Oleh: Dina Wachid
(Arrahmah.com) – Isu komunisme menjadi sebuah trauma besar bagi bangsa Indonesia yang tak mudah hilang. Sejarah mencatat bagaimana kejamnya para komunis terhadap rakyat Indonesia, khususnya umat muslim. Tak bisa dilupakan bagaimana kisah para tokoh, ulama, kyai, santri, hingga rakyat biasa yang menjadi korban ideologi tak bertuhan ini.
Meski sudah puluhan tahun, namun cerita tentang kekejian komunisme di Indonesia seolah tak pernah pudar. Ini menandakan betapa besarnya luka yang ditorehkan komunisme di bumi pertiwi. Di sisi lain, para pendukungnya dengan berbagai cara berupaya untuk mengaburkan sejarah kelam partai komunis di Indonesia. Mereka mencoba membangkitkan kembali paham komunisme di tengah masyarakat Indonesia.
Komunisme memang sudah dilarang di negeri ini. Namun, ia bisa muncul kembali jika ada kesempatan. Berbeda halnya dengan kapitalisme yang masih diterapkan hingga sekarang, meski kerusakan yang ditimbulkannya juga tak kalah dahsyat. Masih banyak yang belum sadar akan bahaya kapitalisme sebagaimana halnya komunisme.
Komunisme Yang Anti Agama Dan Otoriter
Komunisme memang secara nyata memusuhi agama, bahkan menganggap agama sebagai candu. Agama menjadi musuh besar ideologi ini. Karenanya, ia akan memusnahkan agama dan para pemeluknya. Secara frontal dan terbuka, para penganut komunisme menyerang dan menghabisi segala hal yang berkaitan dengan agama. Tak boleh ada agama yang hidup, karena bagi mereka tak ada yang namanya Tuhan.
Pembantaian yang dilakukan PKI terhadap para ulama dan santri tahun 1948 adalah sejarah hitam komunisme di Indonesia. Di luar negeri pun sama kondisinya. Lihat saja bagaimana kejinya rezim komunis Cina terhadap muslim Uighur. Berbagai ancaman dan siksaan dilakukan terhadap muslim Uyghur demi menghilangkan agama (Islam) dalam hidup mereka. Karena bagi komunis Cina, Islam menjadi ancaman keberlangsungan hidup mereka.
Komunisme yang tak mengakui keberadaan Sang Pencipta, menganggap segala sesuatu yang ada di alam ini adalah berasal dari materi (benda). Materi ada dengan sendirinya, tidak ada yang menciptakan.
Ideologi ini menjadikan materi sebagai tolok ukur. Sesuatu harus ada wujudnya, baru diakui keberadaannya. Hal-hal yang bersifat immaterial (non-material) atau yang tidak nampak wujudnya, dianggap tidak ada. Tuhan bagi mereka adalah hal yang immaterial, sehingga tak diakui keberadaannya. Karena dianggap tidak eksis, maka agama sebagai wujud titah Tuhan pun juga tak berlaku dalam kehidupan. Jadi, jelas komunisme mengingkari adanya Sang Pencipta dan menolak agama apapun.
Sementara dalam sistem ekonominya, komunisme menganggap seluruh kekayaan menjadi milik negara. Jika rakyat diperbolehkan menikmati kekayaan, itupun hanya sebagian kecil saja, selebihnya dikuasai negara. Juga bukan milik rakyat sesungguhnya, karena memang tak mengakui adanya kepemilikan pribadi. Semua milik negara.
Tak heran jika sistem ekonominya menjadi sangat otoriter. Dimana ruang gerak rakyat sangat dibatasi dalam berekonomi. Sekeras apapun usaha rakyat, hasilnya tetap tak boleh melebihi dari standar yang ditetapkan negara. Sementara kekayaan hanya boleh dikuasai oleh segelintir elit partai dan atau penguasa atas nama negara.
Tak ada yang namanya kebebasan. Baik itu yang bersifat pribadi maupun yang berkaitan dengan ranah publik. Termasuk dalam perkara politik. Semua rakyat harus satu suara. Jika ada yang berbeda pendapat, maka bersiaplah merasakan hukuman. Negara komunis hanya mengenal satu partai politik, yakni partainya negara (penguasa).
Secara ketat dan keras, negara mengontrol kehidupan rakyat dalam segala aspeknya. Semua berjalan harus sesuai arahan negara. Gerak-gerik rakyat sangat dibatasi. Teratur memang, tetapi sangat melanggar fitrah manusia.
Kapitalisme Yang Penuh Bopeng
Berbeda halnya dengan kapitalisme, yang lebih halus dalam menyebarkan ideologinya di tengah umat manusia. Kapitalisme secara sebagian mengakui adanya agama. Kebebasan dalam beragama dijamin dengan undang-undang. Setiap orang memiliki hak untuk menjalankan agama yang dianutnya. Termasuk juga bebas untuk tidak beragama.
Agama adalah urusan individu. Negara tak boleh turut campur ataupun mengurusi perkara agama seseorang (membiarkan). Bagaimana prakteknya di tengah masyarakat, bukan menjadi perhatian negara. Urusan agama terserah kepada masing-masing pemeluknya.
Sebaliknya, agama tidak boleh nimbrung dalam urusan negara. Perkara negara dijauhkan dari agama. Lebih luas lagi, agama tidak boleh mengatur kehidupan. Dilarang membawa agama dalam ranah publik. Inilah yang dinamakan sekulerisme, paham yang memisahkan agama dari negara (kehidupan).
