DOHA (Arrahmah.id) – Amerika Serikat telah meyakinkan penguasa Imarah Islam Afghanistan (IIA) bahwa Washington tidak akan mendanai kelompok bersenjata atau aktor non-negara di negara itu, sumber IIA mengatakan kepada Al Jazeera.
Jaminan tersebut disambut baik oleh IIA karena kelompok bersenjata Tajik, yang telah didukung oleh Barat di masa lalu, terus menentang kepemimpinan kelompok tersebut – bahkan ketika berhasil menahan Front Perlawanan Nasional yang didominasi Tajik dan kelompok lain yang bersekutu dengan pemerintah sebelumnya yang didukung Barat sejak IIA kembali berkuasa pada Agustus tahun lalu.
Jaminan itu diberikan dalam pertemuan antara pejabat Departemen Luar Negeri AS dan perwakilan IIA di Doha awal bulan ini.
Sumber internal Imarah Islam Afghanistan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa anggotanya bertemu dengan delegasi tingkat tinggi AS, termasuk wakil direktur CIA.
Pertemuan ini adalah yang pertama sejak Juli ketika AS mengatakan telah membunuh pemimpin Al Qaeda, Ayman Al Zawahiri dalam serangan pesawat tak berawak di tempat persembunyiannya di ibukota Afghanistan, Kabul.
Kehadiran Al Zawahiri di Afghanistan membuat Barat menuduh IIA melanggar Perjanjian Doha 2020, di mana kelompok Afghanistan setuju untuk tidak memberikan tempat yang aman bagi Al Qaeda dan kelompok bersenjata lainnya.
IIA telah meraih kekuasaan tahun lalu akan tetapi kekerasan oleh kelompok-kelompok bersenjata seperti ISKP yang berafiliasi dengan ISIS semakin meningkat terutama dalam beberapa bulan terakhir, menimbulkan tantangan keamanan bagi penguasa saat ini.
Dalam pertemuan tersebut, IIA juga menyampaikan penolakannya terhadap pengumuman AS bahwa mereka akan mentransfer $3,5 miliar aset bank sentral Afghanistan yang dibekukan ke dalam perwalian yang berbasis di Swiss.
Bulan lalu, IIA mengatakan keputusan AS untuk menempatkan sebagian dari hampir $10 miliar aset Afghanistan – yang dibekukan Agustus lalu dalam upaya untuk mencegah IIA mengaksesnya – ke dalam akun trust adalah “tidak dapat diterima dan merupakan pelanggaran norma-norma internasional”.
AS mengatakan dana tersebut akan dikelola oleh dewan pengawas internasional dan digunakan untuk pembayaran utang, listrik, makanan, pencetakan mata uang baru dan kebutuhan serta layanan penting lainnya.
IIA telah berulang kali serukan pencabutan sanksi dan pelepasan dana beku, termasuk bantuan internasional yang ditangguhkan setelah pengambilalihan kekuasaan, untuk membantu ekonominya yang sekarat. Sanksi yang telah dijatuhkan pada IIA selama periode pertama pemerintahan mereka yang berakhir pada 2001 kembali berlaku dengan mereka mengambil alih kekuasaan tahun lalu.
Lebih dari setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan dan enam juta terancam kelaparan, kata PBB pada Agustus.
Tidak ada negara yang mengakui Imarah Islam Afghanistan, isolasi diplomatik dan keuangan telah memperburuk krisis kemanusiaan di negara itu, yang telah menderita akibat perang selama beberapa dekade, termasuk 20 tahun terakhir di bawah pendudukan AS.
Komunitas internasional telah mendesak IIA untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk mengizinkan anak perempuan mengakses sekolah dan tempat kerja. Tetapi IIA memberlakukan pembatasan hak asasi manusia yang semakin membuat marah masyarakat internasional dan menghancurkan harapan untuk diakui.
Namun, pengungkapan tentang pertemuan Doha menunjukkan AS terus terlibat dengan IIA meskipun ada keretakan.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengonfirmasi pertemuan Doha kepada Al Jazeera.
“Seperti yang telah kami jelaskan, kami akan terus melibatkan IIA secara pragmatis terkait kepentingan Amerika,” katanya kepada Al Jazeera. (zarahamala/arrahmah.id)