(Arrahmah.id) – Pada pertengahan Desember 2023, dua bulan setelah Operasi Thufan Al-Aqsha, tentara “Israel” melangkah dengan penuh percaya diri di antara reruntuhan di Gaza Utara, tepatnya di Beit Hanoun, wilayah paling timur laut Jalur Gaza. Saat itu, perayaan Hanukkah Yahudi hampir berakhir. Para tentara menyalakan lilin, menari, dan bernyanyi dalam euforia kemenangan. Setelah beberapa hari ketenangan, juru bicara militer “Israel”, Daniel Hagari, muncul di awal tahun baru dan mengumumkan bahwa Brigade Gaza Utara dari Brigade Al-Qassam telah dihancurkan sepenuhnya!
Namun, satu tahun kemudian, dalam minggu-minggu menjelang pengumuman kesepakatan gencatan senjata pada pertengahan Januari 2025, Beit Hanoun justru menjadi saksi peningkatan serangan perlawanan yang semakin intens. Situasi ini bahkan membuat komandan Brigade Nahal di militer “Israel” mengakui bahwa hasil perang ini “sangat berat, sangat sulit.”
Fakta ini juga didukung oleh data. Menurut statistik dari situs Akka yang berfokus pada urusan “Israel”, pada Januari 2025 saja, sebanyak 14 tentara “Israel” tewas di Beit Hanoun dalam lima operasi yang berlangsung dari tanggal 6 hingga 13 bulan itu. Sementara itu, Brigade Al-Qassam mengumumkan serangkaian serangan bertajuk Kamain Al-Maut (Penyergapan Maut) di Beit Hanoun, yang berlangsung dari akhir Desember 2024 hingga 14 Januari 2025, mencakup lebih dari 12 operasi, bahkan sehari sebelum Doha mengumumkan kesepakatan gencatan senjata.
Militer “Israel” memang telah menghancurkan Beit Hanoun sepenuhnya dalam bulan-bulan pertama perang. Namun, ironisnya, operasi-operasi paling mematikan justru terjadi di hari-hari terakhir sebelum gencatan senjata. Salah satu yang paling menonjol adalah serangan terhadap konvoi Wakil Komandan Brigade Nahal, yang tewas pada 11 Januari 2025. Kemudian, pada 23 Januari—pasca gencatan senjata—Hussein Fayyad, Komandan Batalyon Beit Hanoun dari Brigade Al-Qassam, muncul dalam sebuah video dari lokasi penyergapan, menegaskan bahwa mereka berhasil membunuh wakil komandan tersebut. Padahal, militer “Israel” telah mengklaim bahwa Fayyad telah terbunuh sekitar delapan bulan sebelumnya.
Sebelumnya, pada 7 Oktober 2023, perlawanan Palestina juga berhasil membunuh Komandan Brigade Nahal, Yonatan Steinberg, dalam sebuah operasi di dekat perlintasan Kerem Shalom.
Apa yang terjadi di Beit Hanoun dan Gaza Utara memberi kita gambaran tentang jalannya perang pemusnahan yang dilancarkan oleh “Israel” dan sekaligus menjawab pertanyaan penting: mengapa militer “Israel” gagal memenangkan pertempuran di Gaza? Untuk menjawabnya, perlu diajukan pertanyaan lain: bagaimana mungkin perlawanan mampu melancarkan operasi dari daerah yang telah dihancurkan total dan terbuka sepenuhnya bagi pengawasan udara dan darat, meskipun militer “Israel” mengklaim telah menguasai wilayah tersebut?
Tujuan Menggapai Langit, “Merkava” Hancur di Tanah
Sepanjang perang, Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu, terus mengumandangkan tujuan utamanya: mengakhiri keberadaan militer dan politik Hamas, membebaskan tawanan dengan kekuatan senjata, serta memastikan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman di masa depan.
Militer “Israel” sendiri tidak sepenuhnya sepakat dengan tujuan Netanyahu dan menganggapnya tidak realistis. Namun, mereka tetap mengerahkan seluruh kekuatan untuk mencapainya, tanpa peduli pada hukum internasional atau batasan moral. Mereka menggunakan kekerasan ekstrem terhadap segala sesuatu yang bergerak. Tetapi harga yang harus dibayar ternyata jauh lebih besar daripada yang dibayangkan oleh pemimpin politik dan militer mereka.
Selama 15 bulan serangan tanpa henti, tujuan perang mereka tetap tidak tercapai. Sebaliknya, perlawanan Palestina tidak hanya berhasil bertahan, tetapi juga mencetak kemenangan militer yang nyata di lapangan. Mereka menghancurkan kendaraan lapis baja, pengangkut personel, dan tank-tank Merkava yang menjadi kebanggaan “Israel”, serta menimbulkan korban besar di kalangan tentara dengan berbagai cara. Tak hanya itu, mereka juga berhasil merekrut ribuan anggota baru, memperkuat barisan mereka.
Sebuah lembaga penelitian strategis bergengsi di Inggris, Royal United Services Institute (RUSI), menyimpulkan bahwa “Israel” tidak akan pernah bisa memenangkan perang ini selama tetap berpegang pada tujuan awalnya. Mereka hanya bisa mencapai “keberhasilan” jika menyesuaikan tujuan mereka agar seimbang dengan sumber daya yang dimiliki.
Namun, untuk memahami dilema militer “Israel”, kita harus melihat kembali fondasi doktrin keamanan mereka. Perdana Menteri pertama sekaligus Menteri Pertahanan pertama “Israel”, David Ben-Gurion, merancang doktrin keamanan militer mereka berdasarkan tiga pilar utama:
- Daya Tangkal – memastikan musuh tidak berani menyerang.
- Peringatan Dini Strategis – kemampuan intelijen untuk memberikan peringatan dini sebelum musuh menyerang.
- Penyelesaian Cepat – jika perang pecah, “Israel” harus mampu memindahkan pertempuran ke wilayah musuh secepat mungkin dan menyelesaikan perang dengan kemenangan telak.
Namun, seiring berjalannya waktu, pergeseran dari perang konvensional melawan tentara negara-negara Arab ke pertempuran melawan kelompok perlawanan seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza, serta munculnya konsep perang hibrida, telah mengubah doktrin militer dan keamanan “Israel” secara mendasar.
Di medan perang Gaza, strategi lama mereka terbukti gagal. Mereka tidak bisa menaklukkan perlawanan dengan keunggulan militer semata. “Israel” mungkin unggul dalam teknologi dan persenjataan, tetapi Brigade Al-Qassam telah mengubah faktor-faktor kekuatan “Israel” menjadi titik lemahnya sendiri—membuat tank Merkava yang perkasa menjadi sasaran empuk, mengubah keterbukaan medan menjadi perangkap mematikan, serta menjadikan kehancuran kota sebagai latar bagi serangan yang lebih efektif dan mengejutkan.
