JAKARTA (Arrahmah.com) – Budayawan Ridwan Saidi menegaskan menolak Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh DPR. Menurutnya RUU tersebut sangat ateistis dan memeras pancasila menjadi trisila.
Untuk diketahui, muatan mengenai trisila dan ekasila dalam RUU HIP ada di Pasal 7 dalam draf RUU tersebut. Pasal 7 menjelaskan mengenai ciri pokok Pancasila. Berikut bunyinya:
Pasal 7
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
RUU HIP juga menyulut kontroversi karena tidak menyertakan TAP MPRS mengenai pembubaran PKI dalam drafnya. Di bagian ‘mengingat’ dalam draf RUU HIP, terdapat pasal UUD Negara RI 1945 dan berbagai Tap MPR. Ada 8 landasan hukum di draf RUU HIP, namun tidak ada Tap MPRS mengenai pembubaran PKI yang masuk draf.
“Jadi sebenarnya bukan soal konsiderans mengingat tidak mencantumkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 saja. Tapi, persoalan yang lebih penting UU ini sangat ateistis sangat anti Tuhan,” katanya kepada Pro 3 RRI ketika diwawancarai pada Kamis (17/6/2020).
“Dia memeras Pancasila menjadi Trisila. Di Trisila saja ketuhanan yang maha esa sudah ilang itu, tinggal nasionalisme, kerakyatan, keadilan kemudian jadi ekasila gotong royong sudah hilang sama sekali, itu yang jadi soal,” paparnya.
Ridwan Saidi menjelaskan, Indonesia dengan ideologi berketuhanan yang maha esa itu sudah ada sejak jaman masehi. Awalnya saat kedatangan bangsa maya, bangsa maya membawa gagasan aufiqih yakni “Aku tau Tuhan, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang itu.”
“Kemudian lebih mengkristal pemahaman kita tentang Tuhan kedatangan queen of sheba pada abad kedua dia berkeliling seluruh seujur Sumatera kemudian Jakarta sampai kepada Cipari, Kuningan, setelah itu enggak ada hababt queen of sheba,” tuturya.
Setelah itu, lanjut Ridwa Saidi, datang lagi bangsa babilonia pada masehi, kemudian pada abad 7 atau 8 bangsa palmyra ada dari Lebanon dan Suriah datang membawa pahaman kristen nesturiat. Kemudian pada saat hampir bersamaan datang bangsa imarat membawa pahaman Islam.
“Jadi ini sudah kuat, sudah 3.000 ribu tahun sekarang mau digusur tahap ketuhanan yang maha esa oleh segelintir orang-orang yang ada di Senayan. Ini yang menjadi masalah, ini negara mau dijadiin negara atheis,” tegasnya.
Selanjutnya, jelas Saidi, mereka ingin mencampuri ibadat orang. Padahal jelas dalam pasal 29 UUD 1945 ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
“Disitu (RUU HIP, red), ada berketuhanan yang berkebudayaan itu apa maksudnya? Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 sudah bahwa negara melindungi, pemeluk agama menjalankan ibadat berdasarkan agama dan kepercayaannya itu. Enggak boleh dia mencampuri,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)