Pasar burung Ka Faroshi, terletak di pusat kota Kabul. Pasar ini selalu tampak semarak dengan kicauan aneka jenis burung, kenari, beo hingga budanas (sejenis burung berkicau) semuanya riang beterbangan di dalam kandang. Melodi kicau burung memandu para pembeli untuk masuk lebih dalam menyusuri kios-kios yang berjejer di gang-gang sempit.
Di luar kandang dan keramaian, terselip di antara bangunan yang runtuh, terdapat sebuah restoran yang menyajikan chainaki, sup domba tradisional, selama hampir 70 tahun. Bacha Broot menempati salah satu dari sedikit bangunan asli pasar yang tersisa, yang lain telah lama hancur akibat perang dan invasi Soviet. Di tengah lautan manusia dan puing-puing bangunan, sebenarnya mudah saja untuk melewatkan chaykhana (kedai teh) tradisional yang tersembunyi ini kalau bukan karena kelezatan aroma rebusan yang menggelitik indera penciuman, mengundang para pelanggan menaiki tangga yang beberapa bagiannya sudah mulai jebol.
Aroma minyak dan daging domba menguar di udara, tepat ketika kita melangkah masuk ke dalam restoran. Meja dan kursi kayu yang terkelupas sana sini cukup menjadi saksi bisu keramaian Bacha Broot dalam menyajikan makanan selama bertahun-tahun. Interiornya cukup sederhana mengesankan bahwa tujuan utama restoran ini memang hanya untuk menyajikan chainaki tradisional terbaik bukan mengesankan pelanggan dengan hiasan dindingnya.
Bacha Broot, yang berarti “anak laki-laki berkumis” dalam bahasa Dari, adalah restoran single-dish yang menyajikan chainaki otentik yang dimasak dengan cara tradisional di dalam sebuah chainak (teko tanah liat). Pendiri restoran ini, Mir Mirza, adalah seorang chainaki pazir (seseorang yang berspesialisasi dalam chainaki) yang terkenal dengan kumis lebatnya. Pemilik saat ini adalah putra Mir Mirza, Wahidullah yang tetap melestarikan tradisi chainaki tradisional.
Helen Saberi, sejarawan makanan dan penulis Noshe Djan: Afghan Food and Cookery , mencatat pentingnya chaykhana yang menyajikan teh dan makanan tradisional sederhana. “Chaykhana bisa dengan mudah ditemukan di setiap sudut kota di negeri ini, memudahkan para turis untuk melepas lapar dan dahaga setelah perjalanan panjang dan melelahkan,” tulisnya dalam buku, Teatimes . “Ia juga menjadi tempat nongkrong para pria lokal untuk sekadar bertukar berita dan gosip.”
Wahidullah menyiapkan chainaki tradisionalnya hampir setiap hari, dengan telaten mengikuti resep keluarga untuk mempertahankan reputasi yang dibangun ayahnya selama bertahun-tahun.
Berasal dari provinsi Panjshir di bagian timur laut negara itu, sejarah Bacha Broot adalah tentang seorang pria buta huruf tanpa pekerjaan tetap namun ahli dalam membuat chainaki. Dia memulai restoran ini lebih dari tujuh dekade yang lalu dan langsung terkenal dengan rebusannya yang khas.
Pemilihan bahan-bahan untuk membuat chainaki sangatlah penting, tetapi ketika berbicara tentang pembuatan chainaki otentik, semuanya tergantung pada teko tanah liat. “Banyak orang di Afghanistan sudah mulai menggunakan panci berbeda untuk menyiapkan chainaki. Padahal kalau Anda membuatnya dalam hidangan biasa, itu menjadi shorwa , teko tanah liat itulah yang memberikan rasa dan aroma khas untuk rebusan domba yang kental. ” kata Wahidullah kepada BBC.
Permukaan dapur Bacha Broot ditutupi oleh deretan teko chainaki berwarna-warni, semuanya dalam kondisi mendidih, dijaga tetap panas oleh bara api di bawahnya. Teh, yang disiapkan dalam wadah terpisah, dapat dipesan di samping makanan.
