NIAMEY (Arrahmah.id) — Pasukan Amerika Serikat (AS) akan menyerahkan pangkalan militer terakhirnya di Niger pada hari Senin (6/8/2024), sebagai bentuk perjanjian dengan otoritas Niger. Namun mundurnya AS ini terjadi saat militan jihadis semakin menguat di Sahel
Dilansir Africa News (5/8), pangkalan udara 201 di kota Agadez adalah salah satu dari dua pusat yang digunakan AS untuk operasi kontraterorisme di Niger. Bulan lalu, pasukan AS menarik diri dari Pangkalan Udara 101, pangkalan pesawat tak berawak kecil di ibu kota Niger, Niamey.
Pasukan Jerman juga akan meninggalkan negara tersebut bulan ini. Penarikan diri tersebut merupakan bagian dari tren pasukan Barat yang meninggalkan Sahel, wilayah luas di selatan gurun Sahara tempat kelompok-kelompok militan yang terkait dengan al Qaeda dan kelompok militan Islamic State (ISIS) beroperasi.
Pengambilalihan militer Niger pada tahun 2023 menyusul kudeta di Mali pada tahun 2020 dan di Burkina Faso pada tahun 2022, dan ketiga negara tersebut segera bergabung dalam upaya mengusir pasukan asing dan mengambil sikap keras terhadap Prancis dan sekutunya.
Aneliese Bernard, direktur Strategic Stabilization Advisors, mengatakan bahwa meskipun operasi kontraterorisme Barat di kawasan tersebut bermasalah, ketidakhadiran pasukan Prancis, Eropa, dan Amerika di Niger akan meninggalkan kekosongan keamanan yang besar.
Bernard mengatakan saat ini belum sepenuhnya jelas bagaimana junta militer akan menangani kemitraan dengan Barat di masa mendatang, khususnya terkait akses terhadap sumber daya alam.
Pemerintah Niger baru-baru ini mencabut izin bagi produsen bahan bakar Prancis, Orano, untuk beroperasi di salah satu tambang uranium terbesar di negara itu.
Bernard memperingatkan bahwa mereka yang paling mungkin dirugikan oleh kekosongan keamanan adalah warga negara yang paling rentan di negara yang menjadi salah satu negara termiskin di dunia.
Ia mengatakan pekerja kemanusiaan kini diharuskan memiliki pengawalan militer saat bekerja di luar kota sebab mereka akan menjadi sasaran kelompok bersenjata yang berkonflik dengan militer.
Hal ini akan menyebabkan banyak LSM memilih untuk tidak bekerja di luar kota atau memilih tidak pergi ke lapangan, tambahnya, “jadi orang-orang yang berada di pinggiran, yang merupakan kelompok paling rentan… akan memiliki akses paling sedikit terhadap bantuan kemanusiaan. (hanoum/arrahmah.id)