Oleh: Ustad Felix Siauw
(Arrahmah.com) – Siapa yang lebih layak putus asa dalam kehidupannya ketimbang Nabi Yusuf? Tapi Allah justru menyampaikan bahwa kisahnya adalah pelajaran terbaik bagi mereka yang mau memahami. Karena hal yang tak terduga dan penuh kesulitan itu yang menjadikan kisah terbaik.
Yusuf lahir dengan fisik yang menawan, belum lagi kemampuannya menakwil yang istimewa. Kesemuanya itu tak menjadikan sebagian besar saudaranya kecuali mendengki, lalu merencanakan keburukan baginya.
Dimasukkan ke dalam sumur, diangkat hanya untuk dijual dengan harga rendah, difitnah oleh wanita dan istri pembesar, dimasukkan ke dalam penjara, dilupakan oleh kawan, lebih dari itu semua, dipisahkan dengan ayah yang sangat dicintainya.
Seolah semua yang dia miliki justru jadi alasan bagi orang lain untuk menyakitinya, untuk membuatnya sulit. Sampai tak tersisa lagi logika dan hitungan, seperti apa dan bagaimana dia bisa melewati semua kepayahan itu.
Selamat saja susah, apalagi menang.
Tapi disitulah letak pelajaran terpentingnya. Di penjara itu, Yusuf menerangkan konsep tauhid yang ada pada dirinya. Menegaskan kelemahan dirinya, sekaligus menyatakan Allah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, tak ada daya dan kekuatan melainkan bersama Allah.
Dari situ semua berbalik sesuai urutannya. Kawannya mengingatnya, ia bebas dari penjara, bebas dari fitnah istri pembesar dan kekejian lainnya, diangkat jadi bendahara, membuat rencana bagi saudaranya, dan yang paling indah ia dipertemukan dengan ayahnya.
Kita memang tak pernah selesai diajari Allah, seringkali pengajaran itu memerlukan waktu, sebab tak semua kita belajar dengan cepat. Buah dari belajar itu adalah sabar dan syukur, yang pada akhirnya akan menjadikan kita pemaaf dan bijaksana.
Andai Rasulullah terhibur dengan kisah Nabi Yusuf yang diturunkan Allah padanya. Apakah tidak cukup kisah itu menjadi penghibur dan pelajaran bagi kita semuanya? Bahwa kenikmatan terbaik itu didapat setelah payah dan susahnya? Bahwa Allah mengakhirkan kenikmatan dan kemenangan?.
Meski begitu, kita hanya manusia, yang selalu berdoa, agar Allah tak menimpakan pada kita beban yang terlalu berat kita pikul. Atau berdoa, semoga Allah kuatkan pundak kita, untuk bisa mengambil beban apapun yang harus kita pikul.
Dan melewati kesemuanya dengan tauhid yang masih lekat di dada.
(*/Arrahmah.com)