Oleh Irfan S Awwas
(Arrahmah.com) – Di negeri ini, kita merasakan ucapan dan prilaku orang-orang kafir Yahudi, Nasrani, dan Komunis, semakin berani menampakkan kebenciannya pada Islam, dan menunjukkan permusuhannya pada kaum muslimin. Keberanian mereka tidak lepas dari peran provokatif kaum munafik, supaya terus menerus mengganggu dengan isu-isu yang menyudutkan umat Islam. Seperti stigma terorisme, radikalisme, wahabi, dan semacamnya terhadap gerakan jihad dan penegakan syari’at Islam.
Sebagai akibatnya, peran umat Islam kian tersingkir dan lemah menghadapi eksistensi serta dominasi kaum kuffar dalam pengelolaan negara. Kelemahan ini, selain disebabkan faktor eksternal, juga dan terutama disebabkan oleh faktor internal umat Islam yang bersembunyi di balik baju demokrasi dan Spilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme agama).
Faktor eksternal dimainkan oleh orang-orang munafik yang bercokol di partai, organisasi, birokrasi, kaum profesional, yang memprovokasi orang-orang kafir untuk memecah belah serta memicu permusuhan di tengah gelombang Islamophobia. Pola kerja orang-orang munafik ini, diungkapkan secara gamblang di dalam Al-Qur’an, supaya menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.
“Wahai Muhammad, apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada kaum Yahudi dan Nasrani, teman-teman mereka yang kafir: “Jika kalian diusir dari Madinah, maka kami pun akan pergi bersama kalian. Kami akan membela kalian dan tidak akan menaati orang-orang yang mengusir kalian untuk selamanya. Jika kalian diperangi, niscaya kami akan membela kalian.” Allah menjadi saksi bahwa orang-orang munafik itu pendusta.” (QS Al-Hasyr (59) : 11)
Kasus persekongkolan munafikin pimpinan Abdullah bin Ubai dan ahli kitab Yahudi dan Nasrani yang diungkap dalam ayat ini, terkait posisi sosial Nabi dan sahabatnya di Madinah. Yaitu, provokasi orang-orang munafik kepada Yahudi Bani Nadhir, yang kemudian diingkari dan dikhianatinya.
Tokoh munafik, Abdullah bin Ubai merasa tersaingi popularitasnya, lalu menyulut kebencian Yahudi dan Nasrani dengan isu rasial. “Kebebasan kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah telah diusik dan dikontrol oleh Muhammad, pendatang baru,” demikian isu yang dikembangkan kaum munafik. Karena itu, kata mereka lagi, “Kita usir Muhammad dan sahabatnya dari Madinah.”
Tegas dan jelas dalam ayat ini, bahwa ahli kitab itu adalah orang-orang kafir, sedangkan orang-orang munafik adalah teman dan komunitas kuffar sekalipun mengenakan dan membungkus diri mereka dengan pakaian serta sorban Islam.
Fenomena Ahok dan HT
Apabila kita menengok kondisi politik Indonesia sejak orla, orba, dan orde reformasi sekarang ini, persis seperti konspirasi munafik dan ahli kitab yang ingin memerangi dan mengusir kaum Muslim dari Madinah.
Orang-orang munafik, yang lahirnya beragama Islam, mereka shalat, puasa, haji, dan mengerjakan amaliyah lainnya, memprovokasi kaum kuffar Nasrani supaya menolak berlakunya syariat Islam di lembaga negara dengan isu sektarian.
Kaum nasionalis sekuler berkata, “Sejarah Nusantara membuktikan, dulu sebelum Islam datang sudah ada agama lain. Tapi sekarang orang-orang Islam menuntut berlakunya Syariat Islam. Karena itu kita harus mempertahankan budaya kita, membiarkan semua agama dan ideologi bebas berkembang, tidak ada istilah mayoritas dan minoritas”. Mereka juga beragitasi, “Sebelum Islam dominan, kita bebas berpakaian apa saja, menyembah siapa saja, tapi sekarang kita jadi saling bermusuhan.”
Provokasi seperti inilah yang memicu kebencian pada Islam. Ketika para munafikin yang bersembunyi di balik ideologi Nasionalisme dan Spilis, gemar menghidupkan tradisi dan budaya musyrik. Di zaman orla, pendukung nasakom datang dari partai berbendera Islam. Pada masa orba, yang terdepan mendukung asas tunggal pancasila justru dari kaum ulama yang disponsori MUI. Dan sekarang di masa reformasi muncul partai-partai berbasis Islam, tapi kosong dari akhlak Islam, bahkan terdepan dalam menolak syariat Islam di lembaga negara.
