Eksekusi terhadap Tibo cs menyebabkan sebagian warga Atambua, ibukota Kabupaten Belu (NTT), mengamuk. Sebelum matahari terbit, mereka telah berkerumun di depan Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Belu.
Setelah itu mereka merusak kantor tersebut. Bahkan rumah Kepala Kejari kemudian dibakar massa. Mobil Bupati Belu yang berada di Keuskupan Atambua dilempari batu. Massa kemudian bergerak ke LP Atambua dan membobol penjara itu, menyebabkan 205 narapidana kabur.
Tak cukup sampai di situ, Pasar Atambua di pusat kota ikut dibakar massa. Aktivitas kota lumpuh total. Transportasi tak berjalan. Toko-toko dan perkantoran tutup. Sekolah terpaksa libur.
Para pemuka Katholik berusaha menenangkan warga dan meminta agar mereka mau memahami keputusan pengadilan. Menjelang sore, aksi brutal warga reda. Namun massa masih terkonsentrasi di sejumlah tempat.
Kemarahan serupa juga terjadi di kota Maumere, Kabupaten Sikka (Flores , NTT). Dilaporkan, sejumlah massa melempari kantor Kejari Sikka serta membakar gedung Pengadilan Negeri Sikka dan RM Surya Indah, dalam rangka menuntut jenazah Dominggus da Silva dikubur di kampung halamannya di kabupaten tersebut.
Di Kafemanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT) massa diberitakan memblokir sejumlah jalan. Sementara itu di Tentena, Kabupaten Poso (Sulteng) massa dilaporkan membut aksi di jalanan dengan membakar ban-ban serta menduduki kantor Polsek Pamona Utara.
Sementara itu semalam kuburan Dominggus da Silva dibongkar oleh kerabatnya. Jenazah kemudian diambil dan dipindahkan ke gereja Santa Maria Palu untuk disemayamkan. Mereka merencanakan jenazah akan dibawa ke kampung halaman Dominggus di Kabupaten Sikka (NTT), tetapi belum mendapat persetujuan dari kejaksaan negeri setempat.
Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengatakan eksekusi terhadap Tibo cs ini jangan dikaitkan dengan persoalan suku dan agama. “Ini murni proses hukum,” katanya kepada wartawan.
Din juga meminta agar kasus ini tidak menjadi pembenaran atas keinginan sebagian orang untuk menghapus hukuman mati di Indonesia. ”Saya sangat setuju dengan hukuman mati. Sebab selain sesuai dengan hukum Islam, hukuman mati memberi efek jera kepada pelaku kejahatan berat,” katanya.
Sementara Ketua Forum Silaturahim dan Perjuangan Ummat Islam (FSPUI) Poso, KH Adnan Arsyal, menyatakan eksekusi Tibo cs ini salah satu langkah penegakan supremasi hukum di Indonesia. ”Kami, warga Muslim di Poso, sangat bersyukur hukum ditegakkan,” katanya kepada Hidayatullah saat dihubungi via telepon.
Adnan berharap, upaya penegakan hukum tersebut jangan hanya berhenti sampai di situ. Masih banyak hal lain yang perlu dilakukan. Misalnya, mengusut 16 nama orang Protestan yang disebut Tibo sebagai aktor intelektual kasus kerusuhan Poso. Saat ini ke-16 orang tersebut masih bebas berkeliaran di Poso dan Palu.
Tibo cs dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palu pada 4 April 2001. Mereka dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus pembakaran rumah-rumah penduduk, penganiayaan serta pembunuhan berencana di tiga desa di Poso pada tahun 2000. Akibat kejadian itu ratusan warga Muslim kehilangan nyawa dengan cara yang sangat mengenaskan.
Sumber: Hidayatullah.com