Oleh Hartono Ahmad Jaiz
(Arrahmah.com) – Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [البقرة/183]
“Wahai kaum Mukmin, kalian diwajibkan shoum, berpuasa sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertaqwa, sanggup menahan hawa nafsu.” (QS Al-Baqarah: 183).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Allah berfirman yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa. Juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan. Maka hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan.(Tafsir Ibnu Katsir 1/313).
Imam As-sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, lafal { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } agar kamu bertaqwa, karena puasa itu merupakan satu penyebab terbesar untuk taqwa. Karena shiyam itu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di antara cakupan taqwa adalah bahwa shiyam itu meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah berupa makan, minum, jima’ (bersetubuh) dan semacamnya yang nafsu manusia cenderung kepadanya. Itu semua untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan meninggalkan hal-hal (yang biasanya dibolehkan itu) adalah dengan mengharap pahala-Nya. Itulah di antara amalan taqwa.
Dan di antaranya bahwa orang yang shiyam itu melatih diri untuk menyadari pengawasan Allah Ta’ala, maka ia meninggalkan apa yang dicenderungi nafsunya pada masa dirinya mampu melakukannya (melanggarnya), (namun hal itu tidak dilakukannya) karena kesadarannya terhadap pengawasan Allah atasnya. Dan di antaranya, bahwa shiyam itu mempersempit laju peredaran syetan, karena syetan beredar pada anak Adam (manusia) dalam aliran darah, maka dengan shiyam itu melemahkan operasinya dan mengurangi kemaksiatan. Diantaranya pula bahwa orang yang shiyam pada umumnya banyak taatnya, sedang taat itu adalah bagian dari taqwa. Dan diantaranya bahwa orang kaya apabila dia merasakan perihnya lapar maka mendorong dirinya untuk menolong orang-orang fakir lagi papa, dan ini termasuk bagian dari taqwa. (Tafsir as-Sa’di, juz 1 halaman 86).
Ketika seseorang meningkat kesadarannya dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, dan meningkat kesadarannya bahwa dirinya senantiasa dalam pengawasan Allah, maka saat itulah dia dalam kondisi mendekat pada Allah. Lantas disertai pula kesadaran untuk menolong orang-orang yang kesulitan hidupnya, maka berarti meninggikan tingkat kasih sayangnya kepada makhluk. Yang hal itu akan menjadikan dia disayangi oleh Allah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ »
Orang-orang yang menyayangi (penduduk bumi) maka mereka disayangi Ar-Rahman (Allah). Sayangilah penduduk bumi maka kalian akan disayangi Yang di langit. (HR Abu daud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
Ketika seorang hamba menjalankan shiyam Ramadhan dengan penuh ketaatan kepada Allah, menyadari pengawasan Allah, dan menyadari perihnya penderitaan manusia miskin lagi sengsara hingga menyayanginya dengan menolongnya, maka di situlah puncak ketaatan manusia sebagai hamba Allah. Yakni taat kepada Rabbnya, dan kasih sayang pada manusia lemah.
Lafal { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } agar kamu bertaqwa, insya Allah dapat diraih oleh hamba Allah yang seperti itu.
Untuk meraih derajat taqwa seperti itu, tentunya perlu menghindari hal-hal yang menghalanginya. Baik itu yang bersifat godaan hawa nafsu, godaan syetan, maupun hilangnya kasih sayang terhadap manusia. Dan yang paling menonjol perusakannya terhadap ibadah puasa adalah hal yang sekaligus merusak hubungan kedua-duanya, yakni merusak hubungan terhadap manusia dan sekaligus merusak hubungan kepada Allah Ta’ala. Di antaranya adalah berkata dusta dan pratek dusta. Sehingga shiyam Ramadhan yang nilainya sangat tinggi itu langsung rusak gara-gara dusta.
Nabi bersabda:
(( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ )) رواه البخاري.
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Al Bukhari).
Mari kita sadari, bagaimana Allah akan menerima shiyam orang yang berkata dan berbuat dusta alias bohong. Shiyam adalah mendekatkan diri dengan taat, sampai mau untuk meninggalkan hal-hal yang aslinya boleh dilakukan ketika tidak berpuasa, seperti makan, minum, dan jima’. Ketaatan meninggalkan hal yang aslinya bukan haram, ketika ada perintah wajib ditinggalkan, maka ditinggalkan. Ini mestinya diikuti dengan sikap, bahwa yang mubah (boleh) saja harus ditinggalkan, apalagi yang haram, maka lebih harus ditinggalkan. Namun ketika yang haram tetap dilakukan padahal sudah payah-payah meninggalkan yang mubah, itu sikap yang tidak tahu diri. Merusak pekerjaan diri sendiri.
Kenapa?