Pada akhirnya, pertempuran ini bukan hanya soal siapa yang memiliki kekuatan lebih besar, tetapi siapa yang lebih mampu beradaptasi dengan realitas perang. Dalam hal ini, perlawanan Palestina telah menunjukkan bahwa meskipun berhadapan dengan salah satu militer terkuat di dunia, mereka masih mampu bertahan, menyerang, dan bahkan mencetak kemenangan strategis yang tak terbantahkan.
Dari “Doktrin Dahiya” hingga Kegagalan Strategis di Gaza
Perubahan dalam strategi militer “Israel” dapat ditelusuri dari apa yang diungkapkan oleh Gadi Eisenkot, Kepala Divisi Operasi selama Perang Lebanon 2006. Ia memperkenalkan konsep Doktrin Dahiya, sebuah pendekatan militer yang diterjemahkan ke dalam rencana tempur dan menjadi landasan dalam perang-perang berikutnya. Esensi dari doktrin ini adalah penggunaan kekuatan yang tidak seimbang untuk menyebabkan kerusakan besar terhadap desa atau wilayah Lebanon mana pun yang menjadi sumber serangan terhadap “Israel”.
Peneliti di Institute for National Security Studies (INSS), Kolonel (Purn.) Gabi Siboni, memperluas doktrin ini dengan menekankan bahwa selain menghancurkan kemampuan militer Hizbullah, serangan juga harus ditujukan pada infrastruktur ekonomi serta pusat-pusat kekuatan sipil yang menopang kelompok tersebut.
Doktrin Khusus untuk Menghadapi Hamas
Namun, tiga perang yang dilancarkan “Israel” terhadap Hamas (2008, 2012, dan 2014) memunculkan konsep-konsep tempur baru, seperti Kiy Al-Wa’iy (Penghancuran Kesadaran), Jazza Al-‘Ushb (Memangkas Rumput), dan Protokol Hannibal.
- Penghancuran Kesadaran adalah gagasan yang dikembangkan oleh Menteri Pertahanan “Israel” saat itu, Moshe Yaalon, selama Intifada Al-Aqsha. Strategi ini bertujuan untuk menghantam perlawanan bersenjata dan warga sipil secara bersamaan, dengan tujuan menanamkan keyakinan bahwa “Israel” tidak bisa dikalahkan dan bahwa perlawanan hanyalah kesia-siaan yang berakhir dengan penderitaan.
- Memangkas Rumput adalah strategi yang berfokus pada perang yang berulang—setiap kali kekuatan perlawanan meningkat, “Israel” akan menyerang kembali untuk melemahkan mereka.
- Protokol Hannibal menginstruksikan komandan di lapangan untuk segera menggagalkan upaya penculikan tentara “Israel”, bahkan jika hal itu berarti melukai atau membunuh tentara yang diculik.
Baru-baru ini, militer “Israel” telah mengembangkan doktrin tempurnya dengan mengintegrasikan semua elemen perang hibrida. Mereka mengadopsi konsep Multi-Domain Operations (Operasi Multi-Dimensi) yang mengoordinasikan pasukan darat, angkatan laut, angkatan udara, hingga kekuatan luar angkasa. Pendekatan ini menyerupai doktrin militer terbaru Amerika Serikat.
Dalam perang di Gaza, yang dianggap sebagai laboratorium tempur nyata, “Israel” telah menggabungkan teknologi militer canggih, kecerdasan buatan, dan intelijen digital untuk mengimbangi kekurangan pasukan di tiga front pertempuran: Gaza, Lebanon, dan Tepi Barat. Sepanjang perang, mereka juga mendapat suplai militer tanpa henti dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Selain itu, “Israel” menjalin kerja sama intelijen dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis melalui operasi udara. Mereka juga mendapat dukungan militer dalam menghadapi serangan rudal dari Iran, Yaman, Irak, dan Lebanon.
Namun, tantangan terbesar mereka adalah bertempur di Jalur Gaza, wilayah sempit yang dikepung dari segala sisi dan diawasi tanpa henti oleh drone “Israel” serta sekutu Baratnya.
Perang Total Melawan Gaza: Kejam, tetapi Gagal
Militer “Israel” tidak hanya berusaha menekan perlawanan secara langsung, tetapi juga menerapkan tekanan luar biasa terhadap penduduk Palestina. Mereka menyerang infrastruktur vital seperti rumah sakit, pusat pengungsian, jalan utama, serta memutus pasokan listrik, air, bahan bakar, dan internet. Bantuan kemanusiaan pun diblokade atau dicuri, sementara petugas kemanusiaan Palestina dibunuh. Kampanye propaganda dan penyebaran informasi palsu dilakukan melalui selebaran, drone, dan pengeras suara.
Dengan kata lain, militer “Israel” diberi kebebasan penuh untuk menggunakan segala cara, termasuk tindakan brutal yang belum pernah terjadi sebelumnya di era modern, bahkan hingga melenyapkan seluruh distrik pemukiman. Mereka diberi cek kosong untuk mencapai tujuan perang mereka di Gaza.
Namun, mengapa kemenangan mutlak yang dijanjikan Netanyahu tak kunjung terwujud?
Sejak 7 Oktober 2023 hingga pengumuman gencatan senjata, ada sejumlah faktor di tingkat taktis, operasional, dan strategis yang menggagalkan upaya “Israel” dalam menuntaskan perang ini. Berikut adalah faktor utama yang menjadi penghalang kemenangan mereka:
Kegagalan Strategis “Israel”
Serangan mendadak yang dilakukan Brigade Al-Qassam pada 7 Oktober 2023, tepat 50 tahun setelah Perang Yom Kippur (10 Ramadan), menjadi guncangan besar bagi “Israel”—baik bagi militer, intelijen, maupun masyarakatnya. Serangan itu mengungkap kegagalan Direktorat Intelijen Militer “Israel” (Aman) dalam memberikan peringatan dini, yang selama ini menjadi pilar utama doktrin pertahanan mereka.
Karena “Israel” adalah negara kecil yang dikelilingi oleh musuh, peran intelijen menjadi sangat krusial dalam menjaga keamanannya. Selain itu, mereka sangat bergantung pada pasukan cadangan dalam struktur militernya. Oleh sebab itu, menurut penasihat akademik di Institute for National Security Studies (INSS), Azar Gat, serangan 7 Oktober adalah “kegagalan strategis terbesar dalam sejarah ‘Israel’.”
Brigade Al-Qassam berhasil mengecoh intelijen “Israel” dengan strategi penyamaran yang luar biasa. Mereka secara terus-menerus melakukan latihan militer, mengirim ribuan sinyal terkait kemungkinan serangan besar, dan mempertahankan kesiapan operasionalnya dengan cara yang membuat intelijen “Israel” menganggap semua itu sebagai ancaman kosong atau sekadar latihan rutin untuk meningkatkan moral para pejuang.