Karena itu, tidak heran, mengapa orang seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang arogan dan bermulut keji bisa muncul dan menjadi Gubernur DKI Jakarta? Ahok, yang sering mengobral kata-kata rasialis dan sektarian, “Saya ini China Kafir,” adalah sumber malapetaka bangsa ini. Ia yang memanfaatkan masa kepemimpinannya sebagai gubernur Ibu Kota untuk menguasai kekayaan alam Indonesia dengan menggandeng taipan-taipan pemodal besar, lalu menggusur perkampungan masyarakat lemah dan miskin dengan alasan relokasi.
Sikap arogan yang dipertontonkannya sudah sangat keterlaluan. Ia berani menghina institusi Negara sekaliber Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Prilaku kepemimpinan Ahok merupakan antitesa dari semangat dan kerangka sosial yang berlandaskan etika dan moralitas. Masyarakat digiring untuk berprilaku seperti binatang, tanpa moral dan agama.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah bilang, praktik prostitusi tidak mungkin bisa diberantas di Jakarta, sekalipun seorang nabi diturunkan. “Bagi saya bukan mempermasalahkan menghilangkan prostitusi di Jakarta. Enggak mungkin. Nabi turun saja enggak bisa menghilangkan prostitusi loh,” kata Ahok di Balai Kota, Senin (27/4/2015).
Gaya hidup Ahok juga tidak bisa lepas dari miras (minuman keras). Dalam pertemuan Ahok dan pegiat media sosial di rumah pribadinya membuat heboh netizen. Sebab, dalam foto itu terlihat beberapa botol minuman bir kaleng di jamuan makan malam bersama pendukungnya.
“Saya sendiri enggak ngebir. Kulkas saya penuh. Kamu mau wine, bir, sirup, jus, di rumah saya tersedia. Jadi Anda mau bir, mau apa, silakan bertamu ke rumah saya. Tapi kalau kamu mabuk, gue tempeleng loh. Saya juga tahu difoto kok, saya taruh aja. Biar bagus dong, promosi Anker bir,” katanya
Arogansi Ahok sebagai Gubernur tidak akan terjadi tanpa mendapat dukungan orang-orang munafik, baik yang ada dipartai, birokrasi ataupun individu tokoh ormas.
Dengarlah pengakuan dan puja puji Buya Syafii Maarif yang disebar lewat medsos, tentang Ahok yang sekarang sedang berada dalam pusaran korupsi RS Sumber waras.
“Kalau saya, misalnya jadi Gubernur Ahok, saya sudah pasti sekarang ini akan stres berat walaupun saya tahu saya tak bersalah apapun. Lalu saya memutuskan untuk masuk ke dalam hutan perawan yang sunyi untuk berduaan saja dengan Sang Sunyi mahasunyi.
Tetapi Pak Ahok bukan saya. Saya sekarang hanya bisa tercenung dalam dan meneteskan air mata kesunyian. Pak Ahok saya yakin dilindungi oleh Yesus yang dia percayai. Bersama Yesus, mati adalah keuntungan. Itu katanya. Beliau minta, kalau dia harus datang menghadap panggilan Tuhan, pada batu nisannya beliau minta dituliskan kata-kata itu, “Mati bagiku adakah keuntungan!”
Pak Ahok sudah dipanggil untuk menghadap DPR terkait pembebasan lahan hijau milik negara yang sebelumnya jadi perkampungan Kalijodo. Pak Ahok dengan tenang menjawab, “Jangankan menghadap DPR. Menghadap panggilan Tuhan saja saya sudah siap!” Itulah jihad Pak Ahok, gubernur DKI Kristen, sekaligus orang Indonesia tulen. Air mata saya pun menetes makin banyak dalam kesunyian yang makin dalam.
Majulah terus Pak Ahok. Ada puluhan juta malaikat yang telah diutus Sang Sunyi untuk melindungi Pak Ahok.”
Menjelang Pilgub 2017, tampilnya ‘Ulama Ormas Islam’ mempromosikan Cagub China Kafir, nampaknya menjadi fenomena baru di Indonesia. Selain Buya Syafii, sebut saja nama tenar lainnya, Kyai Said Aqil Siradj. Ketua Umum PB NU itu menggandeng pengusaha China Kafir Hari Tanoesoedibjo (HT) masuk masjid dan pesantren dengan slogan: “Lebih baik Orang Kafir Tapi Jujur dari Pada Muslim Koruptor”
Dengan mengenakan baju koko dan peci putih, HT yang pernah mendatangkan Miss World Lady Gaga tapi gagal itu, diajak keliling pesantrennya. Tidak lupa Said Aqil pun menunjukkan lokasi bangunan yang sedang dikerjakan. Para Santri Pria dan Wanita berebut cium tangan. Hasilnya, deklarasi Perindo di Tasik Malaya diadakan di sebuah Pesantren. Sejumlah tokoh Islam daerah mulai ikut jadi pengurus dan bernaung di bawah payung Partai Persatuan Indonesia (Perindo), milik Hari Tanoe.
