Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Arrahmah.com) – Heboh. Tren baru di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) wanita saat ini adalah mempunyai suami lebih dari satu atau poliandri. Selama satu tahun ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo telah menerima 5 laporan kasus poliandri ASN. (www.kompas.com, 30/8/2020).
Tjahjo mengatakan pihaknya harus memutuskan masalah tersebut dengan beberapa pihak, yakni Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kementerian Hukum dan HAM.
Masalah poliandri ini telah diatur dalam aturan UU No 1 tahun 1975. ASN dilarang melakukan poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, dan poliandri yaitu seorang perempuan memiliki suami lebih dari satu.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum, dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN), Paryono menjelaskan aturan poligami dan poliandri diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 3 yang berbunyi, pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Bagi yang melanggar akan dijatuhi sanksi sesuai aturan perkara. Pengaturan disiplin menjadi kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian masing-masing instansi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Peraturan Pemerintah (PP) No 45 tahun 1990 tentang perubahan atas peraturan Pemerintah no10 tahun 1983 juga merujuk pada UU di atas.
Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja sama Badan Kepegawaian Negara (BKN ) Paryono mengungkapkan, hukuman terberat bagi ASN wanita yang melakukan poliandri adalah pemberhentian atau pemecatan.
“Kalau sanksi sesuai hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP)-nya. Apa latar belakang, dampak dan sejauh mana peraturan perundangan yang dilanggar. Kalau merendahkan harkat dan martabat bisa salah satu hukuman disiplin berat, termasuk pemberhentian, jelas Paryono ketika dihubungi detik.com, Sabtu 29/8/2020.
Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 tentang perkawinan juga disebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Kita mengetahui tidak satu agama pun yang mengizinkan wanita memiliki suami lebih dari satu. Maka poliandri tidak diperbolehkan di kalangan ASN wanita. Sedangkan poligami bagi ASN pria boleh dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi diantaranya izin istri pertama dan izin dari atasan.
Ini adalah potret bahwa aturan manusia tidak mampu mengatur kehidupan manusia dengan baik. Kalaupun memberi solusi sifatnya hanya tambal sulam. Seperti UU No 1 tahun 1975 pasal 3.
Tentang larangan poligami, itu menyalahi hukum Islam. Pada faktanya banyak ditemukan ASN yang berpoligami meski harus mengurus sejumlah persyaratan yang rumit
Dalam Islam, hukum poligami adalah mubah. Terkait larangan poliandri ini sudah tepat karena Islam juga mengharamkan hal tersebut.
Hukum poliandri adalah haram berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur`an, adalah firman Allah SWT :
“Dan, diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (QS An-Nisaa` [4] : 24)
Ayat di atas yang berbunyi “wal muhshanaat min al-nisaa` illa maa malakat aymaanukum” menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut : Darul Ummah, 2003) hal. 119 : “Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz V/134).
Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan :
“Wanita-wanita yang bersuami –baik wanita merdeka atau budak— diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya)… (bi-anna dzawaat al-azwaaj min al-ahraar wa al-imaa’ muharramaatun ‘ala ghairi azwaajihinna hatta yufaariquhunna azwajuhunna bi-mautin aw furqati thalaaqin, aw faskhi nikahin illa as-sabaayaa…) (Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184).
Maka Jelaslah wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Ayat di atas merupakan dalil al-Qur`an atas haramnya poliandri.
Adapun dalil As-Sunnah, bahwa Nabi saw, telah bersabda :
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (ayyumaa mra
atin zawwajahaa waliyaani fa-hiya lil al-awwali minhumaa) (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan dalalatul iqtidha`1), hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna (dalalah) ini –yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami saja – merupakan makna yang dituntut (iqtidha’) dari manthuq hadits, agar makna manthuq itu benar secara syara’. Maka kami katakan bahwa dalalatul iqtidha’ hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Larangan poliandri ini bukan tanpa sebab. Wanita berbeda dengan Pria. Maka hukum untuk keduanya juga berbeda dalam beberapa aspek salah satunya hukum menikah. Poliandri akan mengacaukan nasab sebab jika seorang wanita bersuami lebih dari satu akan sulit menentukan siapa ayahnya jika terjadi kehamilan. Meski teknologi saat ini sudah canggih dengan adanya tes DNA, tetap saja hal ini akan menimbulkan masalah. Perkara mahram, perwalian, dan waris bagi anaknya kelak juga akan sulit.
