(Arrahmah.id) – Ini hanyalah penggalan akhir pledoi terdakwa subversi di masa rezim orde baru, yang tersimpan lebih dari 38 tahun lamanya. Tahun 1986, terdakwa membacakan pledoi setebal 300 halaman di depan Sidang Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta.
Saat mendapat informasi tentang kondisi ibundanya di kampung nun jauh di pelosok desa, ia ungkapkan pilu hatinya. Betapapun tegarnya, terdakwa tetap saja tak bisa sembunyikan kesedihan menerpa hatinya mengingat derita orang tuanya. Tak lupa, ia pun mengingatkan ikhwannya yang berada di alam bebas.
“Ketika sebuah berita keluarga disampaikan kepadaku, tentang keadaan ibuku di kampung halaman, beliau kerap kali pingsan setiap kali mendengar orang lain menyebut namaku yang sedang terpenjara; diriku benar-benar terguncang tanpa kendali. Demi Alloh, hatiku bagai diremas-remas karena sedih…” tulisnya di bagian akhir pledoinya.
Pada saat bayangan-bayangan keluarga meliputi pikiranku, aku tenggelam dalam gelombang masa lalu dan mengambil ibrah dari sejarah perjuangan ummat Nabi Muhammad Saw.
Ketika Rasulullah Saw menyaksikan seorang sahabatnya Amar bin Yasir bersama kedua orang tuanya sedang disiksa oleh kaum kafir Quraisy. Rasulullloh tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengatakan kepada mereka:
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya balasan kalian adalah surga”.
Aku pun terkenang pada ucapan bersejarah dari pejuang-pejuang Islam terdahulu. “Demi Alloh, walaupun sekiranya tubuh-tubuh kami dicabik-cabik binatang buas atau disambar burung ganas, tidaklah kami akan ragu sedikitpun bahwa kalian di atas kebatilan dan kami di atas kebenaran !”
Kemudian kurenungi masa kini, tentang nasib negeri yang kelabu. Ah, betapa banyak darah suci yang telah tertumpah, akibat kejamnya tangan-tangan penguasa zalim. Betapa banyak suami-suami dan keluarga-keluarga yang dicerai-beraikan, direnggut dari kasih sayang istri dan anak-anaknya, yang terlantar hidupnya, baik pria, wanita, anak-anak serta mereka yang tidak memiliki kekuatan apapun. Betapa banyak anak-anak yang terbunuh atau terpenjara pada usia muda, yang tidak mengenal dan tidak dikenal oleh seorang manusia pun; siapa keluarga dan siapa pula ayah dan ibu mereka.
Duhai… berapa banyakkah ibu-ibu yang merintih menahan duka nestapa bagi anak-anak mereka yang dizalimi karena keyakinan agamanya ? Mungkinkah kesedihan ini hanya dirasakan oleh ibuku ? Oh, alangkah sengsaranya ia.
Tapi tidak, sama sekali tidak sendirian ! Terdapat begitu banyak ibu-ibu kehilangan suami, dan anak-anak kehilangan ayahnya. Mereka menanggung beban yang menikam-nikam kehidupannya. Anak-anak mereka merintih, tanpa dapat mengungkapkan rindu kasihnya pada ayah tercinta. Setiap kali petaka datang menerpa, terbayang langkah-langkah tentara penguasa mendatangi rumahnya untuk menahan mereka sebagai sandera. Kendati demikian, ibu-ibu ini tak mengenal putus asa.
Dengan iman segalanya tertaklukkan, begitulah tekad kuat di hati setiap mereka. Gambaran ini persis seperti senandung seorang anggota Ikhwanul Muslimin bernama Hasyim ar-Rifa’i. Sebelum kisah hidupnya berakhir di tiang gantungan, dieksekusi mati oleh rezim Gamel Abdul Nasser, Hasyim Rifai sempat menulis jeritan hatinya dengan judul: “Senandung Janda Seorang Syahid Menina-bobokkan Putranya”.
Senandung itu dimulainya begini:
“Tidurlah sayang.
Usah kau temani aku dalam duka dan derita
Ku kan susui engkau dengan air susu dan darah luka
sampai kubimbing engkau meraih kehidupan
Wahai orang yang menatap dunia ini, namun tak melihat ayahnya di sana.”
Keluarga orang-orang terpenjara hidupnya telah diasuh oleh kesabaran dan keikhlasan. Anak-anaknya dibimbing ke jalan surga, dihiasi iman dan ketaatan kepada-Nya. Mereka, tiada pudar imannya karena kesulitan. Namun tak urung mereka pun meratap, menyaksikan bagaimana suatu bangsa telah dihinakan dan membungkam penentangnya dengan seribu siksa ! Apa gerangan kata mereka ?
“Jangan terbawa dusta yang mereka taburkan anakku.
