WASHINGTON (Arrahmah.id) — Badan Intelijen Pertahanan (DIA) di Amerika Serikat (AS) secara rahasia menilai bahwa pasukan Israel akan kesulitan untuk menang dalam perang dua front melawan Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon. Penilaian ini dilaporkan oleh Washington Post (7/1/2024).
Meskipun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berjanji untuk melakukan “perubahan mendasar” terhadap situasi keamanan di sepanjang perbatasan Lebanon, para pejabat Amerika secara pribadi memperingatkannya agar tidak membuka front kedua.
“Jika mereka melakukan hal tersebut, penilaian rahasia baru dari Badan Intelijen Pertahanan (DIA) menemukan bahwa akan sulit bagi militer Israel (IDF) untuk berhasil karena aset dan sumber daya militernya akan tersebar terlalu sedikit mengingat konflik yang terjadi di Gaza, Israel” demikian laporan Washington Post, mengutip dua pejabat yang tidak disebutkan namanya dan laporan rahasia DIA.
Beberapa pejabat AS juga mengatakan khawatir Netanyahu akan menyerang Hizbullah demi menyelamatkan karier politiknya. Pemimpin Israel ini menghadapi protes luas sebelum dimulainya perang, dan kemudian dikritik karena gagal mencegah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober, yang menyebabkan sekitar 1.200 warga Israel tewas.
“Konflik skala penuh antara Israel dan Lebanon akan melampaui pertumpahan darah dalam perang Israel-Lebanon pada tahun 2006 karena persenjataan Hizbullah yang jauh lebih besar dalam hal persenjataan jarak jauh dan presisi,” tulis surat kabar tersebut, mengutip para pejabat yang juga memperingatkan bahwa kelompok dari Lebanon tersebut dapat melancarkan serangan rudal terhadap pabrik petrokimia dan reaktor nuklir Israel.
Washington juga khawatir bahwa konflik semacam itu dapat melibatkan Iran, pendukung utama Hizbullah, dan pada akhirnya AS, menurut sumber-sumber terkait.
Saat ini IDF telah terlibat dalam baku tembak dengan militan Hizbullah, setelah perang dengan Hamas pada Oktober 2023. Saling serang ini awalnya berskala terbatas, tetapi menjadi panas pasca pembunuhan salah satu pemimpin senior Hamas di Beirut beberapa hari lalu.
Sebagai balasan atas pembunuhan tersebut, rudal Hizbullah menyerang pangkalan intelijen Israel pada Sabtu (6/1).
Di sisi lain, jumlah militer Israel relatif kecil di masa damai dan mengandalkan pasukan cadangan untuk menambah jumlah pasukannya di masa konflik. IDF memanggil sekitar 360.000 tentara cadangan saat perang dengan Hamas dimulai.
Meski begitu seorang pejabat senior Israel mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa jumlah yang dirahasiakan akan segera dibebaskan dari tugas.
Di tengah penarikan pasukan ini, Hizbullah tetap terbuka mengenai perannya dalam konflik tersebut. Pemimpin kelompok itu, Hassan Nasrallah, mengklaim pada November 2024 bahwa pasukannya telah mengikat sekitar sepertiga pasukan Israel di sepanjang perbatasan Israel-Lebanon, mencegah mereka dikerahkan ke Gaza. (hanoum/arrahmah.id)