JAKARTA (Arrahmah.com) – Pro-kontra pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan kembali menghangat. Pihak yang disinyalir phobi terhadap Islam mendesak DPR untuk mengesahkannya.
“Desakan pengesahan tidak memungkinkan dilakukan di tengah-tengah para anggota DPR sibuk berkampanye dan akhir masa jabatannya,” ujar pemerhati hukum Islam Hartono Ahmad Jaiz. Ia juga menyatakan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan embrio dari RUU Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan saat ini telah disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Penggagasan KHI telah dilakukan sejak 1985. Saat itu diadakan kompilasi hukum Islam yang rencananya akan dijadikan UU. Tapi hingga 1988 rencana itu belum terwujud. Tiga tahun kemudian, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 memerintahkan Menteri Agama untuk melakukan sosialisasi KHI agar digunakan oleh masyarakat. Karena selama ini para hakim peradilan agama dalam memutuskan suatu perkara menggunakan ijtihad-nya masing-masing.
Mantan menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar pernah mengatakan, KHI yang mengatur hukum materiil dan hukum keluarga Islam akan ditingkatkan statusnya dari Instruksi Presiden (Inpres) menjadi Undang-Undang (UU).
Konstelasi politik yang kian menghangat, membuat RUU ini membutuhkan pengawalan ketat. Pengawalan tersebut haruslah dilakukan agar RUU yang disahkan nantinya tidak menjadi UU yang menyalahi al Qur’an yang telah qath’i (pasti). “DPR jangan hanya dekat dengan partisannya atau sibuk kampanye. Sekarang saja tanpa kita sadar RUU ini sudah disetujui oleh Presiden,” lanjut Hartono.
Hartono menerangkan perkataan Dirjen Bimas Islam Nasarudin Umar. Menurutnya, pengaturan warisan dalam perkawinan Islam tidak ditetapkan 2:1 untuk ahli waris laki-laki dan perempuan. Putusan hakim dapat berbeda, tergantung dari situasi dan kondisi warisan dan ahli waris. “Sudah ada satu putusan di Maros, Sulawesi Selatan, yang memberikan warisan 1:1 untuk ahli waris laki-laki dan perempuan. Putusan itu juga sudah banyak diadopsi hakim-hakim di daerah lain dalam menentukan keputusan atas kasus yang kurang lebih sama,” ujarnya.
Hartono melanjutkan, hal tersebut kan sudah qath’i. “Pendapat yang sembarangan dan menyalahi hukum qath’i adalah menyalahi nash,” tegasnya.
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Khuzaemah Y Tanggo yang termasuk dewan pakar mengatakan, hukum materiil ini lebih lengkap, namun pembahasannya baru pada Buku I mengenai dasar-dasar perkawinan. “Belum membahas mengenai Buku II mengenai hukum waris,” jelasnya kepada Sabili.
Agaknya alasan Hartono pun amat mendasar. Pengawalan ketat harus tetap dilakukan. Mengingat banyaknya pasal-pasal yang kontroversi. Seperti adanya pasal mengenai perkawinan bawah tangan atau nikah siri yang diusulkan dikenai sanksi tiga bulan penjara atau denda Rp 5 juta. Selain itu, ada pula pasal ancaman pidana bagi yang melakukan poligami.
Tentang nikah siri, di dalam RUU ini diatur, siapapun yang menikahkan atau menikah tanpa dicatatkan akan dikenai sanksi pidana tiga bulan penjara dan denda Rp 5 juta. Penghulu yang menikahkan perkawinan inipun mendapat sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.
Mengenai ancaman pidana tersebut Khuzaemah menengahi bahwa hal tersebut untuk melindungi perempuan. “Adanya pencatatan pernikahan dibuktikan dengan akta nikah akan melindungi perempuan apabila di kemudian hari terjadi gugatan terhadap pernikahan yang dilakukannya,” ujarnya.
Ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) Departemen Agama Siti Musdah Mulia membuat Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) atau KHI tandingan. Misal CLD-KHI mengajukan pasal yang menginginkan laki-laki juga mempunyai masa iddah.
Baik Khuzaemah maupun Hartono sepakat, kesesatan yang diusung oleh kaum liberalis ditengarai muatan asing bermain dibelakangnya. “Muatan asing pastilah bermain dibelakangnya” ujar Hartono.
Counter Legal Draft (CLD) dan mencatut nama Departemen Agama adalah, perbuatan yang tidak etis. Adanya dikotomi kesadaran hukum merupakan tujuan dari semua ini. Supaya umat Islam selalu lemah dan tidak mempunyai “taring” dalam mempersatukan persepsi tentang syari’ah. Notabene apabila umat Islam lemah, dengan sendirinya ummat Islam di Indonesia akan tetap lemah dan tidak berdaya menghadapi era globalisasi yang mau tidak mau harus dihadapi. (sabili)