Dengan kata lain, “Israel” gagal membaca strategi perlawanan dan justru terjebak dalam rasa aman yang semu—hingga akhirnya mereka dikejutkan oleh operasi besar yang mengguncang fondasi keamanan mereka sendiri.
Ketidakmampuan “Israel” Memahami Medan Perang di Gaza
Serangan informasi masif yang dilakukan oleh Brigade Al-Qassam telah menciptakan kebingungan luar biasa di pihak “Israel”, sehingga mereka gagal membedakan antara sinyal yang nyata dan yang menyesatkan.
Namun, kegagalan strategis “Israel” tidak berhenti pada peristiwa 7 Oktober saja. Militer pendudukan juga tidak mampu mencapai tujuan-tujuan strategis yang telah ditetapkan oleh para pemimpinnya, terutama dalam menghancurkan kekuatan militer Hamas dan menghapus keberadaannya. Selain itu, rencana untuk mengosongkan wilayah utara Gaza dari penduduk—melalui Rencana Para Jenderal—gagal terwujud. Strategi ini awalnya dirancang untuk mengubah Gaza Utara menjadi zona militer tak berpenghuni, sebagai langkah awal bagi kelompok-kelompok ekstremis Yahudi untuk membangun kembali pemukiman ilegal di sana.
“Naga Buta yang Menyemburkan Api”
Sebagai salah satu kekuatan intelijen digital terbesar di dunia—sebagaimana diklaim oleh “Israel” sendiri—kegagalannya dalam mendeteksi serangan yang dilakukan oleh ribuan pejuang Al-Qassam menunjukkan adanya kerusakan mendasar dalam sistem intelijen “Israel” selama perang di Gaza.
Hamas dan faksi-faksi perlawanan lainnya sengaja menghindari penggunaan teknologi yang terhubung ke internet, sehingga seluruh persiapan dan strategi mereka berada di luar jangkauan mata-mata digital “Israel”. Selain itu, Hamas memperketat operasinya dalam memburu para agen “Israel”, hingga mencapai titik di mana tidak ada satu pun mata-mata yang berhasil menyusup ke dalam struktur kepemimpinan mereka. Hal ini membuat “Israel” seperti seekor naga bersayap yang menyemburkan api tanpa dapat melihat apa yang sebenarnya ia bakar.
Hamas juga berhasil menggagalkan upaya serius “Israel” dalam menyusup ke jaringan komunikasi internal mereka. Pada 5 Mei 2018, sejumlah insinyur Al-Qassam gugur saat membongkar sistem mata-mata canggih yang ditanam oleh intelijen “Israel” di Gaza. Sekitar enam bulan kemudian, pada 11 November 2018, para pejuang Al-Qassam berhasil menewaskan seorang komandan dari unit elit Sayeret Matkal serta melukai sebagian besar anggotanya ketika mereka berusaha menanam perangkat penyadapan di jaringan komunikasi Al-Qassam.
Operasi ini menunjukkan betapa “Israel” sangat membutuhkan informasi, hingga nekat mengorbankan unit pasukan khususnya untuk menerobos pertahanan Hamas.
Namun, tingginya jumlah komandan Hamas yang gugur dalam perang di Gaza bukanlah bukti keberhasilan intelijen “Israel”. Sebagian besar dari mereka berada di garis depan pertempuran, sehingga menjadi target yang lebih mudah. Sebaliknya, “Israel” juga kehilangan banyak perwira tinggi mereka di medan tempur.
Lebih dari itu, intelijen “Israel” terbukti gagal dalam menemukan keberadaan tentara mereka yang ditawan oleh Hamas, serta tidak mampu mendeteksi lokasi pusat komando dan kendali bawah tanah Hamas. Hal ini disebabkan oleh tingkat kerahasiaan yang tinggi dari Unit Bayangan, tim khusus Hamas yang bertanggung jawab menjaga para tawanan, serta sistem komunikasi internal yang sama sekali tidak terhubung dengan teknologi eksternal. Kelemahan intelijen ini terus terlihat dalam setiap momen pertukaran tawanan yang dilakukan Hamas dengan “Israel”.
“Israel”: Sekarang, Apa yang Harus Kita Bombardir?
Pertanyaan ini membawa kita pada permasalahan Bank Target militer “Israel” di Gaza. Apa sebenarnya yang menjadi sasaran serangan mereka?
Selama hampir dua dekade, “Israel” telah membangun bank target yang luas dengan mengumpulkan dan mengolah jutaan data. Mereka mengontrol seluruh jalur komunikasi digital di Gaza, termasuk ruang elektromagnetik dan jaringan telekomunikasi. Intelijen “Israel” meyakini bahwa mereka memiliki cengkeraman penuh atas Gaza, siap untuk digunakan kapan pun diperlukan.
Namun, ketika perang benar-benar pecah, mereka justru terkejut dengan betapa minimnya informasi yang mereka miliki.
Karena bank target “Israel” tidak diperbarui secara akurat, mereka akhirnya mengandalkan kombinasi berbagai doktrin militer, seperti Doktrin Dahiya, Protokol Hannibal, dan Penghancuran Kesadaran. Kesemuanya bertumpu pada strategi menghantam warga sipil dan infrastruktur sebagai bentuk tekanan terhadap perlawanan. Jika sebuah lokasi dicurigai sebagai basis Hamas, mereka akan menghancurkan seluruh area tersebut tanpa konfirmasi lebih lanjut.
Meskipun dengan sengaja menargetkan warga sipil dan infrastruktur Gaza untuk meningkatkan biaya perang bagi perlawanan—seperti yang telah diungkap oleh berbagai investigasi jurnalistik—militer “Israel” justru mendapati diri mereka terjerumus ke dalam aksi genosida yang mencoreng citra mereka sendiri.
Selama bertahun-tahun, “Israel” berusaha membangun citra bahwa tentaranya adalah “pasukan paling bermoral di dunia”. Namun, dalam perang ini, mereka malah menjadi simbol kebrutalan dan pembantaian.
Kelemahan Fundamental dalam Militer “Israel”
Militer “Israel” memiliki karakteristik unik. Doktrin keamanan nasional mereka dibangun di atas dua pilar utama:
- Segitiga Keamanan – yang terdiri dari peringatan dini, kemenangan cepat (decisive victory), dan efek jera (deterrence).
- Konsep “Tentara Rakyat” – yang diwujudkan melalui wajib militer bagi seluruh warga “Israel”.
Karena keterbatasan jumlah penduduk, “Israel” tidak dapat membangun tentara besar seperti negara lain. Sebagai gantinya, mereka mengadopsi konsep “tentara kecil yang cerdas”—yakni pasukan yang jumlahnya terbatas tetapi didukung oleh teknologi canggih dan kekuatan intelijen tinggi.
Namun, perang di Gaza telah membuktikan bahwa teknologi dan kecanggihan militer tidak selalu menjadi penentu kemenangan. Ketika intelijen gagal memberikan informasi yang akurat, tentara “Israel” berubah menjadi kekuatan yang brutal tetapi buta—seperti naga yang menyemburkan api ke arah yang tidak diketahuinya.
