JAKARTA (Arrahmah.com) – Anggota Fraksi PAN dari Komisi XI Dradjad Wibowo mengungkapkan asing sangat menyukai kebijakan yang pro-pasar yang berlebihan (neoliberalisme) yang mulai terasa saat ini. Pasalnya, asing mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari hal tersebut.
“Mengapa Depkeu, menteri-menteri dan tim ekonomi yang dicap ‘neolib’ itu sangat disukai investor asing. Ya karena investor asing itu dimanjakan dengan keuntungan yang luar biasa, mulai dari consulting fee, underwriting fee, other fees, sampai dengan selisih suku bunga yang Naudzubillah tingginya,” ujar Drajad, di Jakarta, akhir pekan ini.
Drajad memberikan sebuah contoh masalah kebijakan pro pasar yang berlebihan itu. Yakni dengan diterbitkannya Global Medium Term Notes (GMTN) oleh Depkeu di awal tahun ini dalam mata uang USD dengan masa jatuh tempo 10 tahun dan yield 11,75 persen. Jumlahnya adalah sebesar USD3 miliar dan diterbitkan di New York.
Dia melanjutkan, yang menjadi konsultan dalam penerbitan GMTN tersebut adalah beberapa lembaga keuangan asing, begitu juga underwriters-nya. Dengan demikian, investor asing pun membelinya melalui mereka.
“Dalam bahasa awam, ini berarti negara berutang kepada investor asing. Utangnya dalam USD dan negara membayar ‘bunga’ sebesar 11,75 persen dalam USD. Belum lagi fee bagi para konsultan dan underwriters asing tersebut,” tegasnya.
Padahal, dia menambahkan, sebagai pembanding deposito dolar AS di perbankan dalam negeri yang hanya memberi bunga sekira 2-3 persen saja. Selain itu, di AS sendiri, bunga deposito dolar jauh lebih rendah dari yang ditetapkan dalam GMTN tersebut.
“Jadi selama 10 tahun ke depan, negara harus membayar bunga yang kemahalan sekira USD240 juta atau Rp2,5 triliun per tahun, kalau kita anggap kemahalannya hanya sekira delapan persen,” paparnya.
Hal tersebut, merupakan satu contoh saja dari sisi penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Padahal masih ada sektor lain, seperti kebijakan perbankan, pasar modal secara umum, asuransi, kebijakan dan sistem perdagangan, rezim investasi, rezim migas, serta rezim pertambangan umum.
“Itu baru satu contoh dari satu penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Padahal setiap tahun negara menerbitkan puluhan SUN. Modusnya kira-kira sama. Anehnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak pernah menyelidiki kerugian negara ini,” ketusnya.
Dia mengungkapkan, kebijakan seperti ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. “Bisa dibayangkan berapa banyak korban dan berapa besar lost opportunities yang harus kita tanggung sebagai bangsa,” tukas Drajad. (Althaf/okz/arrahmah.com)