BAKU (Arrahmah.com) – Azerbaijan dan Armenia telah menentang seruan untuk gencatan senjata setelah pertempuran terus memanas dan menjadi yang terburuk dalam beberapa dekade antara keduanya atas wilayah Nagorno-Karabakh, lapor BBC, Kamis (1/10/2020).
AS, Perancis, dan Rusia bersama-sama mengutuk pertempuran di wilayah yang juga disebut Karabakh Atas, di Kaukasus selatan.
Nagorno-Karabakh secara resmi merupakan bagian dari Azerbaijan tetapi diperintah oleh etnis separatis Armenia. Negosiasi bertahun-tahun tidak pernah menghasilkan perjanjian damai.
Azerbaijan dan Armenia berperang pada 1988-1994 untuk memperebutkan wilayah tersebut. Armenia mendukung republik yang dideklarasikan sendiri tetapi tidak pernah secara resmi mengakuinya.
Penembakan besar-besaran terus berlangsung semalaman di kota utama kawasan itu, meskipun kekhawatiran internasional meningkat. Sedikitnya 100 orang dilaporkan tewas dengan ratusan lainnya luka-luka dalam gejolak terakhir.
Dalam pernyataannya, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan Presiden AS Donald Trump menyerukan “penghentian segera permusuhan” yang menyala di wilayah tersebut.
“Kami juga menyerukan kepada para pemimpin Armenia dan Azerbaijan agar segera berkomitmen untuk melanjutkan perundingan tentang substansi penyelesaian dengan itikad baik dan tanpa prasyarat,” katanya.
Ketiganya berbicara sebagai ketua bersama OSCE Minsk Group, yang didirikan pada awal 1990-an untuk menemukan solusi damai bagi konflik Nagorno-Karabakh.
Rusia adalah bagian dari aliansi militer dengan Armenia dan memiliki pangkalan militer di negara tersebut. Namun, ia juga memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Azerbaijan.
Pada saat yang sama, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak upaya tersebut, dengan mengatakan gencatan senjata hanya mungkin jika Armenia mengakhiri “pendudukan” di wilayah Azerbaijan.
Mengingat bahwa AS, Rusia, dan Perancis telah mengabaikan masalah ini selama hampir 30 tahun, tidak dapat diterima bahwa mereka terlibat dalam pencarian gencatan senjata, tambah Erdogan.
Kantor Macron juga menyatakan “keprihatinan” atas laporan bahwa tentara bayaran Suriah telah diangkut ke Azerbaijan oleh perusahaan keamanan Turki.
Seorang pejuang mengatakan kepada BBC Arab awal pekan ini bahwa dia telah direkrut di Suriah utara dan dikirim melalui Turki untuk berperang dalam konflik tersebut. Abdullah – bukan nama sebenarnya – mengatakan dia telah dikirim ke Nagorno-Karabakh “dengan mengenakan seragam Azerbaijan” segera setelah pertempuran itu terjadi.
Namun Turki membantah klaim tersebut, dan penasihat Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak laporan itu sebagai “sama sekali tidak berdasar”. Duta Besar Azerbaijan untuk AS juga membantah laporan keterlibatan Turki.
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia melaporkan bahwa sekitar 900 tentara bayaran Suriah telah diangkut ke Azerbaijan oleh perusahaan keamanan Turki. Tetapi mereka menambahkan bahwa pejuang kelahiran Armenia di Suriah juga telah diangkut ke Armenia untuk bergabung dalam pertempuran tersebut. (Althaf/arrahmah.com)