“Tentara Rakyat”: Beban bagi Negara dan Warganya
Strategi perlawanan yang memaksa “Israel” untuk membuka berbagai front di Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon telah menyebabkan akumulasi kerugian besar, yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat “Israel”. Kini, warga sipil mereka pun berubah menjadi prajurit yang siap mengangkat senjata.
Realitas di lapangan membuktikan bahwa mengandalkan teknologi saja tidaklah cukup. Retakan dalam tubuh tentara dan masyarakat “Israel” memang berkembang perlahan, tetapi ini tidak berarti bahwa mereka berhasil di empat front yang mereka hadapi. Sebaliknya, mereka mampu bertahan dalam pertempuran semata-mata berkat dukungan militer besar-besaran dari Amerika Serikat serta sejumlah negara Eropa dan dunia.
Meski demikian, militer pendudukan memutuskan untuk membentuk lima brigade baru yang disebut sebagai Brigade Dawud guna memperkuat operasi tempur di berbagai front.
Masalah mendasar yang dihadapi tentara “Israel” adalah keterlibatan negara yang terlalu dalam dalam upaya militernya. Saat ini, jumlah tentara reguler mereka mencapai 169 ribu personel, sementara pasukan cadangan berjumlah 465 ribu. Ketika perang di Gaza meletus, militer “Israel” memobilisasi 360 ribu pasukan cadangan—angka yang masih jauh dari cukup untuk menjalankan perang jangka panjang atau mempertahankan wilayah yang mereka masuki, bahkan dengan dukungan serangan udara.
Untuk benar-benar menguasai suatu wilayah, kehadiran fisik di darat mutlak diperlukan. Namun, tentara “Israel” gagal melakukannya di Gaza, terutama di kawasan pertempuran yang dipenuhi bangunan padat dan puing-puing reruntuhan.
Selain itu, ketika pasukan cadangan dipanggil ke medan perang, mereka terpaksa meninggalkan pekerjaan dan bisnis mereka di “Israel”. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan-perusahaan “Israel” dan sektor ekonomi lainnya, termasuk konstruksi. Data dari lembaga asuransi nasional menunjukkan bahwa dalam enam bulan pertama perang, 1.000 bisnis yang dimiliki oleh tentara cadangan gulung tikar. Separuhnya berada di Tel Aviv, sementara sisanya tersebar di wilayah utara dan Haifa.
Terowongan untuk Hamas, Kesesatan bagi “Israel”
Sehari setelah diumumkannya gencatan senjata, mantan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, dalam konferensi persnya, menyebut terowongan Hamas sebagai sesuatu yang “mengagumkan” dan mengakui bahwa tidak ada yang benar-benar mengetahui skala sistem tersebut. Biden menyatakan bahwa beberapa terowongan bahkan mencapai kedalaman 60 meter di bawah tanah.
Sementara itu, pada pertengahan Januari 2024, mantan perwira CIA, Aaron Greenstone, mengatakan bahwa “Terowongan Hamas adalah mimpi buruk bagi tentara ‘Israel’ dan merupakan inti dari kemampuan Hamas untuk bertahan.” Pernyataan ini diperkuat oleh Ketua Komite Intelijen Senat AS, Mark Warner, yang pada pertengahan Februari 2024 memperkirakan panjang total jaringan terowongan di Gaza mencapai sekitar 500 kilometer.
Pada periode yang sama, surat kabar “Israel”, Yedioth Ahronoth, melaporkan bahwa tentara “Israel” sangat terkejut dengan luasnya jaringan terowongan yang dibangun oleh perlawanan Palestina. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ukuran dan kompleksitas terowongan ini melebihi perkiraan para pemimpin militer “Israel” hingga 600%.
Kebangkitan Perlawanan di Gaza Utara
Pada pertengahan Desember 2023—dua bulan setelah Operasi Badai Al-Aqsa—tentara pendudukan tampak berjalan penuh percaya diri di antara puing-puing reruntuhan di Gaza Utara, terutama di Beit Hanoun, kawasan timur laut Gaza. Saat itu, perayaan Hanukkah hampir berakhir, dan tentara “Israel” menyalakan lilin, menari, serta bernyanyi.
Beberapa hari kemudian, juru bicara militer “Israel”, Daniel Hagari, dalam pernyataan awal tahun 2024, mengklaim bahwa Brigade Gaza Utara dari Brigade Al-Qassam telah dihancurkan sepenuhnya.
Namun, setahun setelah pertempuran dimulai, dan dalam minggu-minggu menjelang pengumuman gencatan senjata pada pertengahan Januari 2025, Beit Hanoun kembali menjadi saksi serangan-serangan perlawanan yang semakin intens. Kondisi ini membuat komandan Brigade Nahal dari tentara “Israel” mengakui bahwa “hasil perang ini sangat sulit… sangat sulit.”
Angka-angka di lapangan pun berbicara. Statistik dari situs Akka for Israeli Affairs menunjukkan bahwa pada Januari 2025, 14 tentara “Israel” tewas di Beit Hanoun dalam lima operasi besar yang berlangsung dari 6 hingga 13 Januari.
Sementara itu, Brigade Al-Qassam mengumumkan serangkaian operasi “Kumandan Kematian” yang dimulai sejak akhir Desember 2024 hingga 14 Januari 2025. Lebih dari 12 serangan dilancarkan di wilayah tersebut, bahkan hingga satu hari sebelum Doha mengumumkan kesepakatan gencatan senjata.
Pengumuman
Pendudukan telah menghancurkan Beit Hanoun sepenuhnya dalam bulan-bulan pertama perang. Namun, justru di hari-hari terakhirnya, perlawanan berhasil melancarkan operasi-operasi paling menonjol, salah satunya adalah serangan terhadap patroli yang membawa Wakil Komandan Brigade Nahal, yang akhirnya tewas pada 11 Januari.
Kemudian, pada 23 Januari 2025, setelah gencatan senjata diumumkan, Komandan Batalyon Beit Hanoun dari Brigade Al-Qassam, Hussein Fayadh, muncul dalam sebuah video dari lokasi penyergapan. Kemunculannya membantah klaim pendudukan yang sebelumnya telah mengumumkan kematiannya delapan bulan sebelumnya. Dalam video tersebut, ia menegaskan bahwa serangan perlawanan memang telah menewaskan Wakil Komandan Brigade Nahal.
Sebelumnya, perlawanan Palestina juga berhasil menghabisi Komandan Brigade Nahal, Yonatan Steinberg, dalam operasi 7 Oktober di dekat persimpangan Kerem Shalom.
Apa yang terjadi di Beit Hanoun dan Gaza Utara memberikan kita sebuah contoh nyata tentang jalannya perang pemusnahan yang dilakukan oleh “Israel”. Kejadian ini juga membuka ruang untuk sebuah pertanyaan besar: Mengapa tentara “Israel” tidak mampu memenangkan pertempuran di Gaza?
