Oleh: Qassam Muaddi*
Di tengah ketegangan baru-baru ini di Tepi Barat, Nablus secara historis selalu menjadi titik fokus perjuangan Palestina. Ini adalah kisah tentang sebuah kota yang terjebak di antara pendudukan “Israel” dan keinginan untuk bertahan hidup.
Lorong-lorong sempit di kota tua Nablus berada dalam kegelapan total saat suara mobil yang mendekat semakin keras. Sepasang lampu depan tiba-tiba muncul di ujung jalan, memperlihatkan etalase toko yang tertutup di kedua sisi jalan yang ramai dan bising pada siang hari.
Mobil masuk jauh ke daerah Yasmina, melalui jalan-jalan seperti labirin dan dinding batu besar dari rumah-rumah berusia berabad-abad. Saat itu pukul 3:30 pagi pada Ahad, 24 Juli 2022, dan di dalam mobil ada tentara “Israel” berseragam, penjaga terdepan dari pasukan “Israel” yang lebih besar yang datang untuk mencari milisi Palestina.
Beberapa menit kemudian, area tersebut berubah menjadi medan pertempuran. Peluru nyasar terbang ke segala arah saat tentara “Israel” bentrok dengan orang-orang bersenjata Palestina. Mobil dan kendaraan lain yang berjarak beberapa meter darinya terbakar, sementara suara ledakan membangunkan penduduk setempat. Lebih banyak pasukan “Israel” bergabung dalam pertempuran dan mengepung sebuah rumah tua, sebelum menargetkannya dengan rudal.
Setelah empat jam pertempuran, pasukan “Israel” mundur, dan ribuan orang Palestina dari seluruh Nablus bergegas ke kota tua mendengar berita tentang serangan “Israel”. Warga Yasmina terbangun dengan mobil yang terbakar, kabel yang robek dari dinding, tangki air yang meledak, dan ribuan selongsong peluru menutupi tanah; pemandangan yang belum pernah disaksikan banyak orang sejak invasi “Israel” ke Nablus pada 2002, selama Intifadah Kedua.
Sementara itu, media lokal mengumumkan bahwa sepuluh orang Palestina terluka oleh tembakan langsung, termasuk satu di kepala, dan dua tewas; Mohammad Azizi, 22 tahun, dan Aboud Suboh, 29 tahun.
Serangan militer “Israel” ke Nablus menjadi lebih sering sejak meningkatnya serangan “Israel” di Tepi Barat utara menyusul pembobolan penjara Gilboa dua tahun lalu. Namun, konfrontasi dengan pendudukan pasukan “Israel” bukanlah fenomena baru di kota bersejarah Tepi Barat itu.
Nablus, dijuluki ‘Jabal Al-Nar’, bahasa Arab untuk ‘Gunung Api’, sebuah nama yang dilaporkan diberikan oleh Napoleon selama kunjungannya di Timur menurut legenda setempat, selalu berada di persimpangan jalan, terkadang bahkan di titik awal, dari perjuangan Palestina.
Nablus telah memainkan peran penting dalam politik Palestina sejak periode mandat Inggris. Di Nablus, pada 19 April 1936, para pemimpin gerakan nasional Palestina bertemu di salah satu pabrik sabun minyak zaitun yang terkenal di kota itu dan memutuskan untuk mengumumkan pemogokan umum terhadap pemerintahan Inggris. Pemogokan itu berkembang menjadi pemberontakan bersenjata skala penuh melawan Inggris yang berlangsung hingga 1939.
Di Nablus pula penyair nasional Palestina saat itu, Ibrahimm Touqan, menulis lirik ‘Mawtini’ (Tanah Airku) pada 1934, yang menjadi lagu tidak resmi Palestina, dinyanyikan setiap pagi di semua sekolah Palestina hingga hari ini.
Setelah Nakba Palestina 1948, Nablus menampung tiga kamp pengungsi di sekitarnya; Ain Al-Mei, Askar dan Balata. Kamp-kamp pengungsi ini nantinya akan memiliki peran sentral dalam pengaruh Nablus pada politik Palestina setelah pendudukan “Israel” di Tepi Barat pada 1967. Namun, tanda-tanda pertama militanisme Palestina di Nablus dimulai di pusat sejarahnya, kota tua yang dikenal sebagai ‘Qasbah’.
“Langkah perlawanan bersenjata atas pendudukan “Israel” di Nablus dimulai sejak Agustus 1967, baik di kota Nablus maupun pedesaan sekitarnya,” jelas sejarawan Palestina Bilal Shalash yang berbasis di Yerusalem kepada The New Arab.
“Segera, pasukan “Israel” menyadari bahwa ada struktur terorganisir yang kuat dari militan Palestina, terutama berbasis di Qasbah, dan memulai kampanye sengit untuk membongkarnya pada akhir September tahun pertama pendudukan,” jelas Shalash.
Di antara anggota dan pemimpin gerakan awal milisi Palestina di Nablus adalah beberapa wanita. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Shadia Abu Ghazalah, penduduk asli kota tua Nablus berusia dua puluhan, yang pada saat itu memimpin jaringan gerilyawan kota perempuan di kota itu. Dia terbunuh saat menyiapkan bahan peledak di rumahnya pada November 1968.
