Oleh: Abdullah al-Mustofa*
(Arrahmah.com) – Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?”. Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Maaidah [5]: 17)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (Al-Maaidah [5]: 72)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (Al-Maaidah [5]: 73)
Ketiga ayat di atas yang terdapat di dalam suroh yang sama – meskipun tanpa menggunakan bantuan kitab-kitab tafsir – dapat mudah dipahami bahwa Allah Ta’ala menyebut mereka yang mengatakan “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam” dan “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga” sebagai orang-orang yang telah kafir.
Sudah jamak diketahui informasi tentang siapakah kaum yang meyakini serta menyatakan kedua hal tersebut.
Kitab Tafsir Al-Jalalayn ketika menafsirkan ketiga ayat di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang telah kafir di dalam ayat-ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Demikian juga dengan para ulama tafsir lainnya. Mereka satu kata.
Ath-Thobari dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat ke-17 tersebut memulai penjelasannya dengan mengatakan bahwa ayat ini merupakan celaan Allah Ta’la kepada kaum Nasrani.
Al-Jazairy di dalam kitab tafsirnya Aysar At-Tafaasir menafsirkan penggalan ayat laqod kafarolladziniina pada ayat ke-17 tersebut dengan menjelaskan faktor penyebab kekafiran kaum Nasrani, yaitu mereka telah mengingkari kebenaran dan mengatakan kebohongan: “Allah itu adalah Al-Masih Putera Maryam”.
Melalui ketiga ayat tersebut di atas Allah Ta’ala sangat menekankan bahwa kaum Nasrani adalah orang-orang yang telah kafir. Penegasan yang sangat kuat dari Allah Ta’la dapat diketahui dari huruf “laqod”. Laqod merupakan gabungan dua harf: la dan qod. La di sini adalah lam at-taukid (huruf lam yang menyatakan penegasan). Menurut kamus Arab modern Al-Mawrid, la mempunyai makna حقا (haqqon) dan حتما(hatman) yang berarti sungguh-sungguh, benar-benar, atau sungguh pasti. Sedangkan qod menurut kamus Arab Mu’jam Al-Wasith adalah harf yang masuk kedalam fi’il maadhi (kata kerja masa lampau) yang menyatakan penegasan. Jadi, laqod lebih kuat penekanannya dari pada la atau qod saja. Shodaqollahul ‘adzim (Maha Benar Allah Yang Maha Agung – dengan segala firman-Nya). Setiap kata, bahkan huruf yang terangkai di dalam semua ayat Al-Qur’an adalah tepat dan benar. Penggunaan laqod dalam ayat ini sangat tepat dan benar karena kekafiran mereka adalah jenis kekafiran yang paling keji sebagaimana dikatakan oleh Al-Jazairy di dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat ke-17 tersebut.
Allah Ta’ala telah mengkafirkan mereka karena mereka mengimani “Three in one” (baca: Trinitas). Trinitas berarti kesatuan dari tiga. Trinitas dalam Kristen adalah Tiga Tuhan yakni Tuhan Allah, Tuhan Yesus dan Tuhan Roh Kudus dan ketiganya adalah satu. Dogma ini berasal dari paham Platonis yang diajarkan oleh Plato (?-347 SM), dan dianut para pemimpin Gereja sejak abad II (Tony lane 1984). (https://kristolog.com/2013/10/07/runtuhnya-teori-trinitas/)
Doktrin Kristen atau Kristiani tentang Tritunggal atau Trinitas (kata Latin yang secara harfiah berarti “tiga serangkai”, dari kata trinus, “rangkap tiga”)] menyatakan bahwa Allah adalah tiga pribadi atau hipostasis yang sehakikat (konsubstansial)—Bapa, Putra (YesusKristus), dan Roh Kudus—sebagai “satu Allah dalam tiga Pribadi Ilahi”. (https://id.wikipedia.org/wiki/Tritunggal)
Dengan demikian jelas bahwa Allah Ta’ala telah momvonis kafir pemeluk agama Nasrani. Vonis kafir dari Allah Ta’ala juga dialamatkan kepada pemeluk agama Yahudi. Dalam ayat di bawah ini dapat jelas diketahui bahwa kaum Yahudi mengatakan bahwa Allah punya anak – yaitu Uzair, salah satu ulama kaum Yahudi di masa lalu -. Melalui ayat ini Allah Ta’ala menyamakan mereka dengan kaum Nasrani – sama-sama meyakini Allah punya anak – . Jadi, kaum Yahudi sama dengan kaum Nasrani, sama-sama disebut telah kafir dan dicela oleh Allah Ta’ala.