Untuk menjawabnya, ada pertanyaan lain yang lebih mendasar: Bagaimana perlawanan mampu melancarkan serangannya dari wilayah yang telah dihancurkan sepenuhnya, yang terbuka bagi pengawasan udara dan darat, sementara tentara “Israel” mengklaim telah menguasainya secara penuh?
Tujuan yang Melayang di Langit, Sementara Merkava Hancur di Tanah
Sepanjang perang di Gaza, Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu, terus mengumandangkan tujuan-tujuan utamanya: menghancurkan keberadaan militer dan politik Hamas, membebaskan tawanan dengan kekuatan, serta mencegah segala ancaman masa depan dari Gaza terhadap “Israel”.
Namun, para pemimpin militer “Israel” sendiri tidak percaya bahwa tujuan ini realistis. Meski begitu, mereka tetap mengerahkan segala daya upaya untuk mencapainya, tanpa batasan moral atau hukum internasional. Mereka menggunakan kekuatan secara berlebihan terhadap segala sesuatu yang bergerak, tetapi harga yang harus dibayar ternyata jauh lebih besar dari yang diperkirakan, baik oleh tingkat politik maupun militer.
Dalam 15 bulan perang yang diwarnai pemboman terus-menerus, “Israel” gagal mencapai tujuan-tujuannya. Perlawanan Palestina tidak hanya bertahan, tetapi juga berhasil mencetak kemenangan di lapangan. Mereka menghancurkan kendaraan lapis baja, pengangkut pasukan, serta tank Merkava yang selama ini menjadi kebanggaan “Israel”. Selain itu, mereka terus merekrut ribuan pejuang baru, memastikan kelangsungan perlawanan dalam jangka panjang.
Sebuah studi dari Royal United Services Institute—salah satu lembaga riset pertahanan dan keamanan paling bergengsi di Inggris—menyimpulkan bahwa “Israel” tidak akan pernah bisa menang jika tetap bersikeras pada tujuan awalnya. Studi tersebut menyebutkan bahwa “Israel” hanya bisa mencapai keberhasilan jika bersedia mengurangi targetnya agar sejalan dengan kapasitas dan sumber dayanya.
Transformasi Doktrin Militer “Israel”
Untuk memahami posisi tentara “Israel” saat ini, kita harus kembali ke akar doktrin keamanan dan pertahanannya.
David Ben-Gurion, Perdana Menteri pertama sekaligus Menteri Pertahanan “Israel”, merancang doktrin militer mereka dengan tiga prinsip utama:
- Membangun Kekuatan Penangkal – Memastikan bahwa musuh akan berpikir dua kali sebelum menyerang “Israel”.
- Peringatan Dini – Memiliki kemampuan intelijen yang dapat memberikan peringatan dini tentang potensi serangan musuh.
- Penyelesaian Cepat – Jika perang pecah, “Israel” harus mampu membawa pertempuran ke wilayah musuh dan menyelesaikannya secepat mungkin.
Namun, realitas di lapangan telah berubah. Seiring waktu, “Israel” beralih dari perang konvensional melawan negara-negara Arab menuju konflik dengan kelompok perlawanan seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza. Masuknya konsep perang hibrida ke dalam medan tempur memaksa militer “Israel” untuk menyesuaikan doktrin militernya.
Salah satu perubahan besar dalam strategi ini diungkapkan oleh Gadi Eisenkot, yang menjabat sebagai Kepala Operasi selama Perang Lebanon 2006. Ia memperkenalkan konsep “Doktrin Dahiya”, yang kemudian menjadi strategi militer utama dalam perang-perang selanjutnya.
Prinsip utama dari Doktrin Dahiya adalah penggunaan kekuatan yang sangat tidak proporsional untuk menghancurkan total setiap desa atau wilayah yang menjadi basis serangan terhadap “Israel”.
Seorang analis dari Institut Penelitian Keamanan Nasional “Israel”, Kolonel (Purn.) Gabi Siboni, merinci strategi ini lebih lanjut. Menurutnya, target utama bukan hanya kekuatan militer musuh, tetapi juga infrastruktur ekonomi dan pusat kekuatan sipil yang menopang organisasi perlawanan seperti Hizbullah.
Strategi Khusus untuk Menghadapi Hamas
Dalam tiga perang besar melawan Hamas (2008, 2012, dan 2014), tentara “Israel” mengembangkan konsep-konsep tempur baru, seperti:
- “Menghancurkan Kesadaran” (Dahiyat al-Wa’i), sebuah strategi yang dikembangkan oleh mantan Menteri Pertahanan Moshe Ya’alon selama Intifada Al-Aqsa. Strategi ini bertujuan untuk menanamkan ketakutan mendalam di kalangan pejuang perlawanan dan penduduk sipil, dengan cara menghancurkan mereka secara brutal agar mereka yakin bahwa perlawanan hanya akan membawa kehancuran dan penderitaan.
- “Memotong Rumput” (Mowing the Grass), yaitu strategi untuk terus menerus menghancurkan infrastruktur perlawanan dengan serangan berkala, tanpa bermaksud untuk benar-benar mengalahkan Hamas secara total.
- “Protokol Hannibal”, sebuah prosedur militer yang memungkinkan tentara “Israel” untuk menggunakan kekuatan ekstrem, bahkan terhadap tentaranya sendiri, guna mencegah pejuang perlawanan mengambil tawanan.
Namun, meskipun “Israel” telah menerapkan strategi-strategi brutal ini selama bertahun-tahun, realitas di Gaza membuktikan bahwa perlawanan tetap bertahan dan terus berkembang. Gaza bukan hanya bertahan menghadapi kekuatan militer “Israel”, tetapi juga berhasil meruntuhkan mitos superioritas militer mereka di hadapan dunia.
Evolusi Strategi Perang “Israel”
Konsep “memotong rumput” bertumpu pada strategi berulang—setiap kali kemampuan perlawanan meningkat, “Israel” akan melancarkan perang baru untuk melemahkannya. Sementara itu, Protokol Hannibal berfokus pada perintah kepada komandan lapangan untuk segera menggagalkan upaya penculikan tentara “Israel”, bahkan jika itu berarti melukai atau membunuh tentara yang diculik sendiri.
Belakangan, tentara “Israel” mengembangkan doktrin tempurnya dengan mengintegrasikan seluruh elemen perang hibrida, mengadopsi konsep operasi multi-domain yang bertujuan memperkuat sinergi antara pasukan darat, angkatan laut, angkatan udara, dan bahkan unit luar angkasa. Pendekatan ini menyerupai doktrin militer terbaru Amerika Serikat.
Dalam perang di Gaza—yang dianggap sebagai laboratorium nyata—tentara “Israel” berusaha menggabungkan teknologi militer mutakhir, kecerdasan buatan, serta intelijen digital. Hal ini dilakukan untuk mengatasi keterbatasan jumlah pasukan yang harus tersebar di tiga front sekaligus: Gaza, Lebanon, dan Tepi Barat. Di saat yang sama, aliran bantuan militer dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya tak pernah terhenti sepanjang perang.
