Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
(Arrahmah.com) – Pilkada DKI Jakarta 19 April 2017 menjadi peristiwa besar di Indonesia. Pilkada ini mengundang perhatian banyak pihak di berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia Internasional. Bagi umat Islam, Pilkada ini menjadi ujian iman antara memilih calon gubernur kafir Basuki Cahaya Purnama alias Ahok atau memilih calon gubernur muslim Anies Baswedan. Jika seorang muslim mendukung atau memilih pemimpin kafir, berarti dia telah menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah melarang umat Islam memilih orang kafir sebagai pemimpin dan mendustakan ayat-ayat Al-Quran yang mengharamkan memilih pemimpin kafir. Tentu saja sikapnya tersebut telah membahayakan keimanannya. Juga membahayakan Islam dan umat Islam.
Pilkada Jakarta kali ini menjadi pertandingan besar antara umat Islam dan kafir. Ibarat pertandingan bola, maka pilkada ini merupakan pertandingan tim kesebelasan umat Islam versus orang-orang kafir. Tim umat Islam dipimpin oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didukung oleh para ulama, para habaib, partai-partai Islam, ormas-ormas Islam dan umat Islam seluruh Indonesia. Adapun tim orang kafir dipimpin oleh Ahok yang didukung oleh orang-orang kafir, partai-partai sekuler (PDIP, Hanura, Nasdem dan lainnya), komunis, pihak asing dan aseng, aliran sesat syiah, ahmadiah dan lainnya, dan muslim munafik (liberal dan sekuler).
Bahaya memilih pemimpin kafir terhadap keimanan
Sebagai Muslim, kita wajib mentaati perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perintah memilih pemimpin Muslim dan larangan memilih pemimpin kafir. Maka perintah dan larangan tersebut wajib kita taati dan amalkan. Ketaatan kita kepada Allah Swt menjadi bukti keimanan dan keislaman kita.
Namun sangat disayangkan, ada sebahagian umat Islam yang tidak taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka mengaku muslim namun memilih kafir sebagai pemimpin dan teman setia. Mereka menentang Allah Swt dengan sadar, bahkan dengan terang-terangan. Maka Allah Swt menvonis mereka sebagai orang munafik, zhalim, sesat dan murtad.
Selain itu, mereka telah melanggar kewajiban al-walaa’ dan al-baraa’. Al-walaa’ adalah mencintai dan berloyalitas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya dan umat Islam. Sedangkan al-baara’ adalah membenci dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah Swt, Rasul-Nya dan umat Islam, yaitu orang-orang kafir, musyrik, atheis/komunis dan paham-paham sesat. Kewajiban al-walaa’ dan baraa’ termasuk aqidah Islam berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan ijma’ para ulama.
Orang yang mendukung, membela dan memilih orang kafir sebagai pemimpin atau teman setia berarti telah berwalaa’ kepada orang kafir. Dia tidak melakukan perintah al-baraa’ yang diwajibkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Padahal, prinsip al-walaa dan al-baraa’ itu aqidah Islam. Maka sikap dan perbuatan tersebut bisa membahayakan keislaman dan keimanannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang Muslim orang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dan mengancamnya sebagai orang zhalim, munafik, dan sesat. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannnya bagian orang-orang kafir (murtad). Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin berarti mendukung, membela dan memilihnya menjadi pemimpin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi ddan Nasrani sebagai pemimpin (kamu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
(*/arrahmah.com)