(Arrahmah.id) – Saat ini, kita memiliki aplikasi smartphone yang bisa digunakan untuk mengecek arah kiblat di belahan bumi bagian manapun kita berada, dan beberapa sajadah kita bahkan dibuat dengan kompas kiblat. Tapi bagaimana kaum muslimin di masa lalu menemukan kiblat ketika semua teknologi ini belum ada?
Nabi Muhammad Shalallahu alayhi wa sallam menghabiskan hidupnya di salah satu dari dua kota, Mekah dan Madinah. Di Mekkah, tentunya tidak perlu menghitung kiblat. Di Madinah diketahui bahwa arahnya adalah selatan. Namun, ketika kekuasaan Islam berkembang, kebutuhan untuk menghitung arah kiblat semakin meluas. Awalnya, umat Islam akan menggunakan arah jalan ketika meninggalkan kota mereka menuju Mekkah untuk menentukan kiblat.
Kemudian, pada abad kedua H, peta dunia simbolis dengan Ka’bah sebagai pusatnya digunakan.
Ketika Islam menyebar semakin jauh dari Mekah, ada kebutuhan yang lebih besar akan cara yang lebih akurat untuk menentukan kiblat. Peta di bawah ini menunjukkan bagaimana koordinat geografis diambil dari Mekah dan lokasi di mana kiblat akan ditentukan dan ditempatkan pada peta kotak persegi panjang dengan garis lurus yang ditarik untuk menentukan sudut dari berbagai lokasi lainnya.
Terobosan besar berikutnya datang di Cina abad ke-13. Ketika kompas air magnetik pertama dibuat menggunakan mangkuk berisi air dan besi magnet yang dibutuhkan. Setelah menentukan utara kompas yang sebenarnya, seseorang akan menghitung jumlah derajat tertentu di sepanjang tepian untuk menentukan kiblat.
Berikutnya datang Jam Matahari dan Bayangan. Dengan menandai titik-titik pada lingkaran di mana bayangan yang dihasilkan oleh jam matahari mencapai tepat sebelum tengah hari dan menjelang malam, seseorang akan dapat menentukan garis Timur-Barat dan Meridian Utara-Selatan. Jika seseorang mengetahui perbedaan antara garis bujur dan garis lintang Mekkah dan lokasinya sendiri, mereka dapat menemukan kiblat secara geometris – atau perkiraannya.
Model matematika untuk menentukan arah kiblat pertama kali dirumuskan pada 900 M, ketika Abu al-Wafa Buzhjani menemukan Aturan Sinus Bulat:
Ini merupakan aturan yang digunakan di aplikasi Kiblat modern. Penentuan arah kiblat, dengan menggunakan ilmu astronomi dan trigonometri bola, adalah Fardu Kifayah – yang berarti bahwa dalam suatu komunitas, sekurang-kurangnya wajib ada orang yang mengetahuinya. Dan pada saat orang Eropa percaya bahwa Bumi itu datar, para ilmuwan Muslim tahu bagaimana mengoreksi kelengkungan Bumi.
Nenek moyang Muslim kita mempelopori kemajuan intelektual umat manusia dan membuktikan bahwa Al-Qur’an dan sains tidak bertentangan secara diametral. Masa Keemasan Islam memang merupakan masa sejarah yang patut kita banggakan sebagai umat Islam. (zarahamala/arrahmah.id)