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. At-Taubah [9]: 30)
Mendudukkan ayat-ayat vonis kafir secara proposional
Untuk memudahkan pemahaman dan dalam mendudukkan ayat-ayat tersebut secara proposional, sebagai analogi dapat penulis berikan perumpamaan sebagai berikut:
Misalkan ada seorang anggota keluarga dekat kita (contoh: adik) telah sengaja beberapa kali melakukan perbuatan kriminal (contoh: perampokan disertai dengan pembunuhan). Akhirnya dia berhasil diringkus polisi. Setelah menjalani pemeriksaan polisi dan persidangan dengan disertai dengan bukti-bukti, maka hakim memvonisnya bersalah dan dihukum penjara selama beberapa tahun. Kita sebagai orang memiliki akal yang sehat, kelapangan dada dan wawasan yang luas – tentu tidak gelap mata dan gelap hati. Kita mau dan mampu mendudukkan vonis hakim itu secara proposional. Sehingga vonis itu tidak berpengaruh negatif terhadap pikiran dan hati kita. Kita tidak antipati kepada vonis tersebut. Kita tidak benci kepada vonis itu. Tidak benci kepada hakim dan jaksa penuntut. Juga tidak benci kepada adik kita. Kita tetap menunjukkan sikap yang baik kepadanya. Kita tetap sayang kepadanya. Kita secara rutin menjenguknya dengan membawakan makanan, minuman, pakaian atau barang-barang “halal” permintaan dan kesukaaannya hingga usai masa hukumannya.
Demikian juga halnya terhadap vonis kafir tersebut. Setiap individu baik Muslim maupun yang bukan yang mengetahui ayat-ayat vonis tersebut – yang sehat akalnya, lapang dada dan berwawasan luas – pasti tidak gelap mata dan gelap hati, mau dan mampu mendudukkan vonis kafir tersebut secara proposional. Sehingga vonis itu tidak berpengaruh negatif terhadap pikiran dan hatinya. Dia tidak antipati kepada vonis tersebut. Lebih dari itu, dia tetap menunjukkan sikap yang baik kepada sesama pemeluk agama dan antar pemeluk agama.
Kesimpulan dan Harapan
Antara vonis tersebut dan sikap kepada para penganut agama-agama selain Islam adalah dua hal yang terpisah dan berbeda. Di satu sisi, pemberian vonis tersebut beserta hukumannya oleh Allah Ta’ala adalah hak-Nya. Di sisi ini juga ada aspek iman dan aplikasi ayat-ayat tersebut. Kedua aspek ini adalah kewajiban bagi Muslim. Sisi ini tidak bisa dan tidak boleh berpengaruh negatif pada sisi satunya, yaitu sikap umat Islam kepada semua manusia, apapun agamanya.
Adanya vonis kafir tersebut mestilah membuat kita kaum Muslim tidak ragu-ragu atau takut untuk meyakini dan menyatakan bahwa kaum kafir adalah sungguh kafir, serta mengimani dan mengaplikasikan ayat-ayat vonis kafir – dalam segala aspek, terutama dalam hal memilih pemimpin – terhadap siapapun kaum kafir, yang mana kenyataannya memang tidak beriman kepada Allah Ta’ala, dan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alayhi wa sallam.
Jangan jadikan ayat-ayat vonis kafir tersebut sebagai dalil (karena memang bukan dalil) sebagai pembenaran untuk berlaku dzolim kepada kaum beragama di luar agama kita, termasuk kaum Nasrani dan Yahudi. Juga jangan jadikan sebagai penghalang (karena memang bukan penghalang) bagi kita untuk menunjukkan sikap toleransi agama – yang dibenarkan agama kita -, serta sikap-sikap baik lainnya kepada mereka, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh tokoh suri teladan utama dan pertama kita, Nabi Muhammad Shollallahu ‘alayhi wa sallam beserta para shohabah Rodhiyallahu ‘anhum.
Wallahu a’lam.
*Penulis adalah Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Kediri, Jatim
(*/arrahmah.com)