JAKARTA (Arrahmah.com) – Indonesia sebagai negara yang notabene mayoritas berpenduduk Muslim sudah seharusnya pemerintahannya menjamin agar rakyatnya mengkonsumsi produk-produk halal. Selain makanan, produk kosmetika, obat-obatan, dan bahan keperluan rumah tangga seperti sabun, pasta gigi, sabun cuci piring, sabun cuci baju dan sebagainya pun pada dasarnya harus menggunakan bahan-bahan yang halal.
Pasalnya, masayarakat awam selama ini hanya menganggap bahwa label halal hanya diperlukan untuk produk seperti makanan dan obat-obatan yang langsung dikonsumsi. Sedangkan bahan pencuci seperti sabun dan sejenisnya, mereka tidak memahami bahwa dalam proses pembuatannya bisa juga menggunakan bahan yang diharamkan dalam Islam seperti Babi.
Sungguh anehkan ketika kita ingin membersihkan najis menggunakan najis pula. Terkait hal tersebut sudah seharusnya juga bagi masyarakat lebih cermat, cerdas, dan kritis dalam memilih produk. Bahkan belum tentu produk bermerk yang diproduksi perusahaan besar sekalipun memiliki sertifikat halal.
Selain sertifikasi halal oleh MUI, kini pemerintah telah membuat RUU Jaminan Produk Halal (JPH) sebagai upaya untuk menjamin kehalalan produk yang beredar di masyarakat.
Hadirnya RUU Jaminan Produk Halal (JPH) diharapkan mampu melindungi konsumen atas produk-produk yang dikonsumsi selama ini, namun ada kemungkinan terjadi permasalahan terkait penerapan UU di lapangan. Demikian yang diungkapkan Anggota Komisi VIII DPR RI Muhammad Oheo Sinapoy.
Karenanya agar regulasi tentang produk halal ini bisa berhasil di implementasikan dengan baik, DPR RI siap menampung perusahaan yang masih merasa keberatan, kata Sinapoy di Jakarta, Senin (19/9/2011).
Dia menegaskan setelah adanya regulasi diharapkan pengusaha atau produsen bisa mengikutinya.
“Tujuan RUU JPH sebenarnya untuk melindungi konsumen. Jadi tidak ingin memberatkan pihak manapun,” kata Sinapoy.
Kalau kemudian ada pihak produsen yang keberatan dengan hadirnya RUU JPH, pihaknya mempersilahkan agar mengadukan permasalahannya.
“Silakan diajukan apa-apa permasalahannya. Nanti akan kami kawal dalam regulasi yang dibuat pemerintah,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, RUU tersebut dikeluhkan oleh berbagai pihak dengan dalih hanya akan menambah rantai perizinan sebelum distribusi yang akan menyebabkan mahalnya harga.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai, penerapan sertifikasi produk halal tersebut akan sulit karena produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia sangat banyak dan itu semua harus diaudit.
“Semestinya yang dibuat itu Undang-Undang tidak halal, karena barang yang tidak halal lebih sedikit,” kata Sofjan.
Ia juga berpendapat MUI selaku auditor produk akan kesulitan menelusuri adanya kandungan halal pada produk tertentu. Sofyan mengungkapkan sebuah produk obat saja, jumlah produk turunannya bisa mencapai ratusan dan harus ditelusuri asal-usulnya satu persatu.
Registrasi sertifikasi halal, juga tidak efisien bagi industri karena biayanya mahal.
Dia juga menambahkan industri juga akan kehilangan banyak waktu selama proses audit dilakukan dan ujung-ujungnya, konsumen yang akan menanggung dampaknya berupa kenaikan harga produk obat.
“Masyarakat kita belum mampu membayar halalnya,” kilahnya.
Bahkan dengan dalih RUU halal hanyalah salah satu ‘senjata’ untuk mencari uang maka industri farmasi Indonesia tidak berkembang.
“Menurut saya UU seperti ini tak perlu ada, ini menghambat perkembangan industri farmasi kita. Negara-negara di Arab saja yang muslimnya hebat tidak membuat UU seperti ini,” klaimnya.
Bahkan ia mengklaim sdanya lisensi halal bukan jaminan produk Indonesia otomatis diterima di Timur Tengah maupun negara-negara lain. Produk Indonesia tetap harus bersaing dengan produk-produk dari Amerika Serikat, China, dan negara Eropa.
Padahal keberadaan produk halal adalah suatu yang urgent di masyarakat. Pasalnya Islam memang telah melarang kleras umatnya mengkonsumsi segala sesuatu yang diharamkan dengan alasan apapun kecuali darurat. Ribetnya sertifikasi halal, tidak berkembangnya industry farmasi, hingga mahalnya harga prosuk hanyalah alasan untuk menolak hukum Allah ta’ala.
Arab Saudi sekalipun bukanlah negara yang patut dijadikan contoh dalam penerapan hukum Islam, karena pada dasarnya Islam itu tidak didasarkan dari suatu negara atau pribadi, tetapi Islam itu adalah berdasar Al Qur’an dan Sunnah.
Saat ini, Alhamdulillah telah banyak produk-produk yang telah bersetifikat halal. Baik itu makanan, kosmetika, obat-obatan, hingga sabun pembersih. Untuk membatu kita mencermati apakah produk yang kita gunakan sudah halal, bisa dilihat di majalah Jurnakl halal yang diterbitkan MUI, atau bisa juga melalui situs resminya di www.halalmui.org.
Sudah halalkah produk yang anda gunakan? Jika belum, mari berhijrah. Membelanjakan harta bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan atau membeli ‘merk’, tetapi mencari ridha Allah Ta’ala. Wallohua’lam. (ans/arrahmah.com)