DAMASKUS (Arrahmah.com) – Bahasa dan statistik yang digunakan untuk memenangkan presiden Bashar Al-Assad dalam pemilu presiden Suriah mengungkap tujuan sejati dari rezimnya. Hasil pemilu yang memberi kemenangan kepada Assad sangat tidak dapat dipercaya. Misalnya, bahwa 11 juta warga Suriah akan berpartisipasi dalam jajak pendapat di tengah perang yang secara keseluruhan dikobarkan oleh presiden sendiri terhadap rakyatnya selama tiga tahun.
Assad berhasil memenangkan pemilu karena ia telah menyiapkan, memproduksi, mensutradarai dan memerankan sendiri sebuah lakon komedi buruk ini. Kemenangan ini disponsori oleh persekutuannya dengan Iran dan Rusia. Tetapi meskipun ia memenangkan pemilu, Assad tidak akan pernah mendapatkan legitimasi apapun. Dia telah kehilangan legitimasi itu setelah ia mengumumkan berperang terhadap para aktivis Revolusi Suriah dan struktur sosial mereka.
Hasil pemilu Suriah penuh dengan rekayasa. Bahkan, pemilu itu adalah lelucon yang berlangsung dari awal sampai akhir. Selain itu, statistik resmi yang disajikan sebagai hasil resmi pemilu membuktikan fakta yang diada-adakan. Hasil pemilu itu telah diketahui bahkan sebelum pemilu itu digelar.
Jika kita melihat pada statistik sederhana yang dinyatakan oleh kepala parlemen, Fouad Al–Laham, kita menemukan sebuah kepalsuan yang sangat nyata. Dia telah memasukkan orang-orang yang diduga akan memilih Assad dalam prediksi hasil pemilu sebelum hasil resmi pemilu itu diumumkan.
Al–Laham mengklaim bahwa ada 11.634.412 pemilih, baik di dalam dan di luar Suriah, yang berpartisipasi dalam pemungutan suara dari total 15.845.575 pemilih yang memenuhi syarat untuk berpartisipasi. Ini berarti bahwa Assad memenangkan 88,7 persen suara dari 73,42 persen total rakyat Suriah yang berpartisipasi dalam pemilu, menurut Al–Laham.
Sebuah pemeriksaan lebih mendalam dari angka-angka ini menunjukkan bahwa Assad memenangkan pemilu dengan mayoritas 88,7 persen dari 10.319.723 suara sah. Namun, berdasarkan klaim Al–Laham itu, Assad memenangkan suara oleh mayoritas yang melebihi 92 persen berdasarkan suara sah dan 88,7 berdasarkan gabungan suara sah dan tidak sah.
Dugaan rekayasa pemilu itu semakin terungkap oleh kejanggalan statistik yang diumumkan oleh rezim dan yang diterbitkan oleh kantor berita resmi, SANA, yang mengklaim, “Jumlah warga Suriah yang cukup umur dan berhak untuk memilih seperti yang diuraikan dalam konstitusi adalah 15.845.575 dalam wilayah Republik Arab Suriah dan luar negeri. Angka itu sekitar 70 persen dari total penduduk 22,5 juta, berdasarkan statistik 2012.”
Namun, pada tahun 2011, Biro Pusat Statistik menerbitkan data yang mengelompokkan penduduk menurut umur; sekitar 37 persen dari penduduk Suriah berusia 15 tahun ke bawah. Jika ditambahkan jumlah ini ke jumlah warga yang diklaim oleh rezim berhak untuk memilih, maka akan ditemukan ahwa pemerintah telah menaikkan jumlah penduduk Suriah sekitar 40 persen. Ini berarti bahwa menurut angka yang diterbitkan oleh rezim, populasi Suriah melebihi 22,5 juta. Selain itu, wilayah-wilayah Suriah yang masih dikuasai oleh rezim tidak sampai berjumlah 11 juta warga. Angka-angka ini tidak memperhitungkan jutaan warga Suriah yang mengungsi akibat perang.
Organisasi hak asasi manusia melaporkan bahwa lebih dari 6,5 juta warga Suriah telah mengungsi dari rumah mereka dan daerah asal mereka, dan sekitar 3,5 juta mengungsi ke luar negeri. Sekitar 40 persen dari populasi Suriah tinggal di daerah yang berada di luar kendali rezim dan dengan demikian mereka tidak akan memilih rezim tersebut atau berpartisipasi dalam pemilu dengan cara apapun. Ini berarti bahwa setidaknya 8 juta warga Suriah tidak berpartisipasi dalam pemilihan presiden Assad, yang banyak aktivis di daerah tersebut telah menjuluki pemilu itu sebagai “pemilihan berdarah”.
Rezim Assad telah memaksa pegawai negeri dan pejabat, serta mahasiswa, untuk hadir pada saat pemungutan suara, untuk memberi kesan bahwa banyak warga Suriah yang berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, rezim telah mencuri kartu ID dan menggunakannya atas nama pemilik yang sah dari kartu identitas itu. Rezim juga memaksa para para tawanan perang di wilayah yang berada di bawah kendali rezim untuk ikut dalam pemungutan suara. Pos pemeriksaan di perbatasan Suriah–Lebanon telah berubah menjadi bilik suara dan siapa saja yang melintas dipaksa untuk memilih sebelum diizinkan untuk lewat.
Di antara kejanggalan pemilu yang lain adalah bahwa komite pemilihan umum Suriah diduga menempatkan 64 TPS di lingkungan Mezze 86, daerah dengan populasi tidak lebih dari lima ribu orang. Meskipun warga dilingkungan itu mendukung penuh rezim, akan tetapi mereka sempat terkejut menemukan TPS dengan jumlah yang begitu banyak.