Selain itu, terdapat kerja sama intelijen antara “Israel”, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, baik dalam bentuk pengintaian udara maupun dukungan operasional untuk menangkal serangan rudal dari Iran, Yaman, Irak, dan Lebanon.
Namun, faktor paling signifikan adalah medan pertempuran di Gaza yang sangat sempit, terisolasi sepenuhnya, dan terus dipantau selama 24 jam oleh drone “Israel” dan Barat.
Tekanan Besar pada Warga Palestina
Dalam perang ini, tentara “Israel” tidak hanya melancarkan serangan militer, tetapi juga menekan warga Palestina secara sistematis. Caranya mencakup:
- Menghancurkan semua infrastruktur vital, termasuk rumah sakit, tempat pengungsian, dan jalan utama.
- Memutus akses listrik, air, bahan bakar, serta internet.
- Menghalangi bantuan kemanusiaan, memberikan perlindungan bagi pencurian bantuan, bahkan membunuh para petugas yang bertugas mengamankannya.
- Menyebarkan propaganda dan disinformasi melalui selebaran atau pengeras suara di drone untuk melemahkan semangat perlawanan.
Dengan diberi kebebasan penuh untuk menggunakan segala cara, tentara “Israel” melakukan kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern—bahkan hingga menghancurkan seluruh kawasan pemukiman. Semua ini dilakukan dengan satu tujuan: mencapai kemenangan mutlak di Gaza.
Namun, mengapa kemenangan yang dijanjikan Netanyahu tak kunjung terwujud?
Gagal dalam Strategi dan Intelijen
Sejak 7 Oktober 2023 hingga gencatan senjata diumumkan, operasi militer “Israel” menunjukkan kegagalan di tiga tingkatan: taktis, operasional, dan strategis. Salah satu kegagalan terbesar adalah ketidakmampuan mereka memenangkan pertempuran secara mutlak.
Serangan mendadak yang dilakukan Brigade Al-Qassam pada 7 Oktober menjadi pukulan strategis terbesar bagi “Israel” dalam setengah abad terakhir. Operasi ini, yang bertepatan dengan peringatan 50 tahun Perang Ramadan 1973, mengejutkan tidak hanya militer “Israel”, tetapi juga lembaga intelijennya serta masyarakatnya sendiri.
Kegagalan intelijen ini sangat fatal karena deteksi dini adalah salah satu pilar utama doktrin pertahanan “Israel”. Mengingat ukuran negara yang kecil, permusuhan dari warga Palestina dan negara-negara tetangga, serta ketergantungan besar pada pasukan cadangan, intelijen memainkan peran kunci dalam keamanan nasional mereka.
Bahkan, Azar Gat—penasihat akademik di Institute for National Security Studies (INSS) “Israel”—menyebut serangan 7 Oktober sebagai kegagalan strategis terbesar dalam sejarah “Israel”.
Perang Informasi dan Kegagalan Intelijen
Hamas berhasil mengecoh intelijen “Israel” dengan strategi disinformasi tingkat tinggi. Mereka memanfaatkan latihan militer berulang dan berbagai sinyal operasional untuk menciptakan ilusi bahwa tidak ada ancaman nyata, melainkan hanya rutinitas kesiapan tempur.
Akibatnya, meskipun intelijen “Israel” menerima ribuan indikasi tentang kemungkinan serangan besar, mereka menganggapnya sebagai kebisingan belaka—sebuah upaya Hamas untuk meningkatkan moral internalnya, bukan persiapan untuk perang yang sebenarnya.
Hasilnya, tentara “Israel” mengalami kebingungan besar dalam memilah informasi yang valid dari yang menyesatkan.
Namun, kegagalan mereka tak berhenti di sana. Setelah perang pecah, mereka juga gagal mencapai tujuan utama yang telah ditetapkan oleh pemimpin politiknya, yakni:
- Menghancurkan kemampuan militer Hamas – Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Hamas masih mampu melancarkan operasi militer, termasuk serangan terhadap konvoi militer, penghancuran tank Merkava, serta penyergapan unit infanteri “Israel”.
- Menghilangkan keberadaan Hamas secara total – Sebaliknya, Hamas terus menunjukkan keberadaannya secara nyata, bahkan masih bisa mengendalikan jalannya pertempuran.
- Mengusir warga Palestina dari Gaza Utara – Upaya ini, yang dikenal dengan “Rencana Jenderal”, bertujuan untuk mengosongkan wilayah Gaza Utara dan mengubahnya menjadi zona militer sebelum dikembalikan ke pemukim Yahudi ekstremis. Namun, perlawanan dan ketahanan warga Palestina menggagalkan rencana ini.
“Naga Buta yang Meniup Api”
Selama ini, “Israel” membanggakan diri sebagai pemimpin dalam dunia intelijen digital. Namun, fakta di lapangan membuktikan sebaliknya—bahwa mereka gagal mendapatkan satu pun informasi akurat tentang serangan yang akan dilakukan oleh ribuan pejuang Brigade Al-Qassam.
Kegagalan intelijen ini bukan hanya insiden sesaat, melainkan cerminan dari kerusakan struktural dalam sistem pertahanan “Israel”. Ini juga menunjukkan bahwa, meskipun mereka memiliki teknologi canggih dan dukungan dari negara-negara Barat, mereka tetap tidak mampu menundukkan Gaza atau memusnahkan perlawanan Palestina.
Dengan kata lain, meskipun “Israel” memiliki naga yang bisa meniup api, naga itu buta dan tak mampu melihat musuh yang berdiri tepat di depannya.
Strategi Perlawanan dan Keterbatasan Intelijen “Israel”
Dengan ketekunan faksi-faksi perlawanan untuk tidak menggunakan teknologi yang terhubung dengan internet, medan persiapan dan peralatan mereka menjadi sulit terdeteksi oleh intelijen digital “Israel”. Hamas pun memperketat perang mereka terhadap para informan “Israel” sehingga rasio infiltrasi intelijen manusia di kalangan pimpinan perlawanan mencapai angka nol. Hal ini memungkinkan kita untuk menggambarkan “Israel” sebagai seekor naga bersayap yang menyemburkan api, namun tidak dapat melihat, sehingga tidak mengetahui apa yang akan dibakarnya secara tepat.
Hamas juga berhasil menggagalkan upaya serius dan berbahaya dari intelijen “Israel” untuk menembus jaringan komunikasi internal mereka. Pada 5 Mei 2018, para insinyur dari Brigade Al-Qassam menjadi syahid saat membongkar sistem pengintaian besar yang ditanam oleh intelijen “Israel” di tengah Jalur Gaza. Sekitar enam bulan kemudian, tepatnya pada 11 November 2018, pejuang Al-Qassam membunuh seorang pemimpin dari unit elit “Sayeret Matkal” dan melukai sebagian besar anggotanya saat mereka berusaha menanam sistem pengintaian pada jaringan komunikasi internal Brigade Al-Qassam.
