(Arrahmah.id) – Para dokter di Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan bahwa meskipun bulan suci Ramadhan adalah waktu untuk refleksi spiritual dan hubungan dengan komunitas bagi umat Muslim di seluruh dunia, perubahan rutinitas juga dapat meningkatkan tingkat stres karena para ahli kesehatan menyarankan mekanisme penanggulangan untuk menjaga kesehatan mental.
Ramadhan ditandai dengan berpuasa dari fajar hingga senja, yang mengharuskan kita untuk tidak makan dan minum. Tindakan menahan diri ini dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual seperti kesabaran, pengendalian diri dan empati terhadap mereka yang kurang beruntung.
“Jika kita ingin mengeksplorasi manfaat psikologis dari puasa, sangat penting untuk mempelajari konsep kepuasan instan,” jelas Dr Othman Elsayed, seorang psikiater di Pusat Bedah Burjeel di Abu Dhabi, seperti dilansir Al Arabiya (15/3/2024).
“Puasa mengharuskan kita untuk menunda kepuasan keduanya, keinginan jiwa dan kebutuhan tubuh, dari fajar hingga matahari terbenam. Selama berpuasa, kita menahan diri untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman, serta tidak langsung menuruti keinginan tertentu. Tindakan menahan diri ini melatih jiwa dalam apa yang disebut para psikolog sebagai ‘kepuasan yang tertunda’, yang merupakan kemampuan untuk menunda pemenuhan keinginan -suatu sifat yang membedakan kepribadian yang matang dari yang belum matang. Melalui puasa, kita memupuk kesabaran dan menumbuhkan kedewasaan pribadi,” jelas Elsayed.
Selain kesabaran, puasa juga bertujuan untuk mengajarkan pengendalian amarah dan praktik memaafkan. “Nabi Muhammad [SAW] menginstruksikan kita untuk menanggapi ketidaktahuan atau kritik dengan kata-kata ini: ‘Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa,'” kata Elsayed. “Panduan ini berfungsi untuk mendorong kesabaran dan pengendalian diri, menjauhkan kita dari terlibat dalam adu argumen atau perselisihan yang memanas.”
Mengatasi emosi yang meningkat
Meskipun puasa menawarkan manfaat spiritual, beberapa orang mungkin mendapati diri mereka menjadi mudah tersinggung atau rentan terhadap perubahan suasana hati selama bulan Ramadhan, dokter memperingatkan. Namun, reaksi seperti itu sering kali diperparah oleh faktor-faktor lain yang tidak terkait dengan puasa itu sendiri.
“Banyak orang yang berpuasa adalah perokok dan mungkin mengalami gejala-gejala putus zat nikotin selama jam-jam puasa, termasuk kegelisahan, sakit kepala, kurang konsentrasi, gelisah, dan tidur yang terganggu,” ujar Elsayed.
“Manifestasi ini tidak semata-mata disebabkan oleh puasa, tetapi mengindikasikan ketergantungan pada tembakau. Demikian pula, mereka yang kecanduan kafein -yang ditemukan dalam kopi, teh, dan cola- dapat mengalami kelesuan, lekas marah, dan perubahan suasana hati setelah penghentian konsumsi kafein secara tiba-tiba selama jam-jam puasa,” kata Elsayed lebih lanjut.
Dengan mengurangi asupan tembakau, kafein, atau zat adiktif lainnya secara bertahap, individu dapat mengurangi gejala putus zat dan menghindari stres yang meningkat.
Menyesuaikan diri dengan gangguan dalam rutinitas
Selain berpuasa, Ramadhan juga melibatkan perubahan pola tidur, pola makan, dan tingkat aktivitas yang dapat memengaruhi kesehatan mental.
“Siklus tidur-bangun Anda yang biasa mungkin perlu disesuaikan; kekhawatiran akan tidur yang cukup adalah hal yang normal, namun bisa jadi kontraproduktif,” kata Dr. Bisi Laniyan, seorang psikolog klinis yang berbasis di Dubai. “Bersabarlah dengan diri Anda sendiri saat Anda menyesuaikan diri. Mendengarkan tubuh Anda dan beristirahat ketika dibutuhkan dapat menjaga kesehatan mental Anda dan meningkatkan keterlibatan Anda dalam praktik spiritual,” kata Laniyan.
Makanan berbuka puasa setelah berpuasa berhari-hari juga dapat menyebabkan makan berlebihan. “Makan dengan perlahan dan penuh kesadaran dapat membantu Anda lebih sadar kapan Anda kenyang, mencegah makan berlebihan dan memastikan Anda mendapatkan makanan yang Anda butuhkan,” kata Laniyan.
Menemukan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas fisik bisa menjadi rintangan lain. “Ini bukan tentang olahraga yang intens dan lebih kepada menjaga tubuh Anda tetap bergerak,” kata Laniyan. “Aktivitas sederhana seperti berjalan kaki setelah berbuka puasa bisa sangat membantu, terutama untuk menghindari kelesuan setelah makan.”
Kekuatan komunitas
Ramadhan juga sangat menekankan pada komunitas dan amal. “Salah satu aspek indah dari bulan suci ini adalah penekanannya pada komunitas dan rasa persatuan serta kebersamaan, yang dicapai melalui doa bersama, makanan, dan amal,” jelas Laniyan.
Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan dalam komunitas keagamaan dan dukungan sosial dari keluarga dan teman dapat memberikan manfaat yang besar bagi kesehatan mental. Rasa memiliki dan kepuasan spiritual dari ibadah dan tradisi komunitas dapat membantu mengurangi stres.
Refleksi dan latihan spiritual
Ramadhan menawarkan kesempatan untuk mendekatkan diri secara spiritual melalui ibadah dan refleksi harian.
“Ramadhan memberi kita kesempatan unik untuk melakukan refleksi diri. Dengan meluangkan waktu setiap hari untuk merenung, Anda dapat menjadi lebih sadar akan berkat-berkat dalam hidup Anda,” saran Laniyan.
Faktanya, penelitian mengungkapkan bahwa mereka yang sangat terlibat dalam kegiatan keagamaan seperti doa dan meditasi cenderung memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih rendah. Praktik spiritual Ramadhan tidak hanya memberikan manfaat religius, tetapi juga berdampak positif pada kesehatan mental secara keseluruhan.
“Ketika Anda berpuasa selama bulan suci ini, ingatlah bahwa Anda sedang merawat kesehatan spiritual Anda, memberi makan tubuh, kesehatan mental, pikiran, jiwa, dan hubungan Anda,” kata Laniyan. “Dengan memperhatikan kebutuhan Anda dan menggunakan strategi mengatasi masalah yang positif, Anda dapat menemukan kedamaian dan kepuasan batin di bulan Ramadan ini.” (haninmazaya/arrahmah.id)