Oleh: Ustadz Abdullah Al Jirani
Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam Darul Hikmah
(Arrahmah.com) – Jika shaf shalat wanita bercampur dengan shaf laki-laki tanpa ada hajat, hukumnya makruh, akan tetapi shalatnya sah. Karena perintah agar shaf wanita terpisah berada di belakang shaf laki-laki hanya bersifat istihbab (anjuran saja), bukan perkara yang wajib yang akan mempengaruhi keabsahan shalat. Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :
وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمَوَاقِفَ الْمَذْكُورَةَ كُلَّهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ فَإِنْ خَالَفُوهَا كُرِهَ وَصَحَّتْ الصَّلَاةُ لِمَا ذَكَرَهُ المصنف وكذا لو صلي الامام اعلا مِنْ الْمَأْمُومِ وَعَكْسَهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَكَذَا إذَا تَقَدَّمَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى صُفُوفِ الرِّجَالِ بِحَيْثُ لَمْ تَتَقَدَّمْ عَلَى الْإِمَامِ أَوْ وَقَفَتْ بِجَنْبِ الْإِمَامِ أَوْ بِجَنْبِ مَأْمُومٍ صَحَّتْ صَلَاتُهَا وَصَلَاةُ الرِّجَالِ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا
“Kesimpulannya, sesungguhnya posisi-poisisi shaf yang telah disebutkan semuanya bersifat anjuran. Jika mereka menyelisihinya, maka hal itu dimakruhkan, akan tetapi shalatnya sah sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh pengarang (Imam Asy-Syirazi). Demikian juga kalau seorang imam (posisinya) lebih tinggi dari makmum atau sebaliknya tanpa ada hajat, (maka shalatnya sah tapi dimakruhkan). Demikian juga jika (posisi) seorang wanita di depan shaf laki-laki, akan tetapi tidak di depan imam, atau berdiri di samping imam atau di samping makmum laki-laki, shalat wanita dan laki-laki tersebut sah tanpa ada perbedaan pendapat di sisi kami.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 4/297 ].
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :
إذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَبِجَنْبِهِ امْرَأَةٌ لَمْ تَبْطُلْ طلاته وَلَا صَلَاتُهَا سَوَاءٌ كَانَ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا هذا مذهبا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَكْثَرُونَ
“Apabila seorang laki-laki shalat dalam kondisi di sampingnya ada seorang perempuan, shalat keduanya tidak batal, baik dia (laki-laki) tadi sebagai imam, atau makmum. Ini merupakan pendapat madzhab kami (Syafi’i) dan merupakan pendapat imam Malik serta kebanyakan para ulama’.” [Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/252].
Hukum makruh ini hanya berlaku kalau tidak ada hajat. Adapun jika ada hajat atau bahkan kondisi terpaksa, maka tidak lagi makruh akan tetapi BOLEH. Semisal kondisi jama’ah yang berjumlah sangat banyak mencapai ribuan atau bahkan jutaan, sedangkan tempat tidak memungkinkan untuk mengkondisikan makmum secara ideal.
Oleh karena itu, janganlah kita terburu-buru untuk menyalahkan suatu perkara, dalam kondisi kita tidak mengerti ilmunya. Itu kedzaliman terhadap agama dan orang-orang yang kita hukumi. Wallahu waliyyut taufiq.
(*/arrahmah.com)