Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
(Arrahmah.com) – Seandainya hari raya Idulfitri besok masih ada pandemi corona dan kita dilarang mengadakan perkumpulan dengan shalat Id, apa yang mesti dilakukan?
Amalan di hari raya walau tidak shalat Id
Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih menyatakan, “Hukum yang berkaitan dengan hari Id seperti mandi pada hari raya, memakai pakaian terbaik, memakai wewangian, mengucapkan selamat hari raya, bertakbir, sunnah-sunnah ini masih tetap dilakukan. Hukum asalnya syariat tadi masih ada walaupun shalat Id ditiadakan.” (Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 19)
Perintah bertakbir pada hari raya tetap ada
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Ayat di atas memerintahkan untuk banyak bertakbir pada hari id (Idulfitri dan Iduladha), di dalamnya perintah untuk menjalankan shalat. Di dalam shalat id terdapat takbir yang rutin dilakukan, juga ada takbir tambahan. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24:183).
Yang dimaksud dengan takbir di sini adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir di akhir Ramadhan. Sedangkan kapan waktu takbir tersebut, para ulama berbeda pendapat. Ada pendapat yang menyatakan dari melihat hilal Syawal dan berakhir dengan khutbah Idulfitri. Berarti sejak malam Id bisa terus bertakbir.
Takbir yang diucapkan sebagaimana dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah, bahwasanya Ibnu Mas’ud bertakbir,
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd. (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya).
Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam kitab sunannya, dari Ibnu ‘Abbas, ia bertakbir,
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ وَأَجَلُّ اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
Allahu akbar kabiiro, Allahu akbar kabiiro, Allahu akbar walillahil hamd wa ajall, Allahu akbar ‘ala maa hadaanaa. (artinya: Allah sungguh Maha besar, Allah sungguh Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji dan kemuliaan bagi Allah. Allahu Maha Besar atas segala petunjuk yang diberikan kepada kami). (Lihat Fath Al-Qadir, 1:336).
Kata Ibnu Taimiyah bahwa lafazh takbir seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud itulah yang dipraktekkan oleh banyak sahabat. Kalau seseorang bertakbir “Allahu Akbar” sebanyak tiga kali, itu pun dibolehkan. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 24:220.
Saling mengucapkan selamat pada hari raya Idulfitri
Mengucapkan selamat pada hari raya Idulfitri tetap disyariatkan walaupun tidak dengan berjabat tangan atau bertemu langsung karena keadaan pandemi saat ini.
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua muslim itu bertemu lantas berjabat tangan melainkan akan diampuni dosa di antara keduanya sebelum berpisah.” (HR. Abu Daud, no. 5212; Ibnu Majah, no. 3703; Tirmidzi, no. 2727. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Adapun Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini sahih).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِى لَهُ قَالَ « لاَ ». قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ « لاَ ».قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ « نَعَمْ »
“Ada seseorang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana jika ada seseorang di antara kami bertemu dengan saudara atau temannya, lalu ia membungkukkan badannya?” “Tidak boleh”, jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Bagaimana jika memeluk lalu menciumnya?”, orang itu balik bertanya. “Tidak boleh”, jawab beliau lagi. Orang itu pun bertanya, “Bagaimana jika ia mengambil tangan saudaranya itu lalu ia menjabat tangan tersebut?” “Itu boleh”, jawab beliau terakhir. (HR. Tirmidzi, no. 2728. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Sedangkan Syaikh Al-Albani menghasankan hadits ini).
Dari Qatadah, ia berkata pada Anas bin Malik,
أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِى أَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ نَعَمْ
“Apakah berjabat tangan dilakukan di tengah-tengah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Anas menjawab, “Iya.” (HR. Bukhari, no. 6263).
Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih menyatakan, “Mengucapkan selamat saat hari id adalah sunnah. Amalan seperti ini ada contohnya dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi, jika dengan berkumpul untuk mengucapkan selamat atau bersalaman ada mudarat karena tersebarnya penyakit menular dan tersebarnya penyakit, berlakulah kaedah:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja maupun disengaja.” Saling mengucapkan selamat bisa dengan saling memandang saja (tanpa bersalaman) atau cukup dengan berbagai media komunikasi (seperti telepon).” (Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 20)
Bentuk ucapan selamat hari raya
Ada beberapa dalil yang menunjukkan bentuk ucapan selamat hari raya di masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . قال الحافظ : إسناده حسن .
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari Id (Idulfitri atau Iduladha), satu sama lain saling mengucapkan, “TAQOBBALALLAHU MINNA WA MINKA (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.(Fath Al-Bari, 2:446)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari id seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat id, ‘Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika’ dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, ‘Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya.’ Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).” (Majmu’ah Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 24:253).