Di Bacha Broot, hari dimulai jauh sebelum matahari terbit. “Proses pemotongan daging dimulai pada pukul 03.00, lalu semua bahan-bahan dimasukkan ke semua teko, sekitar 200 gram daging domba, tomat, bawang bombay, kacang polong dan sejumput campuran rempah rahasia kami,” terangnya, merujuk pada racikan rempah-rempah khusus yang telah menjadi resep keluarga yang dijaga ketat selama lebih dari tujuh dekade. Teko-teko itu lalu dimasukkan ke dalam oven tandoor dimana chainaki direbus secara perlahan. Setelah lima jam berlalu, teko-teko tersebut dikeluarkan dan diletakkan di atas meja yang selalu terjaga panasnya oleh batu bara.
Restoran ini melayani hingga 100 tamu setiap hari di ruangan sempit yang terbagi rapi menjadi dua, ruangan untuk laki-laki dan ruangan untuk perempuan. Ruangan laki-laki dilengkapi sebuah televisi kecil yang menyiarkan berita dan lagu-lagu tradisional Afghanistan. Biasanya, di ruangan ini bergema percakapan riuh yang mencakup segala hal mulai dari kehidupan sehari-hari hingga politik. Sementara bagian wanita berada di ujung restoran, dipisahkan oleh dapur dan purdah. Di area yang lebih tenang dan lebih kosong ini, beberapa wanita duduk lesehan di atas karpet usang sambil bercakap-cakap.
Sejalan dengan syariah yang dibawa oleh Imarah Islam Afghanistan, Bacha Broot sekarang memutar nasyid (musik vokal yang diizinkan) alih-alih berita dan lagu, dan masih melayani wanita, asalkan mereka ditemani oleh mahram.
Chainaki biasanya disajikan dalam sebuah teko panas beserta naan. Cara makannya adalah dengan menyobek potongan naan dan meletakkannya di dasar mangkuk lalu menuangkan chainaki di atasnya. Saberi mencatat bahwa naan, yang menyerap semua rasa rebusan, bisa disobek dengan tangan atau menggunakan sendok.
Menyajikan makanan yang menenangkan ini terkadang menimbulkan risiko pribadi yang besar bagi keluarga Bacha Broot. Wahidullah sendiri membantu ayahnya sejak kecil, bahkan selama perang berlangsung. Ditengah serangan roket, mereka tidak berhenti menyajikan sup. Wahidullah dan ayahnya bekerja bahkan ketika perang berkecamuk di luar pintu mereka.
“Kami terus menyiapkan chainaki bahkan ketika mereka menembakkan roket di luar,” kata Wahidullah. “Pernah kejadian sebuah roket bersarang di belakang restoran, beruntungnya ia tidak meledak. Kami tetap datang keesokan harinya dan melanjutkan pekerjaan.”
Wahidullah bertekad untuk terus menjaga pintunya tetap terbuka. “Saya ingin terus menjual chainaki karena saya ingin warisan ayah saya tetap hidup. Dia bekerja sangat keras sepanjang hidupnya untuk menjaga tempat ini tetap berjalan,” katanya. “Saya suka semua orang yang datang ke restoran saya untuk makan chainaki. Saya ingin terus melayani mereka.”
Sebagai komitmen untuk melayani pelanggan setianya, mereka terus menyajikan chainaki lezat bahkan setelah pengambilalihan Taliban pada 15 Agustus 2021 . “Kami beruntung bisnis kami tetap tidak berubah setelah peristiwa tahun lalu,” kata Faridoon, saudara laki-laki Wahidullah.
Meskipun bertahun-tahun hidup dalam ketidakamanan, Wahidullah tetap optimis bahwa suatu hari akan ada kedamaian dan dia akan dapat menjalankan bisnisnya tanpa khawatir. Dia berharap pada akhirnya akan mewariskan warisan ini kepada anak-anaknya, yang dapat terus menawarkan makanan tradisional Afghanistan ini.
“Perang bertahun-tahun tidak hanya membunuh orang tetapi juga resep tradisional ini. Saat ini, sangat sedikit orang Afghanistan yang masih tahu cara membuat chainaki otentik,” kata Wahidullah. “Saya ingin chainaki menjadi makanan paling nyaman di Afghanistan.” (zarahamala/arrahmah.id)