DAMASKUS (Arrahmah.com) – Presiden Suriah, Bashar Asad bertemu dengan para pejabat senior dari sekutu terkuatnya, Rusia, di Damaskus pada Jumat (19/4/2019) dan Sabtu (20/4) untuk membahas pembicaraan damai yang akan datang dan perdagangan antara kedua negara, media pemerintah di Suriah melaporkan.
Rusia telah membantu pasukan Asad untuk mengambil kembali sebagian besar negara itu tetapi perang selama delapan tahun berlanjut. Petak timur laut dan barat laut berada di luar kendalinya, sementara sanksi dan kelangkaan bahan bakar membatasi ekonomi.
Moskow telah mendorong proses politik yang melibatkan perundingan tentang konstitusi baru dan pemilihan sebagai cara untuk mengakhiri konflik, tetapi Asad telah mengecilkan kemungkinan bahwa oposisi yang didukung Turki atau negara-negara asing dapat berpartisipasi.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan Jumat malam (19/4) bahwa Asad telah bertemu dengan utusan Suriah di Moskow, Alexander Lavrentiev; Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Vershinin; dan beberapa pejabat Kementerian Pertahanan Rusia.
Menurut laporan, mereka telah membahas pembentukan komite konstitusional, yang disetujui oposisi Suriah tahun lalu di bawah naungan PBB setelah konferensi perdamaian yang diselenggarakan oleh Rusia.
Kantor berita resmi Suriah, SANA, mengatakan pertemuan telah difokuskan pada putaran pembicaraan berikutnya di Kazakhstan yang melibatkan Suriah, sekutu-sekutunya Rusia dan Iran, dan pendukung Turki yang pemberontak.
Ratusan ribu orang telah terbunuh dalam perang Suriah dan sekitar setengah dari total populasi pra-konflik bejumlah 22 juta telah terlantar.
Rusia meluncurkan intervensi militer untuk mendukung Asad pada tahun 2015.
Pada Sabtu (20/4), SANA mengatakan Asad telah bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Rusia, Yury Borisov, untuk membahas perdagangan dan kerja sama ekonomi, khususnya di bidang energi, industri, dan peningkatan perdagangan.
Dikatakan Asad dan Borisov membahas mekanisme untuk mengatasi hambatan termasuk yang “dihasilkan dari sanksi yang diberlakukan negara-negara terhadap rakyat Suriah, terhadap Suriah.”
Amerika Serikat dan Uni Eropa memberlakukan sanksi keras terhadap Suriah pada awal konflik atas apa yang mereka sebut sebagai kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah.
Pekan ini, media pemerintah Suriah melaporkan bahwa kekurangan bahan bakar yang mengakibatkan penjatahan dan antrian panjang di pompa bensin datang dalam konteks kesulitan dalam mengimpor bahan bakar dan penghentian jalur kredit dari Iran.
Sementara itu, menteri luar negeri Suriah, Walid Al-Mouallem, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (20/4) bahwa “Suriah selalu berkoordinasi dengan Iran.” (Althaf/arrahmah.com)