Oleh Ustadz Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – Inisiatif DPR RI menginisiasi RUU Ormas, mengirim signal berbahaya bagi sejumlah ormas, baik ormas keagamaan maupun sekuler. RUU ini bahkan lebih berbahaya dari anarkisme massa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti amuk massa terkait Pilkada di Palopo yang menghanguskan sejumlah kantor pemerintah. Juga, lebih berbahaya dari amuk massa pengeroyokan maut Kapolsek Dolok Pardamean, Sumatera Utara, Ajun Komisaris Andar Siahaan; ataupun hukum rimba yang dilakukan terhadap 4 orang terpidana di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
Akan tetapi, membebankan kesalahan atas berbagai tindak kejahatan serta anarki massa itu kepada rakyat, dengan mengontrol serta memasung kebebasan berserikat melalui UU, sungguh tidak adil. Apalagi, bila tindakan anarki di masyarakat, tidak dimaknai sebagai kegagalan pemerintah, justru malah menyalahkan rakyat, lalu membidik ormas tertentu yang distigma radikal, jelas merupakan ketidak adilan hukum.
Secara prinsipil, RUU ormas ini dianggap berbahaya setidaknya karena tiga alasan:
Pertama, memaksakan asas ormas yang bertentangan dengan kebebasan berserikat, keadilan dan kemerdekaan rakyat. Misalnya, pasal 2 yang berbunyi: “Asas ormas adalah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945.”
Pasal ini dikhawatirkan akan membatasi gerak seseorang untuk membentuk organisasi kemasyarakatan, tetapi malah memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk melakukan tindakan represif kepada ormas. Pasal ini juga memancing trauma Asas Tunggal yang bersikap represif memasung aspirasi rakyat disebabkan pemerintah galau dan panik seperti pernah terjadi di masa rezim orde baru. Seolah-olah mereka yang menolak RUU Ormas berarti menolak Pancasila.
Jangan pernah melupakan fakta sejarah ini. Rezim Orde Baru dilengserkan, selain kasus korupsi penguasa, juga penolakan terhadap asas tunggal pancasila. Jika sekarang DPR berinisiatif mengembalikan asas ormas dengan asas pancasila, apakah berarti DPR RI punya agenda lain, yaitu melengserkan pemerintahan SBY dengan memancing kemarahan rakyat melalui UU Ormas?
Kedua, bersifat diskriminatif, mengingat UU Parpol tidak secara tegas disyaratkan menggunakan asas pancasila, sebagaimana dalam RUU Ormas. Selain itu, RUU Ormas Ps 4 akan mengatur ormas dengan sangat detil mulai dari pendirian, tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi, larangan hingga sanksi.
Berbeda dengan pengaturan organisasi underbow parpol yang tidak mensyaratkan poin tersebut di atas. Artinya, organisasi sayap parpol tidak diatur dengan RUU ini, sehingga memunculkan kecurigaan bahwa RUU ini memiliki target politik, hendak membungkam ormas tertentu yang bersikap kritis pada pemerintah. Misalnya, ormas yang berani membongkar kejahatan negara terhadap rakyatnya bisa diberangus atau ‘disubversibkan’ dengan alasan membahayakan keselamatan negara atau bertentangan dengan pancasila.
Ketiga, RUU ini dirancang untuk mencegah intervensi asing dan sekaligus menjaga keutuhan NKRI, seperti tercermin dalam pasal XIV RUU ormas tentang ormas asing. Artinya, hanya ormas asing yang sejalan dengan negara Indonesia yang boleh beraktivitas di Indonesia.
Apakah penegakan Syari’at Islam di lembaga negara sejalan dengan hukum di Indonesia, atau dianggap sebagai ideologi transnasional yang bertentangan dengan hukum Indonesia? Pertanyaan ini penting karena fakta menunjukkan, di satu segi terdapat beberapa syari’at Islam yang menjadi UU nasional, tapi di pihak lain syari’at Islam di isukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai misi terorisme? Tetapi yang lebih mengkhawatirkan, bila inisiator RUU Ormas ini justru datang dari pihak asing guna melestarikan stigma perang melawan terorisme.