Operasi ini menunjukkan betapa besar risiko yang diambil “Israel” dengan mengerahkan unit-unit elitnya ke dalam Gaza, yang mencerminkan kebutuhan mendesak mereka akan informasi.
Namun, tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya pemimpin perlawanan Palestina yang menjadi syahid disebabkan oleh keberhasilan intelijen “Israel”. Sebaliknya, banyaknya pemimpin lapangan Brigade Al-Qassam yang dibunuh dalam perang di Gaza lebih berkaitan dengan posisi mereka di lapangan. Di sisi lain, banyak perwira tinggi “Israel” yang juga terbunuh, sementara intelijen “Israel” tidak mampu menemukan lokasi para tahanan “Israel” atau mengetahui tempat-tempat sensitif Hamas, seperti ruang komando dan kontrol yang berada di bawah tanah. Hal ini disebabkan oleh kerahasiaan “Unit Bayangan” yang bertugas melindungi para tahanan, serta isolasi lokasi-lokasi tersebut dari teknologi. Hingga kini, kekurangan informasi intelijen ini masih terlihat dalam momen penyerahan tahanan “Israel”.
Dari Mana “Israel” Menargetkan Serangan?
Hal ini membawa kita pada pertanyaan tentang bank target “Israel” di Jalur Gaza. Apa sebenarnya yang ingin mereka hancurkan?
“Israel” memiliki bank target yang luas, dibangun berdasarkan jutaan data yang dikumpulkan dan diproses selama hampir dua dekade. Selama periode ini, “Israel” mengendalikan semua jalur digital di Jalur Gaza, termasuk spektrum elektromagnetik dan jalur komunikasi. Pandangan umum di kalangan intelijen “Israel” adalah bahwa mereka memiliki kontrol intelijen yang menyeluruh atas wilayah tersebut, siap untuk menghadapi konfrontasi. Namun, saat perang dimulai, mereka dikejutkan oleh kekurangan informasi yang besar.
Akibat bank target yang tidak diperbarui, “Israel” mengandalkan kombinasi beberapa kebijakan dalam doktrin keamanan Angkatan Bersenjata mereka, seperti doktrin Dahiya, Hannibal, dan penggulingan kesadaran, yang semuanya berfokus pada penargetan sipil dan infrastruktur. Ketika informasi intelijen tidak dapat dipastikan, biasanya serangan dilancarkan secara menyeluruh untuk menekan perlawanan dengan menyerang warga sipil dan meningkatkan biaya darah dan kerusakan.
Meskipun “Israel” secara sengaja menargetkan warga sipil Palestina dan infrastruktur di Jalur Gaza untuk meningkatkan biaya perang dan perlawanan—seperti yang telah diungkapkan dalam berbagai investigasi jurnalistik—tentara “Israel” mendapati diri mereka terjebak dalam sebuah genosida nyata yang sangat membebani reputasi “Israel”. Seiring waktu, tentara “Israel” dikenal sebagai simbol kebrutalan dan pembunuhan, meski mereka sebelumnya telah berupaya membangun citra sebagai “tentara paling bermoral di dunia”.
Tantangan dalam Konsep Militer “Israel”
Namun, tentara “Israel” menghadapi tantangan unik, di mana teori keamanan “Israel” dibangun di atas dua prinsip: pertama, trinitas keamanan (peringatan dini, penegasan, dan pencegahan); kedua, bahwa tentara mereka adalah tentara rakyat, yang diwajibkan melalui program wajib militer bagi semua warga “Israel”. “Israel” berupaya menutupi kekurangan dalam jumlah tentara melalui konsep “tentara kecil yang cerdas”.
Namun, strategi perlawanan yang memaksa “Israel” untuk membuka beberapa front di Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon, telah menyebabkan kerugian jiwa yang meluas di seluruh lapisan masyarakat “Israel”. Akibatnya, warga sipil kini siap mengangkat senjata. Realitas menunjukkan bahwa bergantung hanya pada teknologi tidaklah cukup. Pada saat yang sama, ada pergeseran lambat dalam logika keretakan di dalam tentara dan masyarakat, yang tidak berarti bahwa tentara “Israel” berhasil di empat front yang mereka hadapi. Sebaliknya, mereka terus bertempur berkat dukungan militer besar-besaran dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa serta dunia.
Reformasi dalam Struktur Militer “Israel”
Meskipun demikian, tentara “Israel” memutuskan untuk membentuk lima brigade baru yang dikenal sebagai “Brigade Daud” untuk mendukung operasi tempur di berbagai front.
Kendati demikian, tantangan mendasar bagi tentara “Israel” adalah keterlibatan negara dalam upaya militer yang sangat besar. Jumlah tentara reguler mencapai 169.000, sementara jumlah tentara cadangan mencapai 465.000. Selama perang di Gaza dan front-front lainnya, komando tentara memanggil 360.000 tentara cadangan, jumlah yang dirasa tidak cukup untuk melangsungkan perang jangka panjang atau mempertahankan kendali di daerah yang terlibat konflik, bahkan dengan mengandalkan teknologi.
Dominasi Udara vs. Kontrol di Darat
Untuk memastikan kontrol penuh di medan tempur, tentara “Israel” harus mempertahankan keberadaannya di darat. Namun, hal ini terbukti sulit dilakukan di Gaza, terutama di daerah pertempuran yang padat dengan bangunan dan reruntuhan.
Selain itu, ketika tentara cadangan dipanggil ke garis depan, mereka harus meninggalkan pekerjaan dan bisnis mereka di dalam “Israel”. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi berbagai sektor ekonomi, termasuk konstruksi. Data dari lembaga asuransi nasional menunjukkan bahwa dalam enam bulan pertama perang, sebanyak 1.000 usaha yang dimiliki tentara cadangan tutup, dengan setengahnya berada di Tel Aviv, sementara sisanya tersebar di wilayah utara dan Haifa.
Terowongan Hamas, Labirin bagi “Israel”
Sehari setelah gencatan senjata diumumkan, mantan Presiden AS Joe Biden, dalam konferensi persnya, menyebut terowongan Hamas sebagai sesuatu yang “mengesankan” dan mengakui bahwa tidak ada yang benar-benar memahami jaringan tersebut sebelumnya. Ia mengungkapkan bahwa beberapa terowongan mencapai kedalaman hingga 60 meter di bawah tanah. Sementara itu, mantan perwira CIA, Aaron Greenstone, pada pertengahan Januari 2024 menyatakan bahwa “terowongan Hamas adalah mimpi buruk bawah tanah bagi tentara ‘Israel’ dan merupakan inti dari kemampuan bertahan Hamas”. Pada Februari 2024, Ketua Komite Intelijen Senat AS, Mark Warner, mengungkapkan bahwa panjang total terowongan di Gaza diperkirakan mencapai 500 km.