Kesimpulannya, bentuk ucapan selamat hari raya bisa dengan kalimat apa pun, asalkan mengandung doa dan makna yang benar.
Adakah shalat Id di rumah?
Yang jelas shalat itu diperintahkan di antaranya dengan dalil berikut,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2). Dalam Zaad Al-Masiir (9:249), Ibnul Jauzi menyebutkan tiga pendapat mengenai shalat. Salah satu tafsirannya adalah perintah untuk shalat id.
Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna (hlm. 19) menyatakan, “Jika kita mengatakan bahwa shalat berjamaah dan shalat Jumat ditiadakan dan beralih shalat di rumah saat pandemi, demikian pula untuk shalat id tidak dilakukan di berbagai tempat shalat dan masjid jami karena dikhawatirkan adanya mudarat dengan berkumpulnya orang banyak. Shalat id tidak sah dilakukan di rumah sebagaimana shalat Jumat tidak sah dilakukan di rumah. Demikianlah kesimpulan yang bisa ditarik dari pendapat Ibnu Taimiyah, jika shalat id luput, tidak ada qadha. Karena shalat id itu disyaratkan dilakukan dengan ijtimak (kumpulan orang banyak).”
Ada perkataan Ibnu Qudamah tentang mengqadha shalat id. Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Siapa saja yang luput dari shalat id, maka tidak ada qadha baginya. Karena hukum shalat id adalah fardhu kifayah. Jika sudah mencapai kadar kifayah, sudah dikatakan cukup. Jika ia mau mengqadha shalat tersebut, tergantung pilihannya. Jika ia ingin mengqadhanya, diganti menjadi 4 rakaat. Empat rakaat tersebut boleh dilakukan dengan sekali salam atau dua kali salam.
Perihal di atas diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan menjadi pendapat Ats Tsauri. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,
مَنْ فَاتَهُ الْعِيدُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا ، وَمَنْ فَاتَتْهُ الْجُمُعَةُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
“Barangsiapa yang luput shalat ‘ied, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat rakaat. Barangsiapa yang luput shalat Jum’at, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat rakaat.” (Al-Mughni, 3:284)
Ustadz Dr. Firanda Andirja menyatakan dalam tulisan di situs web beliau, “Jumhur ulama berpendapat disyariatkannya shalat id bagi wanita, budak, orang sakit, dan musafir meskipun sendirian dan tidak dirumah.
Al-Imam Al-Bukhari berkata :
بَابٌ: إِذَا فَاتَهُ العِيدُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَكَذَلِكَ النِّسَاءُ، وَمَنْ كَانَ فِي البُيُوتِ وَالقُرَى، لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَذَا عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ» وَأَمَرَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَوْلاَهُمْ ابْنَ أَبِي عُتْبَةَ بِالزَّاوِيَةِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ وَبَنِيهِ، وَصَلَّى كَصَلاَةِ أَهْلِ المِصْرِ وَتَكْبِيرِهِمْ وَقَالَ عِكْرِمَةُ: «أَهْلُ السَّوَادِ يَجْتَمِعُونَ فِي العِيدِ، يُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ» وَقَالَ عَطَاءٌ: «إِذَا فَاتَهُ العِيدُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ»
“Bab: Jika seseorang terluput dari shalat íed maka ia shalat dua rakaat, demikian juga para wanita, dan orang-orang yang ada di rumah-rumah dan juga di kampung-kampung. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ini adalah adalah id (hari raya) kita kaum muslimin.’ Anas bin Malik memerintahkan budaknya Ibnu Abi ‘Utbah di Az-Zawiyah, maka beliaupun mengumpulkan keluarganya dan anak-anaknya dan shalat seperti shalat orang-orang di kota dan sesuai dengan takbir mereka. Ikrimah berkata, ‘Penduduk kampung (demikian juga para petani) berkumpul tatkala id, lalu mereka shalat dua rakaat sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa (yang shalat id di kota)”. ‘Atha’ berkata, ‘Jika seseorang luput dari shalat id maka ia shalat dua rakaat.’”
Ustadz Dr. Firanda Andirja lantas menegaskan, “Atsar Anas bin Malik di atas, dan juga atsar-atsar para tabiin dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama bahwasanya barang siapa yang terluput dari shalat id, maka hendaknya ia mengqadhanya. Yaitu ia mengqadhanya dengan shalat dua rakaat dan bertakbir sebagaimana shalat id biasanya. Namun tidak perlu khutbah setelah shalat. Wallahu a’lam.”
Kesimpulannya, ada dua pendapat dalam masalah ini. Silakan memilih shalat id di rumah jika tidak melaksanakannya di lapangan, atau memilih tidak shalat id sama sekali dan tidak ada qadha sama sekali. Wallahu a’lam.
(rumaysho.com/arrahmah.com)