Penyelewengan Konstitusi
Konon, RUU Ormas yang mengundang kontroversi ini dipersiapkan sejak tahun 2000 dan telah menelan banyak dana, akan segera di sahkan menjadi UU. Akan tetapi kita berharap, DPR RI tidak memaksakan kehendak dan tidak memutuskan secara sepihak tanpa mendengar aspirasi rakyat. Panja RUU Ormas sebagai pihak yang menginisiasi RUU Ormas hendaknya dapat melakukan terobosan baru yang lebih bermartabat, melakukan transparansi publik dalam bentuk debat publik.
Sejumlah pasal RUU Ormas, memendam persoalan serius yang tidak dapat dijelaskan secara konstitusional oleh Panja RUU Ormas. Menurut Panja RUU Ormas, bahwa pengaturan maupun pembatasan ormas ini merupakan pelaksanaan dari UUD ’45 Ps 28 J ayat 1 dan 2 yang menyatakan: “bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya itu, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.”
Kontroversi RUU ormas ini, sejatinya berangkat dari penyelewengan konstitusi yang memosisikan pancasila sebagai dasar negara. Sehingga tidak ada satu pasal pun penghargaan terhadap kebebasan, melainkan semuanya dalam jeratan RUU. Pembacaan terhadap UUD ’45 tidak boleh berhenti sampai pada pasal 28 saja, tetapi harus juga dikaitkan dengan pasal berikutnya.
UUD ’45 Pasal 29 ayat 1 dan 2 menyatakan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 29 ayat 1 ini menjelaskan secara gamblang bahwa ideologi dasar negara RI adalah Ketuhanan yang Maha Esa, bukan Pancasila. Jika ada klausul lain di luar UUD ’45 yang menyatakan Pancasila sebagai dasar negara, jelas penyelewengan konstitusi. Mustahil di sebuah negara, memiliki dua dasar negara. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara berdasarkan Pancasila adalah dua hal yang berbeda, lalu mana yang harus diberlakukan?
Dalam perspektif Islam, dasar negara ini merupakan perwujudan serta pengakuan terhadap eksistensi Islam sebagai agama resmi dan Syari’at Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia. Sedangkan Pasal 29 ayat 2 merupakan implementasi dari sistem negara, bahwa setiap warga negara bebas melaksanakan keyakinan agamanya dalam bernegara.
Adanya dualisme yang membedakan antara Pancasila sebagai dasar negara dan Islam sebagai agama, dalam kaitannya dengan RUU Ormas ini, merupakan sikap oportunis yang menyesatkan. Di negara yang berdasarkan Ketuhanan, apakah Tuhan bisa dibagi dan dipilah-pilah? Dalam urusan negara pasrah pada tuhan pancasila, sedang urusan ormas ada tuhan lain lagi?
Oleh karena itu, jika konsekuen berpegang pada UUD ’45, maka asas ormas maupun orpol seharusnya sesuai dasar negara RI, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan yang lainnya. Sekiranya DPR tetap ngotot memaksakan kehendaknnya, menggunakan pancasila sebagai asas, selain menyimpang dari konstitusi berarti DPR dengan sadar memancing kemarahan rakyat.
Padahal, apabila prinsip beragama dalam perspektif konstitusi dimaknai secara benar serta seimbang antara hak dan kewajiban, niscaya akan mudah mewujudkan ketertiban hukum, toleransi antar penganut agama, dan ketentraman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa DPR RI tidak fokus membahas pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD ’45 ini, menjelaskan pada rakyat Indonesia, sehingga tidak terkesan adanya pembohongan publik secara sistimatis, dan tidak menjadi ancaman berbahaya bagi rakyat karena adanya bahaya dalam negara? Wallahu a’lam bis shawab
Yogyakarta, 4 April 2013
(Ukasyah/arrahmah.com)