SOLO (Arrahmah.com) – Setelah melalui Ramadhan selama satu bulan, dan mendapati Syawal ‘dengan penuh kemenangan dan kegembiraan’, tampaknya tidak membuat praktek kesyirikan luntur dari tradisi masyarakat Indonesia.
Di bulan Syawal ini, ribuan warga mengikuti puncak Grebeg Syawal di Solo, Jawa Tengah, Ahad (4/9/2011) siang di Taman Satwa Taru Jurug. Ritual tersebut dilakukan dalam rangka ‘mencari’ keselamatan dan keberkahan dengan prosesi menyebar gunungan hasil bumi dan ketupat dari atas panggung.
Ritual Grebeg diawali dengan kirab gunungan hasil bumi dan ketupat dari pintu masuk Taman Satwa Taru Jurug menuju Segaran atau Kolam Ageng di tengah-tengah kebun binatang. Arak-arakan melibatkan pasukan prajurit keraton.
Sebelum diperebutkan, Pengageng Keraton Solo mengantarkan ‘doa’ keselamatan dan keberkahan dilanjutkan dengan prosesi menyebar gunungan hasil bumi dan ketupat dari atas panggung. Panitia sengaja membuat panggung lebih tinggi dari biasanya agar warga tidak berdesakan dan merangsek maju.
Suasana menjadi gaduh ketika panita mulai melemparkan ketupat ke arah pengunjung. Parahnya, masyarakat rela berebut berdesak-desakkan karena yakin jika mendapat ketupat berarti akan dapat berkah.
Prosesi lalu dilanjutkan dengan pagelaran fragmen Joko Tingkir melibatkan belasan penari dengan iringan musik gamelan. Fragmen menceritakan perjuangan pemuda di Kerajaan Demak yang dengan keberanian dan kepintarannya berhasil mengalahkan unsur jahat atau si dadung awuk dan memperoleh kesaktiannya. Ritual diakhiri dengan prosesi Larung Ageng Jaka Tingkir dengan menaiki perahu di Danau Segaran.
Hal tersebut tidak hanya terjadi Solo, di beberapa daerah lain juga menggelar ritual syirik serupa. Salah satunya di Banyuwangi. Warga Desa Adat Using Kemiren, Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (2/9) menggelar tradisi ritual barong ider bumi.
Sungguh konyol, pasalnya ritual tersebut dipercaya sebagai ritual bersih desa dari marabahaya dan penyakit. Ider bumi kali ini menampilkan atraksi tarian barong yang dimainkan orang tua, remaja, dan anak-anak diiringi musik angklung dan patrol.
Di sepanjang jalan yang dilalui, pawang desa menaburkan beras kuning berisi uang recehan sebanyak 99.900. Anak kecil pun saling berebut untuk mendapatkan uang receh. Sejumlah sesepuh adat dan tokoh agama membawa hasil ladang. Setelah menempuh perjalanan jauh, anak-anak dan orang dewasa saling berebut pisang yang disiapkan di pinggir jalan.
Usai pawai, warga menggelar slametan dan makan tumpeng bersama. Ritual tradisi barong ider bumi ini bertujuan untuk keselamatan warga dari ancaman marabahaya atau wabah penyakit pageblug. Konyolnya lagi, meskipun ‘berstatus sebagai Muslim melafadzkan Syahadat setiap harinya’, warga masih meyakini jika ritual tersebut tidak dilaksanakan akan terjadi sesuatu yang membahayakan kesalamatan warga.
Sungguh bobrok aqidah masyarakat Muslim di bangsa ini. Jumlah boleh banyak, tapi kualitas keimanan masyarakat ‘Muslim’ di Indonesia tak jauh beda dengan para penganut kepercayaan pagan. Yang meyakini bahwa keselamatan dan keberkahan bisa didatangkan dengan ritual-ritual ‘peninggalan nenek moyang penyembah berhala’. Wallohua’lam. (lptn/arrahmah.com)