Lelaki adalah pemimpin bagi wanita yang wajib ditaati selagi tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Jika seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami siapa yang akan menjadi pemimpinnya? Bagaimana jika antara suami satu dan lainnya memiliki aturan yang berbeda, suami yang mana akan dia taati?
Bagaimana wanita itu akan membagi waktu untuk mengurus suami-suaminya? Mampukah wanita tersebut melayani semua kebutuhan semua suaminya?
Istri harus tinggal di tempat suaminya tinggal. Jika wanita memiliki suami lebih dari satu, di mana dia akan menetap?
Dalam Islam menikahi wanita yang masih dalam status perkawinan dengan seorang pria jelas haram hukumnya. Hukumnya sama dengan berzina. Bahkan seorang wanita hamil yang dinikahi oleh seorang pria lain tidak boleh digauli sampai bayinya lahir. Aturan Iddah dalam Islam juga bertujuan memastikan rahim seorang wanita bersih sebelum dia digauli pria lain. Semua ini bertujuan agar nasab anak yang dikandung jelas.
Jika seorang wanita merasa tidak puas dengan suami sahnya mungkin karena kecenderungan seksualnya tinggi dan suaminya tidak mampu memenuhinya maka solusi Islam adalah cerai dan menikah lagi setelah selesai masa iddahnya, bukan poliandri.
Poliandri menunjukan buruknya aturan pernikahan yang ada saat ini. Sebelum seseorang menikah seharusnya ada upaya validitas data calon pengantin termasuk status perkawinannya. Harus ada syarat administrasi yang ketat dengan validitas data yang bisa dipertanggungjawabkan. Pengurusan administrasi yang mudah dan cepat sehingga pendataan penduduk bisa dilakukan optimal. Negara harusnya memiliki data base semua rakyatnya. Status perkawinan, nasab, dan lainnya demi memudahkan urusan rakyatnya.
Saat ini banyak sekali masyarakat yang enggan mengurus berbagai administrasi kependudukan karena birokrasi yang ribet dan lama. Sehingga banyak muncul kasus penipuan atau pemalsuan data. Ini mengakibatkan munculnya berbagai masalah.
Poliandri juga membuka mata kita jika ketahanan keluarga semakin diuji. Hubungan suami istri dinilai hanya dari kepuasan seksual. Suami hilang harga diri di hadapan istri dan tidak punya kepemimpinan bahkan berada dibawah kendali istri.
Suami abai terhadap perbuatan istri alias dayuts. Kesibukan mencari nafkah membuat hubungan suami istri tidak lagi harmonis. Suami istri bekerja bahkan mirisnya waktu untuk bertemu sedikit. Suami pulang, istri berangkat kerja atau sebaliknya. Sehingga waktu untuk bersama berkurang. Sementara dorongan seksual terus berdatangan. Interaksi pria dan wanita yang tidak sesuai Islam membuat cela untuk maksiat terbuka lebar.
Semua ini menambah daftar panjang kerusakan sosial akibat diterapkannya sistem sekularisme dan liberalisme.
Sistem Sekuler liberal telah menghancurkan ketahanan keluarga masyarakat dunia termasuk Indonesia. Mulai dari ASN, publik figur hingga rakyat biasa tidak luput dari dampaknya. Aturan agama tidak lagi menjadi acuan dalam melakukan sesuatu. Kebebasan tanpa batas membuat seseorang lepas kontrol dalam bertingkah laku.
Jika ketahanan keluarga sudah tidak lagi kokoh, bagaimana generasi terbaik akan lahir? Bagaimana nasib masa depan bangsa ini? Wallahu a’lam bishshawab.
*) Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik
(ameera/arrahmah.com)