Bebaskan tanah air yang tenggelam ini
Andai ada kebenaran disekitar mereka
Tak nanti mereka kejar ayahmu
Tak nanti mereka jebloskan dalam penjara
Tak nanti mereka siksa orang tak berdosa
Tak nanti mereka hunus pedang menentang kebenaran dengan wajah beringas penuh benci !
Di bawah sorotan cahaya benderang yang segera terbit dan dari sel tahanan sunyi yang mengitariku, dari sanalah, kan kukirim do’a kepada ayah H. Awwas alias Amak Naserah dan ibuku Hj. Wilis nun jauh di sana, di desa Tirpas Korleko, Lombok Timur, NTB. Juga kepada adik-adikku, entah kalian hadir di ruang sidang ini atau tidak, bila kalian sempat membaca pledoiku ini, tolong sampaikan salam sejahtera kepada keluarga di kampung halaman. Bukan maksudku untuk tak datang bersilaturrohmi, melainkan kakiku tak mampu untuk melangkah karena terhalang jeruji penjara.
Duhai bunda! Lama nian nanda tak berjumpa. Adakah kerinduan ini kan terobati segera ? Engkau adalah kekuatan bagiku, sebab keridhaan Allah ada dalam keridhaanmu. Dan kehidupanku pun adalah dari penderitaan ibu. Keadaan bunda, mudah-mudahan seperti ungkapan penyair:
“Kadang seorang wanita tani yang awam, yang tidak pandai bicara dan berdebat, melahirkan seorang muslim yang cerdas, pendukung dan pembela kebenaran”.
Berbahagialah wahai bunda, mudah-mudahan pada suatu hari nanti, dimana setiap jiwa akan diliputi takut dan cemas, ibu tidak dipermalukan di depan Nabi Saw, karena tidak mendidik anak-anaknya dengan agama yang diajarkan beliau.
Apabila rasa kangen datang menerpa, jangan pikirkan penjara yang mengikatku kini. Tetapi bersikaplah seperti nasehat Lukman as. : “Hai anak-anakku! Dirikanlah Sholat, suruhlah (orang) berbuat baik, larang lah perbuatan yang munkar dan sabarlah menghadapi musibah yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perintah Alloh”.
Sesungguhnya hanya Alloh-lah tempat berhibur diri dari musibah, mencari ganti dari yang binasa dan mengejar apa yang hilang. Kepada Alloh-lah hendaknya kita meletakkan kepercayaan dan kepada-Nya jua hendaknya kita tuangkan segala harapan.
Orang yang terkena musibah adalah mereka yang kehilangan pahala di sisi Alloh. Musibah dengan pertolongan Alloh lebih baik dari pada kesenangan dengan pertolongan manusia.
Pesan dan Do’a untuk Ikhwan
Allohumma, Ya Alloh ! Engkau adalah sahabat di dalam perjalanan dan pemimpin di dalam surga. Temanilah kami di dalam perjalanan dan beradalah di tengah-tengah keluarga kami (ketika kami sedang berjalan).
Allohumma, Ya Alloh ! Ampunilah dosa-dosa kami, tindakan-tindakan kami yang melampaui batas dalam (melaksanakan) tugas-tugas kami.
Tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami (untuk mengalahkan) musuh-musuh kami. Hanya kepada-Mulah kami mengabdi dan memohon pertolongan, dan hanya kepada-Mu jualah kami serahkan segala persoalan.
Tak lupa, kutujukan pandanganku kepada ikhwan-ikhwan di alam bebas. Ijinkanlah aku menyampaikan sesuatu kepada anda semua, mudah-mudahan dalam gelombang kehidupan tiada menentu kini, kita bertemu dan berpisah hanya karena Alloh semata.
Aku tak tahu, masih adakah sisa waktu bagi kita untuk bersua kembali di alam bebas, dan bersama-sama melanjutkan perjuangan menegakkan Syariat Islam ini. Namun, apapun yang terjadi kemudian, terimalah pesanku ini, bahwa sesungguhnya ketabahan dan kesabaran adalah obat dalam penderitaan.
Perjuangan selalu meminta pengorbanan, maka acuhkan setiap godaan yang menimpamu. Teruskanlah langkah-langkah fisabilillah ‘tuk menyambut terompet surgawi. Jangan meminta keringanan bagi beban yang kalian tanggung, tapi mohonlah kekuatan kepada Alloh, agar dimampukan memikul amanah perjuangan ini. “Mukmin yang tabah lebih baik dari mukmin yang menyerah”.
Pribadi muslim itu, manakala iman telah merasuk ke dalam jiwanya akan menjadi seorang insan yang paling perkasa menghadapi semua tantangan. Ikatan iman akan mempengaruhi langkah perbuatannya, sehingga ia lebih dominan dari semua bentuk pengawasan, polisi rahasia, intel atau aparat keamanan sekalipun.