Bahkan yang lebih tidak masuk akal adalah bahwa suara ekspatriat dipantau oleh perwakilan dan pejabat dari Rusia dan Iran di negara-negara seperti Uganda, Zimbabwe, Bolivia, Venezuela, Filipina dan Tajikistan.
Tidak mengherankan bahwa delegasi pemantau dari Iran dipimpin oleh Wakil Menteri Luar Negeri untuk Dunia Arab dan Afrika, Hussein Amir Abdul, yang terkenal karena telah sangat memusuhi Revolusi Hijau yang ditindas oleh pemerintah Iran. Demikian pula, pemantau Rusia yang dipimpin oleh Sergei Gavrilov, Ketua Dewan Keamanan Duma yang dipuji oleh para pendukung Assad di pemilu, tetapi tentu saja bukan dalam hal integritas atau kenetralannya.
Jika tujuan rezim dalam menggelar pemilu itu adalah untuk mengembalikan rasa kehilangan atas legitimasi mereka, maka harus dikatakan bahwa mereka telah gagal untuk melakukannya. Alasan utama penyataan ini adalah bahwa seluruh oposisi Suriah telah memboikot pemungutan suara dan menolak untuk mencalonkan atau mengizinkan calon oposisi untuk ikut, setidaknya karena hasil pemilu itu telah ditentukan. Lebih penting lagi, semua oposisi dan pihak revolusioner di dalam negeri sepakat untuk bersatu, meskipun mereka memiliki agenda politik yang berbeda-beda, dalam upaya bulat untuk menggulingkan rezim tersebut.
Mungkin Bashar Al–Assad berbangga hati dengan pemilihan ini dan fakta bahwa ia akan terus menjadi presiden negera itu yang dibangun di atas tengkorak dan tulang belulang rakyatnya sendiri. Dia bangga untuk melanjutkan warisan ayahnya, Hafez Al–Assad, yang menghancurkan kota Hama dan menindas Aleppo. Kekerasan tak terlukiskan yang berlangsung di bawah arahan paman presiden, Rifaat Al–Assad, menyebabkan banyak pembantaian luas yang terutama ditujukan kepada para tahanan politik.
Sama seperti putranya, Hafez Al-Assad mengaku memenangkan pemilihan presiden, berikut pembunuhan massalnya, dengan klaim 99,9-100 persen mayoritas. Namun, pada akhirnya, kesetiaan rakyat yang diklaim akan segera dia dapatkan ternyata berubah menjadi mimpi buruk yang menakutkan. Konstitusi berubah dalam hitungan lima menit, sehingga republik demokratis Suriah bisa diubah menjadi sebuah republik turun-temurun, di mana Bashar Al–Assad bisa mewarisi kekuasaan ayahnya dalam hal kediktatoran. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern Suriah.
Tidak ada orang waras pun di dunia ini yang tidak akan mengutuk keberanian yang tak tertandingi yang dilakonkan oleh rezim ini, yang bahkan dengan tidak malu-malu mencoba untuk mengubah pemilihan berdarah ini menjadi sebuah “perayaan nasional” yang sebenarnya tidak lebih dari hasil upaya Iran dan Rusia untuk memasukkan Suriah ke dalam lingkup pengaruh mereka.
Ini adalah pemilu palsu yang berusaha untuk mendapatkan kembali legitimasi rezim yang telah hilang sejak hari pertama revolusi. Pdahal dengan pemilu ini, rezim malah akan kehilangan legitimasi internasional. Pemilu yang dipaksakan tersebut telah berubah menjadi seorang pembunuh sistematik karena ini adalah satu-satunya alat yang dimiliki untuk membuktikan legitimasinya atau menjustifikasi eksistensinya.
Dalam kemenangannya dalam pemilu presiden, Bashar Al–Assad sesumbar bahwa ia telah memenangkan perang melawan rakyat Suriah. Dia bahkan melangkah jauh dengan membuat slogan baru untuk digunakan dalam menghadapi para revolusioner Suriah: “. Al–Assad atau tak seorang pun“
Rezim bahkan muncul dengan slogan baru yang semakin menunjukkan kebiadabannya: “Kami akan menghancurkan negara ini jika itu berarti melestarikan Suriah milik Assad“.
Dalam perjuangannya untuk berpegang teguh pada kekuasaan, Assad tidak memiliki keraguan untuk melanjutkan warisan kekerasan ayahnya, yang menghancurkan rakyat Suriah, menghacurkan sejarah, budaya dan mata pencaharian mereka, hingga Suriah dapat tetap sebagai milik Assad. Ini bukan hal yang baru. Ayah Assad tidak ragu untuk membunuh salah satu dari teman-temannya atau rekannya dalam pemerintahan dan militer jika itu berarti bahwa ia akan mempertahankan otoritas yang ia peroleh ketika ia naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta militer pada 16 November 1970. Kenyataanya, pemilu terbaru tidak membawa perubahan apa-apa bagi rakyat Suriah.
Rezim akan terus berlanjut meskipun segala sesuatu yang terjadi di Suriah dan terlepas dari apapun yang menjadi keinginan mayoritas rakyat Suriah. Rezim ingin memperkuat pesannya bahwa ia akan tetap berkuasa terlepas dari tak terhitung dan tak terdokumentasikannya jumlah kejahatan yang telah dilakukan rezim terhadap rakyatnya. Meski begitu, Assad tidak akan mendapatkan legitimasi yang didambakannya, dan ini akan menjadi mimpi buruk bagi Assad sampai hari dia tersungkur jatuh bersama kursi kekuasannya yang banjir darah.
(ameera/aljazeera/arrahmah.com)