanan banjir serta perumahan untuk 100 ribu orang, rumah sakit, dan pusat topan.
Bhasan Char berjarak beberapa jam perjalanan dari pelabuhan selatan Chittagong. Pengungsi Rohingya yang tiba di Bhasan Char tidak diizinkan meninggalkan pulau tersebut.
Bangladesh telah menuai kecaman karena enggan untuk berkonsultasi dengan Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan bantuan lainnya atas relokasi tersebut. Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi mengatakan, mereka belum diizinkan untuk mengevaluasi keselamatan dan keberlanjutan kehidupan di pulau itu.
“Proses pemindahan Rohingya akan terus berlanjut. Mereka pergi ke sana untuk kehidupan yang lebih baik,” ujar wakil pejabat Pemerintah Bangladesh yang bertanggung jawab atas pengungsi, Mohammad Shamsud Douza.
“Prioritas utama kami adalah memulangkan mereka ke kampung halaman mereka dengan cara yang bermartabat dan berkelanjutan,” kata Douza menambahkan.
Bangladesh telah meminta Myanmar untuk melanjutkan proses repatriasi sukarela pengungsi Rohingya yang terhenti karena tekanan internasional akibat kudeta militer. Situasi politik di Myanmar yang bergejolak memupuskan harapan para pengungsi Rohingya untuk kembali ke kampung halaman mereka.
“Saya tidak melihat ada masa depan untuk kami. Sedikit harapan yang kami miliki untuk kembali ke tanah air setelah kudeta,” ujar seorang pengungsi Rohignya yang tidak disebutkan namanya.
Bangladesh menampung lebih dari satu juta orang Rohingya di kamp-kamp darurat yang sempit di Cox’s Bazar, yang dianggap sebagai pemukiman pengungsi terbesar di dunia. Hampir 600 ribu dari mereka, bagaimanapun, masih tinggal di negara Asia Tenggara, tetapi tanpa kewarganegaraan dan hak suara.
Militer Myanmar sekarang bertanggung jawab dan telah menyatakan keadaan darurat selama setahun. Para pemimpin termasuk Aung San Suu Kyi, yang telah dituduh melanggar undang-undang impor dan ekspor dan kepemilikan perangkat komunikasi yang melanggar hukum, masih dalam tahanan rumah.
“Kami tidak dapat menghubungi kerabat kami di Rakhine karena seringnya jaringan seluler terganggu,” kata Jumalida Begum. “Kami mendengar militer mungkin akan melancarkan tindakan keras baru. Saya khawatir,” tambahnya.
Rahmat Karim (57) mengatakan semua harapan untuk kembali ke tanah air telah hancur setelah tentara militer pada 1 Februari 2021 mengambil alih. “Sepertinya sangat tidak mungkin sekarang.”
Myanmar sebelumnya mengatakan pihaknya berkomitmen untuk repatriasi sesuai perjanjian bilateral dengan Bangladesh.
Amir Ali, seorang pelajar muda, mengatakan adalah kesalahan Suu Kyi untuk bekerja dan berkolaborasi dengan militer, yang berhak mendapatkan 25 persen kursi di parlemen. “Kami tidak punya harapan bagus dari militer,” katanya. (Hanoum/Arrahmah.com)