Dia takut kepada Alloh, ketika sendirian maupun bersama-sama orang banyak dan dia percaya kepada ganjaran Ilahi. Karena itu, ia tergugah untuk bersikap taat kepada-Nya, mengabdi dan menyerahkan diri. Dia menentang penghinaan, menolak kekacauan dan berusaha menghadapi segala bentuk kesesatan yang terpampang di depannya tanpa terberangus kesucian tujuannya. Dia takut kepada Alloh, sebab itu ia berdiri kokoh laksana batu karang di tengah samudera dalam mengindahkan perintah-Nya.
Dengan sikap yang tahu diri dan dengan gerak rohani yang tinggi, ia berusaha menghadapi segala bentuk kebobrokan untuk dilenyapkan dan dihancurkan dari muka bumi ini. Bujuk dan rayu, siksa dan ancaman takkan mampu menggoyahkan akidahnya atau menghambat perjalanannya. Sebab ia tahu, Alloh selalu bersamanya, yang mengetahui apa yang di sembunyikan atau apa yang dinampakkan.
Sekiranya ia mampu memperdayakan manusia, maka ia tahu pasti bahwa ia tidak akan mampu memperdayakan Alloh. Setiap tindakannya hanya dalam rangka melaksanakan perintah-Nya, karena itu ia merasa puas, tenteram dan ridha, karena ia yakin segala perintah Alloh adalah baik adanya.
Ia tahu, kehidupan di dunia, bukanlah satu-satunya kehidupan, dan apa yang terjadi di dalamnya bukanlah gambaran final dan peristiwa yang tuntas; sebab jika memang demikian ia adalah sia-sia dan tiada gunanya. Ia baru sekedar “muqaddimah” yang pasti diikuti oleh “akibat” dan hari akherat itulah kesempurnaan hidup sejati dan hasil kehidupan yang dilaksanakan di dunia.
Kehidupan dunia ini adalah sekedar tempat dan waktu untuk menjalani “ujian”, sedang kehidupan akherat adalah waktu dan tempat khusus untuk menerima “balasan”,
Itulah pribadi Muslim, yang berhimpun di atas jalan lurus di bawah naungan kalimat tauhid. Mereka terikat oleh satu kesadaran, dalam ikatan akidahnya kepada Alloh. Maka, kendati mereka harus menghadapi berbagai gempuran yang mencoba melenyapkan mereka, mereka tetap tegak tanpa goyah. Bahkan, ia akan tersenyum memandang cemeti siksaan atau kawat-kawat bermuatan listrik yang siap menghanguskan tubuhnya, seraya berkata:
“Demi Alloh, tidaklah hina orang yang berpijak di atas kebenaran, walaupun manusia bersatu dan saling bertolong- tolongan di seluruh negeri untuk memeranginya. Demi Alloh, tidaklah mulia orang yang berpijak di atas kebatilan, walaupun bulan terbit dari dahinya”.
Rahmat Alloh bagi sahabat mulia Abdullah bin Zubair yang telah mengumandangkan ucapan ini di hadapan musuh yang mengepungnya.
Wahai ikhwan, inilah yang dapat kusampaikan kepada anda semua, mudah-mudahan hal ini dapat menambah istiqomah ketika berhadapan dengan musuh agama yang menanti-nanti kesempatan untuk meruntuhkan akidah Tauhid kita…!
Allohumma, Ya Alloh ! Berilah kesabaran kepada kami dan ikhwan-ikhwan yang ditahan, yang disakiti dan disiksa tanpa dosa. Tabahkanlah jiwa kami dan teguhkanlah pendirian kami menghadapi kezaliman manusia-manusia sombong lagi durjana.
Curahkanlah rahmat dan karunia-Mu kepada anak-anak dan sanak keluarga pembela agama Mu. Tolonglah hamba-Mu yang merintih menahan duka nestapa karena mempertahankan keyakinannya. Sinarilah dada dan rumah tangga mereka dengan cahaya iman yang datang dari belas kasih-Mu.
Allohumma, Ya Alloh ! Berilah putusan atas perkara yang kami hadapi ini, sesungguhnya Engkaulah pemutus paling adil dan bijaksana. Hindarkanlah kami dari resiko buruk akibat perbuatan yang telah kami lakuka. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan do’a hamba-Mu yang teraniaya. Allohu Akbar Walillahil hamdu.
(Dikutip dari penggalan akhir pledoi terdakwa subversi di masa rezim Orde Baru, berjudul BADAI KEMARAHAN THAGHUT. Kala itu, Februari 1986, terdakwa berusia 25 tahun, divonis 13 tahun penjara. Menurut jaksa, terdakwa bersalah karena menyebarkan ideologi Negara Islam Indonesia melalui bulletin Ar-Risalah yang dipimpinnya. Masa hukuman kemudian dijalani di penjara Permisan, Nusakambangan, Cilacap, dan bebas pada 8 Februari 1993).
(ameera/arrahmah.id)