Karena yang mubah saja harus ditinggalkan. Mestinya yang haram lebih ditinggalkan. Lha kok malah dikerjakan, itu namanya tidak tahu diri. Maka tepat sekali ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Al Bukhari).
Satu hadits yang singkat, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Al Bukhari) itu mengandung makna yang sangat luas. Coba kita bayangkan. Ketika kita shiyam Ramadhan, namun makan dan minum kita, bahkan pakaian yang kita pakai untuk berpuasa maupun untuk shalat; bila hal itu dihasilkan dari perkataan dan perbuatan dusta, maka jelas tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Bahkan do’a kita pun tidak dikabulkan-Nya.
Di hari-hari biasa selain Ramadhan pun, masalah makanan dan minuman haram itu sangat harus dijauhi. Baik haram karena dzat barangnya, maupun haram karena cara menadapatkannya ataupun mengolahnya (memprosesnya).
Ummat Islam wajib berhati-hati terhadap makanan, minuman, dan apa saja yang diharamkan. Lebih-lebih mengenai makanan dan minuman haram. Karena dampaknya sangat fatal, di antaranya ketika di dunia, do’a dari orang yang makan dan minumnya serta pakaiannya haram maka tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Sedang di akherat, daging yang tumbuh dari yang haram itu nerakalah yang lebih berhak atasnya.
Dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ). (رواه أحمد والترمذي والدارمي)
Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih utama dengannya.(HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ad-Darimi).
وعن أبي هريرة – رضي الله عنه – قال : قال رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – : (( أيُّهَا النَّاسُ ، إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّباً ، وإنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِينَ . فقالَ تعالى :{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً } [ المؤمنون : 51 ] ، وقال تعالى : { يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } [ البقرة : 172 ] . ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أشْعثَ أغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ : يَا رَبِّ يَا رَبِّ ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، ومَلبسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالْحَرَامِ ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟ رواه مسلم .
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shalllahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkan oleh para rasul. Maka Allah Ta’ala berfirman:
{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً } [ المؤمنون : 51 ]
Hai para rasul, makanlah kalian dari karunia Allah yang halal lagi baik. Lakukanlah amal shaleh untuk mensyukuri karunia-Ku kepada kalian (QS Al-Mukminun: 51). Dan Allah ta’ala berfirman:
{ يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } [ البقرة : 172 ]
Wahai kaum Mukmin, makanlah sebagian dari karunia Allah yang halal yang Kami berikan kepada kalian. (QS Al-Baqarah: 172).
Lalu Rasulullah menuturkan tentang seorang lelaki yang pergi mengembara hingga rambutnya kusut berdebu, lalu dia mengangkat tangan ke arah langit sambil berdo’a: Ya Rabbi, ya Rabbi, berilah aku sesuatu, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram, dan dimakani dengan yang haram pula. Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan karena demikian. (HR Muslim).
Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sulit tidur. Kemudian isteri beliau bertanya, “apa yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa tidur?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
« إِنِّى وَجَدْتُ تَحْتَ جَنْبِى تَمْرَةً فَأَكَلْتُهَا وَكَانَ عِنْدَنَا تَمُرٌ مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَخَشِيتُ أَنْ تَكُونَ مِنْهُ »
“Sesungguhnya saya menemukan di bawah bahu saya sebutir kurma, maka saya makan, sedangkan di sisi kami ada kurma-kurma dari kurma sedekah (zakat), maka saya takut jika kurma tersebut adalah kurma dari sedekah.” (HR Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma).
عن عائشة رضي الله عنها ، قالت : كَانَ لأبي بَكر الصديق – رضي الله عنه – غُلاَمٌ يُخْرِجُ لَهُ الخَرَاجَ ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ ، فَجَاءَ يَوْماً بِشَيءٍ ، فَأكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ ، فَقَالَ لَهُ الغُلامُ : تَدْرِي مَا هَذَا ؟ فَقَالَ أَبُو بكر : وَمَا هُوَ ؟ قَالَ : كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لإنْسَانٍ في الجَاهِلِيَّةِ وَمَا أُحْسِنُ الكَهَانَةَ ، إِلاَّ أنّي خَدَعْتُهُ ، فَلَقِيَنِي ، فَأعْطَانِي لِذلِكَ ، هَذَا الَّذِي أكَلْتَ مِنْهُ ، فَأدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ . رواه البخاري .
