DHAKA (Arrahmah.id) — Bangladesh kini resmi menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF), setelah lembaga itu menyetujui pinjaman sebesar 4,5 miliar dollar AS. Atau sekitar Rp70 triliun (asumsi kurs Rp15.600). Bangladesh adalah negara Asia Selatan ke-3 yang menjadi pasien IMF, setelah Sri Lanka dan Pakistan.
Mengutip Nikkei Asia (10/11/2022), Bangladesh adalah salah satu negara dengan perekonomian paling cepat berkembang di dunia, selama beberapa tahun belakangan. Namun kini negara itu dilanda inflasi tinggi dan cadangan devisa nya kian menipis.
Sehingga dikhawatirkan tidak bisa membayar utang luar negeri dan membayar impor. Ekonomi Bangladesh terdampak pandemi Covid dan perang Rusia-Ukraina, yang menimbulkan krisis pangan dan energi.
Pinjaman dari IMF, terdiri utang berjangka selama 42 bulan, termasuk 3,2 miliar dollar AS dari Extended Credit Facility (ECF) dan Extended Fund Facility (EFF), ditambah sekitar 1,3 miliar dollar AS dari Resilience and Sustainability Facility (RSF).
“Tujuan dari program baru dari dana untuk Bangladesh adalah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung pertumbuhan yang kuat, inklusif, dan hijau, sambil melindungi yang rentan,” kata IMF dalam sebuah pernyataan.
Pinjaman itu diberikan dalam rangka kesepakatan tingkat staf, yang biasanya harus disetujui oleh manajemen IMF dan dipertimbangkan oleh Dewan Eksekutifnya, yang diharapkan dalam beberapa minggu mendatang.
IMF mengatakan, pinjaman itu akan digunakan Bangladesh untuk menyusun program untuk mendorong pertumbuhan yang mencakup langkah-langkah untuk menahan inflasi dan memperkuat sektor keuangan.
Selama ini, ekonomi Bangladesh bergantung pada industri garmen berorientasi ekspor. Namun, industri garmen bersiap menghadapi perlambatan karena pelanggan besar seperti Walmart dibebani dengan kelebihan stok.
Produk-produk Walmart dan peritel lainnya banyak menumpuk di gudang, karena inflasi memaksa orang untuk memprioritaskan pengeluaran mereka dan menahan belanja.
Cadangan devisa Bangladesh telah menyusut menjadi 35,74 miliar dollar AS pada 2 November, dari 46,49 miliar pada 2021 menurut data bank sentral.
“Bahkan ketika Bangladesh menangani tantangan langsung ini, mengatasi masalah struktural yang sudah berlangsung lama tetap penting, termasuk ancaman terhadap stabilitas makroekonomi dari perubahan iklim,” tambah IMF. (hanoum/arrahmah.id)