(Arrahmah.com) – Tak pelak lagi, memiliki buah hati adalah sebuah harapan besar. Ia adalah bagian dari mimpi besar pernikahan, dan awal dari sebuah cita-cita peradaban. Lengkap sudah, kala sebuah rumah tangga kemudian dihiasi oleh sang penyejuk mata sibiran tulan. Karena ia adalah obat jerih dan pelerai demam.
Sebuah kata bijak bahkan berujar bahwa “Orang yang memiliki anak bagaikan orang yang akan hidup selamanya”. Ya, karena melalui anak sebuah mimpi dapat dititipkan, diteruskan dan dilanjutkan, bahkan pada sekian generasi berikutnya.
Maka tak heran jika ada begitu besar asa penantian akan kehadirannya, ada sekian banyak uang yang rela dikeluarkan agar ia segera hadir, ada beribu cemas bersama doa dan airmata agar Sang Khalik menitahkan kehadirannya di dunia.
Namun mungkin banyak yang lupa bahwa sang anak adalah sebuah amanah raksasa, yang kehadirannya telah membuat sebelah kaki kita ada di tubir neraka. Menuntunnya menuju jalan shaleh hari ini adalah sebuah misi nyaris gila, yang hampir-hampir mustahil dijalani di tengah goda maksiat dan kebathilan di mana-mana.
Seorang ibu bahkan putus asa, lalu membunuh anak-anak saat lelapnya, ketika ia gelisah menatap badai gelap di masa depan sana. Karena setiap amanah adalah tanggung jawab, dan sebuah laporan pertanggungjawaban adalah keletihan yang menyiksa di Hari Pengadilan kelak. Maka, tak pelak lagi Allah menyindir manusia yang asyik-masyuk berburu amanah dalam sebuah firmanNya sebagai “amat zalim dan bodoh”. (QS Al-Ahzab : 72)
Tapi apa hendak dikata, bagaimanapun menanti sang buah hati adalah fitrah, bagian dari naluri terdalam relung hati manusia. Tak pernah ada yang salah dari sebuah rindu penantian, tak ada yang keliru dari sebuah ikhtiar untuk menghadirkan. Terlalu dapat dimengerti akan rasa cemas dan gelisah, ketika tubuh kecil nan lucu itu belum juga hadir dalam hangatnya pelukan. Namun, ketika sebuah rindu, asa dan gelisah terakumulasi berlebihan, maka ia malah kontraproduktif bagi kelahiran sang idaman. Itulah sebabnya saya berkata pada pasutri yang telah tujuh tahun menanti : “Cemaslah secukupnya, dan berharaplah tanpa batas…”. Lalu, kinipun mereka telah berputra dua.
Sungguh, di luar sana ada ribuan anak tak berayahbunda. Mereka juga berhajat akan kehangatan dan asuhan, bukan panti asuhan. Seringkali mereka adalah anak-anak kita yang hadir lewat rahim yang lain. Tataplah mata mereka, bukankah mereka sungguh anak-anak kita ? Mereka juga butuh diasuh oleh fitrah keayahbundaan dan oleh parenting dari buku dan seminar.
Kelak, andai kita bisa tuntun mereka ke tangga keshalehan, maka doa mereka untuk kita. Ya, bukan satu-dua doa anak shaleh, tapi puluhan doa anak shaleh. Kelak, andai kita bisa didik mereka ke jalan kebenaran, sungguh mereka akan bersama Rasulullah SAW di dalam surga, karena setiap yatim adalah kekasih Beliau SAW. Lalu, mereka akan berbisik ke telinga Rasulullah SAW tentang syafa’at untuk kita.
Ayahbunda, terkadang sebuah karunia dan amanah butuh penjemputnya. Penjemputnya adalah ilmu dan tekad untuk memenuhi prasyaratnya. Jika ayahbunda ingin dikaruniai sebuah mobil, maka belajarlah mengemudi, buatlah SIM dan bangunlah garasi di rumah, walau hari ini belum punya sekeping rodapun. Agar Allah “membaca” sebuah tekat, kesungguhan dan harap yang terwujud nyata.
Dan, ketika ayahbunda mendamba hadirnya benih peradaban yang ingin disemai di dalam rumah, maka tunjukkanlah padaNya betapa ayahbunda telah begitu siap untuk mendekapnya dan mengasuhnya, lewat kedalaman parenting bagi anak-anak lain. Dan jika Allah ternyata tak jua menghadirkannya, itulah cara Allah Yang Maha Pengasih untuk mengurangi beban hambaNya di akhirat kelak.
Oleh: Ust.Adriano Rusfi (PPSDM Consultant)
(*/arrahmah.com)