Lalu, Kyai Said Aqil menghimbau rakyat agar memilih calon Kepala Daerah, tak masalah non muslim asal jujur dan dipercaya rakyat. “Siapa saja yang mampu dan dipercaya rakyat, pemimpin yang adil meski itu non-Muslim tapi jujur, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tapi zalim. Di mana saja dan siapa saja,” kata Said Aqil di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (16/4/2016).
Ia pun menepis bila dianggap mendukung bakal cagub DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. “Enggak… Saya bukan dukung Ahok ya. Bagi saya pemimpin yang adil, meski non-Muslim lebih baik. Itu membawa kemaslahatan,” tuturnya.
Tradisi dukung mendukung seperti ini, sudah lama menjadi aib dan titik lemah ‘Tokoh Ormas Islam’. Dan kelemahan ini dimanfaatkan oleh orang-orang kafir. Bayangkan, apabila di balik dukungan itu terdapat ‘balas jasa’ lalu suatu ketika diungkap ke publik, siapa menanggung malu? Maka seperti hadits Nabi Saw, “Jika kamu tak punya malu maka berbuatlah sesukamu”.
Dulu, di zaman Nabi Saw, dukungan orang munafiklah yang membakar kemarahan dan memicu keberanian Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani untuk memerangi umat Islam. Nampaknya, di zaman sekarangpun berulang lagi. Padahal dalam ayat-ayat kitab suci Al-Quran, umat Islam tegas dilarang memilih pemimpin yang mengejek agama dan wajib memilih pemimpin yang menegakkan shalat, membayar zakat, dan tunduk pada aturan Allah Swt.
Berani melawan kezaliman
Selama bertahun-tahun nasib umat Islam dipermainkan oleh kekuasaan sekuler. Kaum muslim dizalimi, diintimidasi, disebabkan kelemahan umat Islam, tidak berani melakukan perlawanan hukum dan politik.
Tapi sekarang, kelemahan itu mungkin akan segera menjadi masa lalu. Kasus kezaliman Densus 88 terhadap terduga teroris Siyono misalnya. Ketika Muhammadiyah berani melakukan perlawanan hukum yang dipelopori oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik Busyro Muqaddas, dengan melakukan otopsi terhadap jenazah Siyono dikawal 1500 anggota Kokam, penguasa dan aparat kepolisian berubah sikap. Sebab, polisi sadar, membuka konfrontasi dengan Muhammadiyah yang memiliki puluhan ribu Kokam dan ratusan ribu pesilat tapak suci, bisa berakibat panjang.
Kapolri Jendral Badrodin Haiti membuat pengakuan di muka parlemen yang memanggilnya untuk mempertanggungjawabkan suatu fakta bahwa klaim awal polisi bahwa Siyono, seorang terduga teroris yang meninggal selama masa tahanan, meninggal karena suatu luka yang diterimannya saat berkelahi dengan polisi.
Fakta tersebut terungkap setelah Badrodin melakukan pengecekan ulang kepada dua anggota Densus 88 yang saat itu terlibat perkelahian dengan Siyono. Ketika itu, Siyono disebut melawan.
“Setelah di-kroscek, anggota kami mengakui menendang dengan lutut mengenai dada,” ujar Badrodin dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/4/2016).
Sekiranya keberanian membela kebenaran dan melawan kezaliman dari ormas Islam ini tidak datang terlambat, mungkin nasib umat Islam tidak setragis sekarang. Ditipu kaum munafik, dan dikroyok kaum kuffar, komunis, penyembah berhala, bahkan Syi’ah.
“Wahai kaum mukmin, kalian lebih ditakuti oleh orang-orang munafik daripada Allah. Demikian itu karena orang-orang munafik adalah orang-orang yang tidak memahami beratnya adzab Allah di akhirat.” (Qs. Al-Hasyr [59]:13)
Inilah salah satu bukti kebenaran ayat di atas, bahwa orang-orang munafik lebih takut kepada hamba Allah yang berani melawan ketimbang takutnya kepada Allah Swt. Mereka tidak peduli dengan perintah, larangan bahkan murka Allah. Tapi mereka takut pada kemarahan umat Islam yang berani berjihad melawan kezaliman. Bukan umat Islam yang pasrah diadu domba oleh lawan.
Oleh karena itu, kunci mengalahkan provokasi munafikin, harus ada kekuatan mujahid yang mereka takuti. Persekongkolan antara kaum munafik dan kaum kuffar akan berhasil disaat umat Islam lemah. Wahai kaum mukmin, bersatulah membela kebenaran dan melawan kezaliman. Umat Islam hendaknya mampu membangun kekuatan di tengah perselisihan umat berlandaskan syariat Islam.
(*/arrahmah.com)