NEW YORK (Arrahmah.com) – Sebuah kelompok hak asasi manusia internasional pada Rabu (13/6/2012) mendesak Bangladesh untuk membuka perbatasan bagi orang yang mencari perlindungan dari kekerasan sektarian di Myanmar barat.
Human Rights Watch yang berbasis di New York dalam sebuah pernyataan mendesak agar Bangladesh juga memungkinkan lembaga-lembaga kemanusiaan independen bebas untuk menolong para pengungsi dan membukanya akses ke wilayah perbatasan.
Lembaga ini menyatakan keprihatinannya setelah Bangladesh, pada Selasa (12/6) menolak tiga kapal yang membawa sekitar 1.000 warga yang menjadi korban kekerasan di Myanmar. Penolakan ini menjadikan Bangladesh berhasil mencegat sekitar 1.500 pengungsi dalam beberapa hari terakhir.
“Dengan menutup perbatasannya ketika kekerasan berada di luar kendali, sama artinya Bangladesh mempertaruhkan hidup mereka,” kata Bill Frelick, direktur Program Pengungsian Human Rights Watch.
“Bangladesh memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk menjaga perbatasan tetap terbuka bagi mereka yang melarikan diri dari ancaman terhadap kehidupan mereka dan memberikan mereka perlindungan,” kata Frelick.
Frelick juga mendesak pemerintah lain untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan dukungan lainnya bagi para pengungsi.
Kekerasan di Myanmar bagian barat antara Buddha terhadap minoritas Muslim Rohingya telah menewaskan sedikitnya 12 orang tewas dan ratusan rumah terbakar sejak Jumat pekan lalu.
Menteri Luar Negeri Bangladesh, Dipu Moni, mengatakan pada Selasa (12/6) dalam sebuah konferensi pers di Dhaka, bahwa perkara Rohingya bukan kepentingan Bangladesh dengan dalih negaranya pun sedang dilanda kesulitan.
Beberapa berhasil menyelinap ke Bangladesh, dan satu pengungsi yang berusia sekitar 50 tahun yang diduga terluka oleh tembakan dari pasukan Myanmar tewas hari Selasa di sebuah rumah sakit di Chittagong, dokter mengatakan. Dua Rohingya lainnya dirawat karena luka tembak, kata Anisur Rahman, seorang dokter di Chittagong Medical College Hospital.
Pada hari Rabu (13/6), surat kabar Daily Star menerbitkan sebuah foto di halaman depan dua perempuan dan empat anak yang mencapai Shah Pori Pulau di Teluk Benggala sehari sebelumnya setelah menghabiskan lima hari di laut.
Myanmar menganggap muslim Rohingya merupakan imigran ilegal dari Bangladesh dan menyangkal kewarganegaraan mereka. Sementara Bangladesh mengatakan Rohingya telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad dan harus diakui sebagai warga negara.
Pada 1990-an, sekitar 250.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh karena menghadapi penganiayaan yang dituduhkan oleh junta militer.
Kemudian, Myanmar mengambil kembali sebagian besar dari mereka, meninggalkan sekitar 28.000 di dua kamp yang dijalankan oleh pemerintah dan PBB.
Bangladesh tidak berhasil melakukan negosiasi dengan Myanmar selama beberapa tahun untuk mengirim mereka kembali dan, sementara itu, puluhan ribu lainnya telah memasuki Bangladesh secara ilegal dalam beberapa tahun terakhir. (althaf/arrahmah.com)