(Arrahmah.com) – Tiada gading yang tak retak. Itulah ungkapan pepatah yang sering kita dengar. Sebagaimana gading, tiada manusia yang tidak pernah sakit. Saya, Anda, dia, mereka, siapapun dia, pasti pernah merasakan sakit. Karena itu, bukanlah sakit itu satu-satunya yang menjadi masalah terbesar bagi kita. Namun yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah bagaimana kita bisa menjadi hamba yang baik ketika sakit. Sakit itu pasti, sementara bagaimana cara melakukan yang terbaik ketika sakit, itu kembali kepada pilihan kita.
Kita bisa mendapatkan banyak pahala ketika sakit. Sebaliknya, sakit yang kita derita juga bisa menjadi sebab munculnya perbuatan dosa.
وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya Allah ketika mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka dengan musibah. Siapa yang ridha dengan musibah itu maka dia akan mendapatkan ridha Allah. Sebaliknya, siapa yang marah dengan musibah itu maka dia akan mendapatkan murka Allah.” (HR. Ahmad 23623, Tirmidzi 2396 dan dishahihkan al-Albani).
Mari kita perhatikan hadits di atas. Sesungguhnya ujian yang Allah berikan kepada para hamba, hakikatnya didasari kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Karena seorang hamba akan bisa mendapatkan derajat yang lebih tinggi, ketika mereka mendapatkan ujian dan mampu bersabar terhadap ujian tersebut.
Namun ada dua sikap manusia yang berbeda. Ada yang memahami musibah itu dengan baik, sehingga dia bisa ridha terhadap ujian yang Allah berikan. Dia berkeyakinan bahwa ujian ini adalah sumber pahala baginya. Sehingga sama sekali dia tidak merasa telah didzalimi oleh Allah. Di saat itulah, Allah akan memberikan keridhaan dan pahala yang besar kepadanya.
Sebaliknya, ada orang yang menyikapi musibah itu dengan cara yang salah. Dia menganggap sakit ini adalah kezaliman dan ketidakadilan. Mengapa dia sakit, sementara orang lain tidak sakit. Mereka dia tidak bisa mendapatkan kenikmatan hidup, sementara tetangganya bisa mendapatkan banyak kenikmatan. Dia marah dan tidak sabar dengan musibahnya. Sebagai hukumannya, Allah justru murka kepadanya.
Bapak, ibu, pembaca yang budiman. Satu pertanyaan yang patut kita renungkan, ketika orang itu marah dengan musibah yang dideritanya, apakah dengan marahnya itu akan bisa menghilangkan musibahnya? Ketika orang sakit itu merasa marah dengan musibah sakitnya, apakah dengan marah itu dia bisa cepat mendapatkan kesembuhan?
Kita sangat yakin, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang marah dan tidak ridha dengan sakit yang dideritanya, akan semakin memperparah sakitnya. Dia sakit badannya dan juga sakit hatinya. Dia sakit dua kali, lahir dan batin.
Abu Said al-Khudri pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang sakit. Ketika Abu Said meletakkan tangannya ke badan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata panasnya luar biasa. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا كَذَلِكَ يُشَدَّدُ عَلَيْنَا الْبَلَاءُ وَيُضَاعَفُ لَنَا الْأَجْرُ
“Sesungguhnya kami para nabi, diberi ujian yang sangat berat, sehingga pahala kami dilipat gandakan.”
Abu Said-pun bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab;
الْأَنْبِيَاءُ وَالصَّالِحُونَ، لَقَدْ كَانَ أَحَدُهُمْ يُبْتَلَى بِالْفَقْرِ حَتَّى مَا يَجِدُ إِلَّا الْعَبَاءَةَ يَحْويهَا فَيَلْبَسَهَا، وَيُبْتَلَى بِالْقُمَّلِ حَتَّى يَقْتُلَهُ، وَلَأَحَدُهُمْ كَانَ أَشَدَّ فَرَحًا بِالْبَلَاءِ مِنْكُمْ بِالْعَطَاءِ
“Para nabi, kemudian orang shaleh. Sungguh ada diantara mereka yang diuji dengan kemiskinan, sehingga harta yang dimiliki tinggal baju yang dia gunakan. Ada juga yang diuji dengan kutu badan dan rambutnya, sampai kutu itu membunuhnya. Sungguh para nabi dan orang shaleh itu, lebih bangga dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan kalian ketika mendapat rezeki.” (HR. Abu Ya’la dalam al-Musnad 1045, al-baihaqi dalam Sunan al-Kubro (3/372), Hakim dalam al-Mustadrak 119, dan dishahihkan al-Albani).
Seperti itulah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang shaleh. Mereka bisa berbahagia ketika sakit. Mereka lebih gembira dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan orang yang baru saja mendapatkan banyak harta. Karena mereka meyakini, sakit adalah sumber pahala baginya.
Suatu ketika, Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu datang ke Mekah. Beliau sudah menginjak usia tua dan matanya buta. Melihat kedatangan Sa’ad, masyarakat pada berdatangan dan menyambutnya. Mereka berkeyakinan doa Sa’ad sangat mustajab, seperti yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu demi satu orang meminta didoakan Sa’ad.
Sampai akhirnya datang seorang pemuda yang bernama Abdullah bin Saib. Beliau memperkenalkan diri kepada Sa’ad bin Abi Waqqash. Setelah berkenalan, Abdullah bertanya keheranan, “Wahai paman, Anda mendoakan banyak orang (dan itu mustajab). Mengapa Anda tidak berdoa meminta kebaikan untuk diri Anda sendiri, sehingga Allah akan mengembalikan penglihatan Anda?”
Mendengar uacapan pemuda ini, Sa’ad tersenyum, kemudian mengatakan,
يابني، قضاء اللّه عندي أحسن من بصري
“Wahai anakku, (menerima) takdir Allah untukku, itu lebih baik dari pada mataku.” (Qut al-Qulub, 1/435).
Insya Allah, kita-pun bisa melakukannnya. Berbahagia ketika mendapat musibah. Berbahagia ketika sakit. Tinggal saatnya kita sekarang mulai melatihnya.
Allahu a’lam
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
(*/Arrahmah.com)