Pada periode yang sama, harian “Israel” Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa tentara “Israel” terkejut dengan luasnya jaringan terowongan yang dibangun perlawanan Palestina di Gaza. Ukuran jaringan ini ternyata 600% lebih besar dari perkiraan para pemimpin militer mereka.
Tentara “Israel” telah mencoba berbagai cara untuk menghadapi terowongan Hamas, termasuk membanjirinya dengan air, meledakkannya, atau menyerangnya dari udara. Namun, karena struktur yang kompleks dan bertingkat, upaya ini tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, perlawanan memanfaatkan obsesi “Israel” untuk menemukan peta terowongan, sehingga banyak tentara mereka yang tewas atau terluka saat harus turun ke lubang-lubang bawah tanah demi mencari tahanan atau gudang senjata. Bagi tentara “Israel”, terowongan ini ibarat labirin tanpa ujung.
Hal ini ditegaskan oleh mantan tahanan “Israel” di tangan Brigade Al-Qassam, Adina Moshe, yang dibebaskan dalam tahap pertama “Perjanjian Badai Al-Aqsa” pada 24 November 2023. Ia mengungkapkan bahwa badan intelijen dalam negeri “Israel” (Shin Bet) memintanya untuk menggambar peta terowongan di Gaza karena mereka sama sekali tidak mengetahuinya. Ia pun menggambarkan terowongan tersebut sebagai jaringan labirin raksasa yang membentang di seluruh wilayah Gaza.
Tak satu pun metode yang digunakan tentara “Israel”, baik serangan udara, pengerahan pasukan darat, upaya membanjiri atau meledakkan terowongan, berhasil menghancurkan jaringan bawah tanah Hamas. Hingga kini, terowongan masih menjadi salah satu misteri terbesar dalam perang Gaza, karena dilengkapi dengan pintu-pintu tersembunyi, ruang-ruang pertahanan, serta jalur-jalur kecil yang memungkinkan para pejuang melancarkan serangan gerilya dari bawah tanah ke permukaan. Hamas terus menggali jalur baru dan menghubungkan titik-titik strategis di daerah pertempuran hingga saat gencatan senjata, guna mengejutkan tentara “Israel” dan mempertahankan jalur logistik mereka.
Taktik Perang yang Terus Berubah
Hamas terus memantau taktik pertempuran tentara “Israel” di Gaza setiap saat, sambil menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan kondisi di setiap wilayah pertempuran. Pendekatan ini menciptakan tantangan besar bagi tentara “Israel” di medan perang.
Meskipun tentara “Israel” telah berupaya beralih dari konsep tentara konvensional ke model tentara hybrid yang mampu menghadapi perang gerilya, mereka tetap menghadapi dilema besar di Gaza. Menurut analis militer “Israel”, Avi Issacharoff, tantangan utama bagi tentara “Israel” adalah “menyerang setiap rumah yang dicurigai memiliki terowongan atau aktivitas musuh, karena hampir di setiap rumah, kedua hal itu bisa ditemukan”.
Selain itu, tentara “Israel” harus berhadapan dengan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 pejuang tanpa struktur komando yang jelas. Ini menciptakan tantangan besar bagi tentara yang terbiasa dengan perang konvensional, karena unit-unit kecil ini mampu bertahan dan beradaptasi bahkan di tengah reruntuhan bangunan.
Salah satu tantangan terbesar bagi tentara “Israel” di medan perang Gaza adalah kemampuan perlawanan Palestina dalam memahami celah operasional dan keterbatasan intelijen tentara “Israel” di lapangan. Ini terjadi meskipun kondisi pertempuran sangat berat, dengan kehancuran yang luas dan pengawasan udara yang terus-menerus.
Di medan pertempuran langsung, kelompok-kelompok pejuang Palestina beroperasi dengan fleksibilitas dan kesabaran, menunggu momen yang tepat untuk menyerang sasaran mereka. Bahkan di wilayah yang telah dinyatakan oleh tentara “Israel” sebagai “aman” untuk kontrol jangka panjang, perlawanan tetap aktif. Tentara “Israel” sendiri mengakui bahwa pertempuran di antara reruntuhan terus dipantau oleh kamera-kamera yang dipasang oleh Brigade Al-Qassam di seluruh Gaza.
Meskipun tentara “Israel” menggunakan kekuatan berlebihan dengan dukungan besar dari Barat, terutama dari Amerika Serikat, serta memberikan kebebasan penuh bagi pasukannya untuk bertindak dengan kebrutalan di Gaza, mereka tetap gagal menuntaskan pertempuran. Bahkan, serangkaian laporan intelijen yang diperbarui oleh badan intelijen Amerika Serikat kepada pemerintahan mantan Presiden Joe Biden menunjukkan bahwa Hamas berhasil merekrut anggota baru dalam jumlah antara 10.000 hingga 15.000 pejuang.
Tidak dapat disangkal bahwa Hamas telah kehilangan banyak pemimpin dan pejuangnya. Namun, yang juga pasti adalah bahwa ribuan pejuang baru telah bergabung—mereka yang lebih berpengalaman dalam menghadapi tentara penjajah melalui pertempuran langsung, lebih membenci “Israel”, serta lebih memahami dinamika internasional terkait perjuangan Palestina. Mereka kini bersiap bersama faksi-faksi perlawanan Palestina untuk melanjutkan perjuangan tanpa henti.
Tentara “Israel” tidak mencapai tujuan apa pun selain kehancuran dan penderitaan yang menimpa warga sipil. Mereka bahkan tidak dapat membebaskan para tawanan mereka kecuali melalui kesepakatan yang disetujui oleh Hamas. Meskipun mereka berhasil membunuh beberapa pemimpin Hamas, sejarah perjuangan Palestina menunjukkan bahwa gerakan ini tidak pernah kehabisan pemimpin yang siap meneruskan perjalanan. Palestina tidak kehilangan wilayah yang mereka kuasai, dan “Israel” pun gagal menjamin perlindungan perbatasannya dari serangan roket perlawanan yang terus berlanjut hingga keputusan gencatan senjata diumumkan.
Sebagaimana pertempuran di Gaza menjadi laboratorium bagi tentara penjajah untuk menguji berbagai teknologi, taktik, dan strategi militer, hal yang sama juga berlaku bagi para pejuang perlawanan, baik yang baru maupun yang lama. Pertempuran ini menjadi pengalaman militer yang unik bagi seluruh faksi perlawanan Palestina, memperkuat kesinambungan generasi yang tak pernah berhenti berjuang.
Sumber Artikel : Aljazeera/ Diterjemahkan oleh Arrahmah.id
*Uday Amin adalah seorang penulis di situs Al Jazeera Net, yang berfokus pada isu-isu politik dan militer di Timur Tengah.
(Samirmusa/arrahmah.id)