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Abu Bakar mempunyai budak sahaya yang mengeluarkan kharaj (sesuatu yang diwajibkan tuan atas budaknya untuk dibayar/ ditunaikan tiap hari) untuknya, dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memakan dari kharajnya itu. Tiba-tiba budak itu pada suatu hari membawa makanan, maka dimakan oleh Abu Bakar, kemudian budak itu bertanya: “Tahukah kau, apa ini?” Abu Bakar berkata:”Apa dia?” Budak itu berkata: “Pada masa jahiliyah dulu saya pernah berlagak jadi dukun, padahal saya tidak mengerti perdukunan, hanya semata-mata mau menipu. Maka kini dia bertemu padaku mendadak memberi padaku makanan yang kau makan itu.” Maka segera Abu Bakar memasukkan jarinya dalam mulut, sehingga memuntahkan semua isi perutnya. (Shahih Al-Bukhari nomor 3842, dan di Kitab Riyadhus Shalihin bab Wara’ dan meninggalkan syubhat).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohi, bukan di bulan Ramadhan saja sebegitu hati-hatinya terhadap makanan. Hingga hanya karena khawatir yang dimakan itu satu butir kurma yang dikhawatirkan termasuk kurma sedekah (karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibolehkan menerima sedekah) maka beliau jadi sulit tidur karena menggelisahinya.
Contoh lainnya, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sampai memuntahkan isi perutnya semua karena ada makanan yang terlanjur masuk dikatakan budaknya sebagai hasil praktek perdukunan sang budak.
Itu semua tidak diriwayatkan berkaitan dengan Ramadhan, artinya di hari-hari biasa. Itupun makanan yang dikhawatirkan tidak halal, sangat dijauhi. Karena memang ancamannya, di samping ibadah dan do’a akan tertolak, masih pula diancam neraka. Maka bagaimana pula bila berpuasa Ramadhan, mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan bekal makanan dan minuman yang haram? Baik dzatnya maupun cara memperolehnya ataupun memprosesnya?
Semoga kita dihindarkan dari aneka cara tipu daya yang hanya akan merugikan kita sendiri.
Apabila kita dapat lulus dari aneka keharaman, dusta, tipuan, tingkah palsu dan semacamnya, dan beribadah ikhlas untuk Allah, maka insya Allah amaliyah Ramadhan akan mendapatkan berkah. Karena sebenarnya Ramadhan adalah bulan yang diberkahi, yakni banyak kebaikannya.
كَانَ رَسُوْلُ الله – صلى الله عليه وسلم – يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ يَقُوْلُ: (( قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، كَتَبَ الله عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، فِيْهِ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوِابُ الجَحِيْمِ، وَتُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ، فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ )) رواه أحمد والنسائي. تحقيق الألباني ( صحيح ) انظر حديث رقم : 55 في صحيح الجامع .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para syetan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa.”( H.R. Ahmad dan An Nasa’I, shahih menurut Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ nomor 55).
Ramadhan, bulan yang mulia, bulan al-Qur’an, bulan shiyam, bulan bertahajjud dan qiyamullail, bulan kesabaran dan takwa, bulan yang terdapat di dalamnya suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan di mana syetan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Bulan saat amal kebaikan dilipat gandakan dan penuh berkah dalam ketaatan, bulan pahala dan keutamaan yang agung. Maka seyogyanya setiap yang mengetahui sifat-sifat tamu ini untuk menyambutnya sebaik mungkin, mempersiapkan berbagai amal kebajikan agar memperoleh keberuntungan yang besar dan tidak berpisah dengan bulan itu, kecuali ia telah menyucikan ruh dan jiwanya. Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9)
artinya, “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (QS.asy-Syams: 9)
Kaum salaf, pendahulu Ummat ini telah memahami betapa tinggi nilai tamu tersebut (Ramadhan). Oleh karena itu, diriwayatkan, bahwa mereka berdo’a kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya, dan apabila mereka mengakhirinya, mereka menangis dan berdo’a kepada Allah agar amal mereka pada bulan-bulan yang lain diterima, demikian seperti dinukil Ibnu Rajab rahimahullah. (Nasyarah,”Kaifa nastaqbilu Ramadhan” (Abu Mush’ab Riyadh bin Abdur Rahman al-Haqiil).
Apabila kita mempersiapkan diri untuk ibadah kepada Allah Ta’ala di bulan yang diberkahi yakni Ramadhan dengan menghindari aneka hal yang haram dan membatalkan pahala, maka insya Allah derajat taqwa akan kita raih. Sedang Allah telah memberi pujian kepada orang yang taqwa:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [الحجرات/13]
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al-Hujurat/ 49: 13).
Dan semoga kita terhindar dari ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوع
“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya, kecuali lapar”. (HR. Ahmad dan terdapat dalam Shahih Al Jami’ No. 3490).
Ancaman itu benar-benar penting untuk kita perhatikan degan mencermati hal-hal yang diuraikan tersebut di atas.
Semoga tulisan singkat ni bermanfaat dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.
(azm/arrahmah.com)