(Arrahmah.com) – Tidak bisa dipungkiri dinamika politik nasional dan internasional
berpengaruh membawa implikasi politik di daerah. Termasuk terkait dengan konsekuensi pilihan kebijakan Free Trade Agreement dengan segala ragamnya. Mulai dari pemberian bebas visa pada 169 negara, pemberian kelonggaran sektor-sektor strategis kepada investor asing melalui PMA (Penanaman Modal Asing). Salah satu isu terkait itu di antaranya tentang melubernya tenaga kerja China melalui pintu investasi infrastruktur yang diprediksikan ke depan sejumlah 10 juta orang. Bukan tanpa alasan isu limpahan tenaga kerja China itu pasca ditanda tanganinya perjanjian Indonesia dengan China. Di tengah secara internal China menghadapi krisis Taiwan, Xinjiang, Tibet selain persaingan pengaruh dengan AS di kawasan Asia Pasifik dimana Indonesia
masuk di dalamnya.
Secara khusus Yusril Ihza Mahendra mendokumentasikan ancaman China ini dalam beberapa catatan. Bahkan sebelumnya juga terdapat analisis oleh Sri Bintang Pamungkas tentang kemungkinan terjadinya metamorfosa limpahan China Tartar (baca : tentara) menggunakan pintu migrasi tenaga kerja China ke Indonesia. Sebagaimana skenario China atas Tibet dan Mynmar. Yusril menyampaikan beberapa point penting terkait hal ini antara lain :
- Pemerintah RI membebaskan visa kepada banyak negara dengan alasan untuk meningkatkan arus wisatawan.
- Negara-negara yang tergolong miskin dan cenderung meninggalkan
negaranya karena alasan politik dan ekonomi juga diberi bebas visa. - Negara-negara Afrika dan Asia Selatan, China, Myanmar dan lain-lain diberi bebas visa, tanpa perhitungkan dampak sosial dan politiknya bagi negara kita.
- Kini imigran gelap yang datang menggunakan fasilitas bebas visa mulai memusingkan kita.
- Kesalahan kita yang lain juga menyetujui masuknya pekerja China sebagai bagian dari syarat investasi dan pinjaman pemerintah kepada China.
- Syarat seperti itu harusnya ditolak karena Indonesia akan dibanjiri pekerja China yang merampas kesempatan kerja rakyat kita sendiri.
- Pekerja China yang konon akan datang sampai 10 juta itu jelas tidak mudah untuk dikontrol. Sebagian besar mereka pasti takkan kembali ke China.
- Kedatangan pekerja asing yang begitu besar dapat menimbulkan persoalan sosial, politik, ekonomi dan keamanan dalam negeri.
- Pemetintah harus mengkaji ulang kebijakan membolehkan datangnya pekerja asal China ini demi kedaulatan bangsa dan negara kita.
- Kepentingan nasional dan kepentingan rakyat kita sendiri adalah
di atas segala kepentingan yang lain.
Demikian Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra melalui akun twitternya @Yusrilihza_Mhd, Jumat (15/7/2016).
Di Gresik Jawa Timur sebagai daerah yang menyediakan diri sebagai titik pembangunan pelabuhan laut internasionalpun tidak luput dari limpahan tenaga kerja China. Gresik adalah salah satu daerah di antara berbagai daerah di Indonesia yang menjadi sasaran operasi beberapa perusahaan Penanaman Modal Asing. Sebagaimana diberitakan Dinaskertrans Gresik mengkonfirmasikan keberadaan sekitar 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk dari China. Ironisnya fenomena melubernya
tenaga kerja China tidak dibarengi dengan keberadaan regulasi daerah yang mengaturnya. Dengan kata lain limpahan TKA di Gresik yang masih mengikuti ketentuan dari Kemenakertrans RI pusat tidak membawa dampak positip apapun termasuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gresik. Fenomena desakan implementasi kebijakan pusat kepada daerah dari kasus masuknya tenaga kerja di daerah termasuk Gresik semakin melengkapi kebijakan pusat menganulir seluruh perda-perda yang disinyalir menghambat jalannya investasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Rezim perdagangan bebas dunia nampaknya memposisikan
Indonesia melalui tangan-tangan penguasanya untuk mau tidak mau menjalankan skenario kebijakan global yang diterjemahkan oleh Jokowi dalam bentuk Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia. Sebuah kebijakan ibarat pedang bermata dua. Sisi satu matanya dalam bentuk kebijakan regulasi yang memberikan kran terbuka masuknya investasi asing dengan segala dalih dan rasionalisasi baik secara terbuka maupun sembunyi. Sisi lain dalam bentuk kebijakan represif yang disinyalir menciptakan hambatan berjalannya investasi dan pertumbuhan ekonomi. Munculnya fenomena potensi disintegrasi Papua melalui tuntutan Papua Merdeka, pertemuan Ketua DPR RI Ade Komaruddin dengan Dubes AS Robert Blake untuk memantapkan agenda revisi UU Terorisme, ujung kebijakan Tax Amnesty kemana mau diarahkan, pembaharuan UU Migas yang masih tarik ulur dan beragam kebijakan lain
penuh kontroversi seolah-olah menggambarkan dua sisi pedang kebijakan
di negeri ini.
Siapa yang tahu latar belakang pekerja China yang datang ke Indonesia? Tentarakah? Ahli sabotase kah? Intelejenkah? Siapa yang screening? Siapa yang mengawasi? Di China berlaku wajib militer. Jika para pekerja cina adalah tentara yang diselundupkan untuk pada saatnya akan digunakan untuk menginvasi negara ini siapa yang tanggung jawab? Sekali lagi siapa yang bisa jamin pekerja China bukan serdadu yang diselundupkan? Apa yg mereka lakukan saat senggang? Siapa yang awasi?
Masih ingatkah ? Belum lama ini pada April 2016 lalu, 5 tenaga kerja China ditangkap TNI AU di Lanud Halim Perdanakusuma karena masuk kawasan Lanud Halim secara ilegal. Kabar datangnya wisman China di Bali dan lain-lain benar-benar menyisakan tanda tanya besar. Tidakkah ini semua cukup sebagai bukti bahwa kebijakan memberikan kran longgarnya limpahan tenaga kerja asing terutama China di Indonesia
termasuk di Gresik akan berpotensi berbahaya. Karena secara faktual sudah dipahami bahwa investasi asing adalah modus baru penjajahan untuk menciptakan ketergantungan semua bidang terutama politik dan ekonomi sebuah negara. Apalagi begitu beragamnya modus proxy war yang merupakan revolusi formula perang kekinian dari berbagai kekuatan baik berbentuk negara maupun Multi National Corporation. Amerika punya Kapitalis Liberalis, China memiliki Sosialis Komunis sebagai ideologi
ekspansi yang menggerakkan seluruh roda kekuatan politik dan ekonominya.
Pertanyaannya Indonesia dengan mayoritas Muslim penduduknya memiliki apa untuk menghadang terjangan kekuatan ideologi ekspansi negara-negara adi daya. Dan ingatlah bahwa Islam pernah menjadi ideologi negara ekspansi berjaya di dunia yang memunculkan peradaban agung manusia berabad-abad lamanya. Allahu a’lam bis showab.
Abdus Salam, Pengamat Politik
(*/arrahmah.com)