Ujung tombak kepemimpinan rumahan
Pada 1970-an, gerakan nasional Palestina mulai mendapatkan aspek yang lebih politis di wilayah pendudukan. Nablus, sekali lagi, adalah salah satu kota pertama yang mencerminkan perkembangan ini.
Pada 1976, “Israel” memutuskan untuk mengizinkan pemilihan kota di wilayah pendudukan. Langkah tersebut bertujuan untuk menciptakan kepemimpinan lokal di bawah kendali “Israel” sebagai penyeimbang terhadap meningkatnya pengakuan internasional terhadap Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai wakil rakyat Palestina.
Namun, sejumlah tokoh lokal terkemuka, yang pada saat itu dikenal dekat secara tidak resmi dengan PLO, membentuk daftar ‘Kandidat Patriotik’ dan memenangkan pemilihan di kota-kota utama Tepi Barat. Nablus adalah yang paling signifikan dari mereka.
Bassam Al-Shakaa, seorang nasionalis Arab yang memiliki hubungan dekat dengan PLO dan wajah publik dari salah satu keluarga paling bergengsi di Nablus, menjadi walikota Nablus. Dia ikut mendirikan dan menjadi pemimpin ‘Komite Orientasi Nasional’. Sebuah koalisi serikat pekerja, partai, organisasi masyarakat sipil dan amal, koalisi ini mengoordinasikan pekerjaan sosial dan kegiatan protes terhadap permukiman “Israel” dan kebijakan pendudukan.
Pada 2 Juni 1980, Al-Shakaa menjadi sasaran serangan bom oleh pemukim “Israel” yang dekat dengan organisasi pemukim Gush Emunim. Dia selamat dari serangan itu tetapi kehilangan kedua kakinya. Dua tahun kemudian, ia diberhentikan dari posisinya sebagai walikota Nablus oleh otoritas “Israel”.
Selama periode yang sama, generasi baru milisi Palestina terbentuk. Dalam bukunya, ‘Growing Up Palestine: Israel Occupation and The Intifada Generation’, Letitia Bucaille menjelaskan bagaimana kaum muda kelas pekerja Palestina mulai membangun kembali struktur organisasi untuk faksi-faksi Palestina di Nablus.
Struktur ini menjadi dasar bagi pemberontakan massa Palestina pertama melawan pendudukan “Israel” di wilayah pendudukan – Intifadah Pertama.
Antara dua Intifadah
Meskipun Intifadah Pertama dimulai pada 8 Desember 1987 di Jabalia, Jalur Gaza Utara, dan kemudian menyebar ke Tepi Barat, kamp pengungsi Balata, tepat di pintu masuk timur kota Nablus, sudah dalam keadaan memberontak jauh sebelumnya.
“Sejak 1982 […] batu dilempar siang dan malam di Balata, meskipun ada pengintaian tentara di atas atap selama beberapa pekan. Bom molotov menjadi masalah sehingga patroli tentara “Israel” menghindari pusat kamp sebanyak yang mereka bisa,” kata Bucaille mengutip salah satu milisi Nablus pada awal 1980-an.
Setelah Intifadah Pertama dan penandatanganan perjanjian Oslo, politik Palestina berpusat pada upaya pembangunan negara, di mana tokoh dan keluarga tokoh tradisional mendapatkan kembali peran sentral, bersama dengan anggota PLO yang baru tiba yang kembali dari pengasingan.
Banyak milisi muda kelas pekerja Intifada Pertama bergabung dengan pasukan keamanan Otoritas Palestina (PA) yang baru dibentuk. Yang lainnya beralih ke Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ). Tapi tidak lama kemudian mereka semua menemukan diri mereka dalam posisi pemberontakan yang sama, sekali lagi.
Tak lama setelah Intifada Kedua pecah pada September 2000, dan setelah tanggapan “Israel” yang sangat keras terhadapnya, pemberontakan beralih ke militer. Beberapa kelompok bersenjata Palestina muncul, mengambil tindakan terhadap pasukan dan pemukim Israel, dan mengirim pelaku bom bunuh diri ke “Israel”, menewaskan ratusan orang “Israel”. Nablus ‘bersaing’ dengan Jenin di pers “Israel” untuk mendapatkan julukan ‘Sarang Lebah’.
Salah satu contoh milisi Nablus selama periode ini adalah Nayef Abu Sharkh. Seorang anggota Fatah yang dipenjarakan oleh “Israel” selama Intifadah Pertama. Ia kemudian bergabung dengan pasukan keamanan PA.
Ketika Intifadah Kedua dimulai, Abu Sharkh adalah salah satu pendiri utama Brigade Syuhada Al-Aqsa, sebuah sayap militer yang terkait dengan Fatah. Dia terbunuh pada 2004 dalam serangan militer “Israel” di tempat persembunyiannya di Nablus, bersama dua pejuang lainnya; Jaafar Al-Masri, dari Hamas, dan Fadi Al-Bahti, dari Jihad Islam Palestina.
(Bersambung)
(zarahamala/arrahmah.id)