Meski mengakui keberadaan Tuhan, namun kapitalisme menolak aturanNya. Tuhan hanya sebatas pencipta, bukan sebagai pengatur. Maka dari itulah, aturan Tuhan tak berlaku dalam kehidupan. Kewenangan membuat hukum ada pada manusia.
Jargon pengusung demokrasi-kapitalisme “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” telah menjadi mantra yang ampuh untuk melegitimasi penguasa mengatur rakyatnya sesuai kehendaknya. Rakyat tak sungguh-sungguh didengar aspirasinya.
Walau kebebasan dalam beragama dijamin undang-undang, nyatanya tak seindah harapan. Kapitalisme sangat alergi terhadap ajaran agama yang menghalangi kepentingannya. Apalagi agama yang ideologis seperti halnya Islam, akan dimusuhi dan dibabat habis. Yang diperbolehkan hanya Islam yang tengah-tengah. Islam yang menguntungkan bagi mereka. Islam liberal yang mengakomodasi segala kepentingan para penguasa dan kapitalis.
Kritik yang menjadi sarana mengontrol penguasa sangat dibatasi, bahkan dikriminalisasi karena dianggap mengancam kepentingan penguasa dan kapitalis. Sementara korupsi pejabat, penjualan aset-aset negara dianggap wajar.
Pemakaian jilbab, cadar, celana cingkrang dan pakaian syar’i lainnya seringkali dikaitkan dengan ekstrimisme dan terorisme. Hijrah yang dituduh terpapar radikalisme. Gerakan anti riba dicurigai macam-macam. Seruan penerapan syariah kaffah dituding makar dan intoleran. Semua yang berhubungan dengan Islam ideologis dipermasalahkan agar tak terus berkembang.
Sementara liberalisme kian tak terkendali. LGBT dibiarkan merajalela. Narkoba yang terus menelan korban. Miras yang dilegalkan demi menghasilkan rupiah. Perzinaan yang kian dibiarkan. Seks bebas yang tak ada batas tanpa sanksi tegas. Kriminalitas yang kian meningkat. Pengangguran dan kemiskinan yang terus melesat. Ketimpangan yang makin lebar meski pembangunan terjadi dimana-mana. Inilah anomali kapitalisme sekaligus permasalahannya yang tak kunjung usai.
Sistem ekonomi kapitalisme yang bertumpu pada kapital, menjadikan modal sebagai yang utama. Semakin besar modal yang dimiliki maka semakin besar pula aset-aset yang dikuasainya. Dengan modal, setiap individu bebas untuk memiliki dan menguasai apapun, dengan cara apapun. Kebebasan kepemilikan memungkinkan seorang individu dengan kapital besar bahkan bisa menguasai kekayaan alam yang menjadi milik rakyat.
Asas manfaat menjadi standar perbuatan dalam kapitalisme. Artinya segala tindakan diukur dari manfaatnya. Bukan berdasar benar atau salah. Apalagi halal dan haramnya. Jelas, tak ada ruang untuk standar sesuai aturan agama. Menghalalkan segala macam cara untuk meraih tujuan menjadi standar baku para penganut ideologi ini. Menabrak aturan tak jadi masalah. Dengan uang semua bisa diatur.
Ekonomi dibiarkan berjalan dengan sendirinya sesuai mekanisme pasar. Sementara pasar dikuasai oleh para pemilik modal. Persis hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang mampu bertahan. Siapa yang punya modal, maka dialah yang berkuasa.
Negara tak punya kuasa penuh untuk mengatur sistem ekonominya karena tunduk kepada para kapitalis. Penguasa tersandera hutang politik dari para kapitalis yang memuluskan jalan menuju kursi kekuasaan. Sehingga tak punya pilihan selain memfasilitasi segala kepentingannya. Urusan rakyat bukan prioritas, bahkan diabaikan.
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa kedua ideologi tersebut memiliki kekeliruan mendasar dalam memandang kehidupan. Cara pandang yang keliru hanya akan menghasilkan kesalahan dalam menentukan konsepsi dan aturan kehidupan. Keduanya menjadikan hawa nafsu manusia sebagai sumber dalam menghukumi segala sesuatu.
Padahal, fitrah manusia itu serba terbatas, lemah dan tak mampu menjangkau apa yang ada di luar dirinya. Apapun yang diciptakan manusia, hasilnya akan memiliki sifat yang sama seperti dirinya. Tentu akan mustahil bagi manusia untuk bisa menciptakan kemaslahatan bagi semua.
Dengan segala kecacatan dan kerusakannya, maka jelas baik komunisme maupun kapitalisme, keduanya tak layak dijadikan sebagai pilihan sistem kehidupan. Diperlukan suatu sistem alternatif. Sistem yang hakiki, bersifat komprehensif dan tetap.
Disinilah Islam memberikan jawaban atas segala pertanyaan manusia. Islam hadir dengan aturan yang lengkap dan sekaligus solusi untuk mengatasi semua permasalahan. Karena Islam bersumber dari wahyu Allah, Sang Khalik. Adakah yang lebih baik daripada aturanNya?
Sudah saatnya umat ini kembali pada sistem yang telah diatur oleh Allah. Sistem yang tak lekang oleh waktu dan tempat ataupun bisa ditawar dengan berbagai kepentingan. Sebuah sistem yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Tulisan dikirim kepada redaksi melalui email: [email protected])
(*/arrahmah.com)